Misteri Sejati: Yudhistira Manaf



   Bunga Putih Mewangi
   Di Tanah Makam  Bos Preman





            Perang melawan preman bengis, mendorong  aku untuk terjun mempelajari ilmu kebal bacok. Hanya dengan ilmu gaib warisan leluhurku inilah, maka aku punya peluang untuk memenangkan setiap pertarungan melawan mereka. Jika tidak, pastilah aku kalah dan mati berkalang  tanah seperti  Bardi, Dorman dan Anung, temanku yang sudah dihabisi preman-preman mumpuni Pasar Bengli, Sukaraja, Kutaraja, Tugumulya, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan ini,   beberapa bulan lalu.
Tiga temanku itu dibacok bagian kepalanya hingga kesemuanya mati di tempat. Anehnya, polisi tidak menemukan siapa pembunuh mereka. Caranya sangat halus dan sulit tercium aparat. Tapi aku tahu pasti, preman-preman pasar itulah yang membunuh Bardi, Dorman dan Anung. Aku mendengar rencana pembunuhan itu, yang pada akhirnya  mereka lakukan eksekusi  itu di pesta dangdut Kampung Nagasakti,  tengah malam pukul 23.45 WIB. Aku tidak berani melaparkan hal itu karena resikonya sangat berat. Aku juga pasti dibunuh oleh mereka, preman-preman yang tak punyak prikemanusiaan itu.
 “Dari pada kau bersusah payah mempelajari ilmu mistik seperti itu hanya untuk melawan preman Pasar Bangli,  mendingan kau lari saja dari kota ini, Nak, lalu pergilah ke kota lain, ke Jakarta misalnya?” desis ibuku, saat mengetahui aku benar-benar terjun  berguru kepada Uwak Item,  abang tertua ibu yang bermukim di kampung Pasirrame, Tugumulya, perbatasan Lampung-Sumatera Selatan di kabupaten OKI.
Ibuku memang sangat resah mensiasati kiprahku sebagai pedagang emas di Pasar Bangli. Tokoku memang sangat laku, paling ramai di pusat perbelanjaan itu. Tapi, di tokoku pula, paling sering sering rebut dan  terbanyak masalah. Sebab premen-preman  Pasar Bangli yang bertato dan bertampang seram, setiap hari sebanyak dua kali minta uang yang katanya “jatah preman” kepadaku. Sementara ke toko  yang lain, hanya satu kali satu hari, Rp 10 ribu per-toko. Sedangkan di tokoku, aku dipaksa memberi  Rp 30 ribu per-hari dan diminta dua kali, jadi besarnya pungutan liar itu Rp 60 ribu. Pernah aku member hanya Rp 10 ribu seperti yang lain, tapi uangku itu disobek di depan mataku dan aku ditempeleng hingga berdarah-darah.
Karena aku takut kepada keberingasan mereka, maka, walau terhitung sangat besar uang jatah preman ini, maka aku terpaksa memberi. Padahal dalam hatiku, aku sangat  tidak ikhlas dan jengkel dengan pemerasan yang semena-mena ini. Pikirku, aku harus melawan mereka dan perlawanan itu haruslah aku menangkan. Aku ingin mereka kapok dan tidak lagi menjalankan praktek pemerasan yang sangat meresahkan warga pedagang Pasar Bangli tersebut.
“Bu, perlakukan preman-preman itu sudah melebihi batas kewajaran, Bu, mereka harus dilawan, tidak boleh dibiarkan semena-mena terus seperti ini,” kataku, pada ibuku. “Sabarlah,Nak, hadapi dengan sabar mereka itu, lambat atau cepat Allah akan menunjukkan keadilan-Nya, mereka akan menerima azab yang pebih di dunia ini, karena kejahatan mereka. Atau, mendingan kau laporkan mereka kepada polisi, biar polisi yang menindak mereka. Pemerasan itu sutau kejahatan kan, maka itu setiap tindak kejahatan haruslah dihukum. Yang menghukum adalah parat kepolisian, kejaksaan dan hakim pengadilan,” desis ibuku.
Dengan cara yang sangat santun aku menyampaikan pendapatku kepada ibu. Kukatakan kepada ibu, bahwa preman-preman itu tidak takut sama polisi. Bahkan saya melihat, bahwa polisi-polisi, terutama polisi kepolisian sektor, justru yang sangat takut kepada mereka. “Preman-preman itu punya ilmu mistik yang banyak Bu, sampai polisi pun, kalau datang ke pasar, seperti melihat hantu kepada mereka. Polisi sangat ketakutan kepada mereka,” ungkapku.
“jadi, dengan mahirnya nanti kau berilmu mistik warisan Uwak Item, kau akan melawan mereka?” tanya ibu kepadaku. “Iya bu, aku akan melawan mereka, bahkan tekadku untuk menghalau mereka,  mengenyahkan mereka dari Pasar Bangli, tidak melakukan pemerasan lagi kepada siapapun,” jawabku.
Ibu manggut-manggut saja mendengar tekadku ini. Setelah itu, ibu lalu mengijinkan aku berguru kepada Uwak Item dan dia menitip salam kepada  Uwak Item. Tapi ingat, kata ibu, bila aku mau belajar ilmu hitam, belajarlah dengan sungguh-sungguh dan tekun, karena bila belajar separuh-separuh, akibatnya akan sangat berbahaya, bisa gila dan bisa menjadi stress.
Setelah mencium tangan dan mencium kaki ibuku, aku berangkat ke rumah Uwak Item, berguru selama tiga bulan di sana. Sedangkan toko emasku, dijaga oleh ibuku bersama adik misanku, Anggito. Omzet took emasku cukup besar, per-bulan, kami mendapat pemasukan sebesar Rp 100 juta. Dari toko emas  itu aku bisa membeli tanah, membangun rumah, punya mobil bagus dan bisa merenovasi rumah ibu. Ayahku, sudah sebelas tahun meninggal dunia dan ibu tidak mau menikah lagi. Sebagai anak tunggal, aku memang menjadi pusat perhatian ibu dan ibuku, satu-satunya orang yang sangat aku perhatikan dalam kehidiupan ini.
Pelajaran pertamaku yang diberikan Uwak Item adalah melakukan tapa-tapa. Pertama aku melakukan tapa ngebleng, lalu tapa patigeni dan terakhir tapa edan. Semua tapa itu dilakukan selama satu bulan, yang kesemuanya aku selesaikan selama tiga bulan. Pada bulan ke empat, tubuhku mulai diisi dengan mantra-mantra  sakti amndraguna oleh Uwak Item. Mantra-mantra yang diambilkan dari catatan Buku Jayabaya itu diucapkan Uwak Item ke punggung dan kepalaku. Setelah itu aku diperintahkan oleh Uwak Item  untuk memakan gotri dan beberapa butir padi. Jumlah gotri dan padi itu sudah ditentukan Uwak Item, yang katanya, jumlah benda tersebut di sesuaikan dengan  neptu dan tanggal lahirku.
Sungguh ajaib ilmu itu aku dapatkan. Setelah diisi mantra dan benda-benda, Uwak Item lalu mengetes menyiramkan air keras ke tubuhku. Puji Tuhan, air keras yang harusnya menghancurkan kulit dan daging ku itu, tiba-tiba jadi air putih biasa saja, tidak menghanguskan tubuhku sama sekali. “Kau sudah kebal terhadap air keras. Sekarang kau akan menjalani tes bacok!” kata Uwak, sambil mengambil golok dan mengasa golok itu hingga tajam sekali. Golok itu, lalu ditest kepada pohon kelapa, dan pohon kepala langsung putus saking 5tajamnya. Pohon kelapa kecil itu lalu tumbang karena sabetan golok Uwak Item yang tajam. “Ayo sekarang pasang punggu mu, Uwak akan bacok sekencang-kencang, sudah kebalkah engkau terhadap senajat tajam?” ungkap Uwak Item, serius.
Karena dipetintah guru, maka aku memasang punggungku sesuai permintaan Uwak Item. Begitu punggungku kupasang, Uwak Item lalu mengayunkan golok dan dengan kencang menyambar punggungku. Alhamdulillah, golok tajam itu tidak mempan membacokku. Golok itu seperti menyambar ban mobil yang membal, lalu golok itu terpental sepanjang  5 meter dari tubuhku. “Kau sudah kebal, ilmu mistik mandraguna sudah masuk ke badanmu dan kau boleh bertarung dengan preman-preman jahat itu. Ingat, ilmu ini Uwak berikan untuk tindakan kebaikan, bukan kejahatan. Tidak boleh sombong, tidak boleh takabur dan tidak boleh menantang siapapun. Artinya, tidak menjual, tapi bila ada orang yang memaksa menjual, wajib untuk dibeli. Jika orang menantang kau, maka kau dilarang untuk mengelak,”pesan Uwak Item, padaku.
Akhir bulan aku sudah boleh memasuki pasar. Aku mulai berjualan lagi, bahkan membuka toko satu lagi. Bardan, pimpinan preman dan dikenal paling sadis, mendekati menjelang siang hari.”Wau, tumben nih berani muncul lagi berdagang di Bangli ini, saya kira sudah mundur total karena takut,” pancing Bardan, dengan gayanya berkacak pinggang.
“Saya kan butuh hidup, Bang. Di pasar inilah saya berniaga mencari uang untuk keluarga. Kalau tidak, dari mana saya bisa dapat makan?” jawabku, merendah.
“Oke, situ cari uang ya cari uang dong? Tapi situ mesti ingat kan, bahwa di pasar ini ada penguasanya, ada pemimpinnya, ada yang mengatur keamanannya. Tahu kan itu?” tekan Bardan, datar, dengan mata yang dipicing-picingkan ke arah mataku.
“Ya, tentunya saya tahu hal itu, Bang. Kan ada Pak Sugardi, kepala pasar, beliaulah yang mengelola pasar ini dan kepadanyalah saya menyewa kios. Beliau pula yang mengatur tata tertib dan keamanan wilayah ini,” kataku, ringan.
“Goblok kamu, bukan Sugardi kepala PD.Pasar Jaya yang dimaksud pengelola keamanan, tapi kelompok kami, kelompok pam swakarsa organisasi DPPKP, yang dipimpin oleh Bardan. Bardan ini, pam swakarsa yang paling ngetop di daerah Ogan Komering Ilir, mengerti kamu? Siapa itu Sugardi, sekali saya pites, dia semaput. Dia tidak ada apa-apanya di sini, hanya penyewa kios dan pengurus pasar. Tapi saya, Bardas Suryadi, adalah penguasa pasar, penguasa keamanan dan semua pedagang harus tunduk kepada Bardan cs!” bentaknya, dengan mata menyala-nyala.
“Jadi maksud Abang dengan keterangan ini, tujuannya apa?” tanyaku, datar. “Bagus kamu tanya begitu, hal itulah yang aku tunggu-tunggu. Dengan toko barumu ini, kau setpa hari harus stor dana keamanan kepadaku sebesar Rp 100 ribu untuk dua toko. Mengerti kamu?” tekan Bardan.
“Waduh, maaf Bang, kalau soal itu, uang sebesar itu sangat berat aku dapatkan untuk pungutan keamanan. Omset toko saya kecil sekali Bang, belum tentu masuk senilai itu, bahkan sering sekali nihil, tidak ada uang masuk sama sekali,” desisku.
“Hal itu sudah menjadi ketentuan kami. Mau ada uang masuk kek, tidak ada uang masuk kek, kamu harus bayar ke saya setiap hari Rp 100 ribu. Jika tidak, toko kamu kami obrak abrik, faham kamu?” sergah Bardan.
“Kalau saya tidak mau bayar, dan menerima diobrak abrik, apa yang akan terjadi Bang?” pancingku, tenang tapi mulai sangat jengkel melihat arogansi Bardan yang tubuhnya tinggi besar penuh tato ini.
“OH jadi kamu mau menantang saya? Kamu mengajak berkelahi saya? Mau mau mati di siang hari yang pansa ini. Ini golok tajam, sekali sabet, darah lehermu akan mengucur di pasar ini, mau coba. Mau kamu? Saya, Bardan tidak pernah main-main dengan golok, sekali keluar, harus memakan korban!” sesumbarnya, sambil memegang gagang golok di punggungnya.
“Saya tidak menjual, tapi kalau Abang menjual, saya akan beli cash!” imbuhku, tenang. Hari itu, aku sendiri merasa aneh, mengapa nyaliku begitu kuat, tegar dan mantap. Tidak ada rasa takut sedikitpun bergelayut di dalam diriku. Padahal, selama ini, aku santgat penakut. Jangankan melihat golok yang terhunus, dibentak preman-preman saja, aku sudah terkencing-kencing. Bahkan dengkulku sampai gemetaran berhari-hari.
Kini, aku berhadapan dengan preman biang, bos preman di Tugumulyo yang dikenal paling sadis. Dia pernah membunuh tentara sampai dipotong-potong. Dia pernah membunuh polisi sampai terbelah dua. Hal itu dilakukannya saat dia berumur 15 tahun. Setelah keluar dari penjara, saat umurnya sudah tua, dia kembali ke pasar untuk memeras dan ditakuti oleh tentara dan polisi.
Sementara anak buahnya, telah membunuh beberapa orang pedagang pasar. Mereka yang enggan menyetor dana keamanan, dibacok oleh anak buah Bardan dan sebagian meninggal dunia.
Dengan membalik badan separuh, Bardan mencabut golok dari punggungnya. Golok itu bersinar-sinar karena ketajamannya dan diayunkan ke leherku. “Syett!” suara golok itu menghujam kencang di leherku. Alhamdulillah, benda tajam itu tidak melukai leherku, kulitku jadi membal seperti karet.
“Wau, kau sudah punya ilmu kebal rupanya, pantas saja kau berani kepada ku?” tanyanya, tak menuntut jawab.
Bardan berulang kali membacokkan besi baja tajam itu ke bagian tubuhku. Dia terus mencari kemungkinan  ada bagian tubuhku yang tidak kebal. Dia membabi buta membacokkan golok itu dan semua kulitku tidak ada yang mempan bacok. Semua pedagang pasar berkerubun, berteriak memisahkan kami, mereka memanggil polisi agar Bardan tidak lagi membabi buta.
“Saya baru menerima serangan kamu Bardan, saya belum menyerang. Sekarang, saya sudah kehilangan kesabaran, maka giliran saya untuk menyerang kamu. Oke?” tanyaku.
Dengan secepat kilat tanganku meraih golok yang dipegang Bardan dan menguasai golok itu. Pada saat aku mengayunkan untuk menebas lehernya, Bardan tiba-tiba tersungkur di kakiku dan bersujud memohon ampun.
“Ampun adikku, ampuni aku. Sekarang aku mengakui kau sudah sangat hebat dan aku menyerah. Keamanan pasar ini aku serahkan kepadamu dan ambillah semua anak buahku, atur mereka sesuai dengan keinginanmu,” tutur Bardan, setengah menangis.
Karena dia sudah minta maaf, bahkan menganggap aku adiknya, maka aku menghentikan niat untuk menebas lehernya itu. Uwak Item memang berpesan, bila musuh sudah menyerah, jangan diteruskan perlawanan, jangan diteruskan penyiksaan dan ampunilah musuh itu. Sebab kata Uwak, Allah Maha Pengampun dan manusia harus bisa mengampuni orang lain seperti juga sifat Allah Azaza Wajalla.
Hari itu aku berpelukan dengan Bardan. Bardan menyesali semua perbuatannya dan dia berjanji tidak akan menjadi pemeras lagi. Bahkan dia kertekad untuk berhenti sebagai preman. Semua anak buah Bardan bertekuk lutut kepadaku dan meminta maaf. Hari itu, aku memutuskan kepada semua anak buah Bardan untuk ikut aku dan berkerja sebagai pedagang. Tidak memeras dan mengutip uang pungli lagi di pasar Bangli.
Seminggu kemudian, aku mendengar Bardan melakukan pertobatan nasuha. Dia ke rumah kiyai Mursid dan minta dibimbing keagamaan. Setelah itu Bardan meminta maaf dan meminta ampun kepada seluruh keluarga dan orang-orang yang pernah disakitinya. Hampir semua orang yang didatangi Bardan memberinya ampun dan maaf. Hari ke delapan, di luar dugaan, tiba-tiba Bardan meninggal dunia karena serangan jantung. Bardan mati mendadak dan tertelungkup di depan empat istri dan 23 anaknya. Saat dikubur, dua hari kemudian, di atas tanah makam Bardan tumbuh kembang berwarna putih jenis  bunga kurial yang indah dan harum. Kata Kiyai Mursid, dosa Bardan sudah dimaafkan Tuhan dan insya Allah di amsuk surga.
Pada tahun 2011 lalu, aku kembali ke Uwak Item dan minta ilmu kebalku diambil lagi. Aku sudah tidak membutuhkan ilmu mistik itu lagi karena Bardan yang jadi target operasional supramistikku sudah bertobat. Sekarang ini, keadaan pasar aman tenteram dan semua pedagang tidak ada yang terganggu lagi oleh ulah preman pemeras sadis yang dulunya sangat merajalela. Semua orang di Ogan Komering Ilir menganggap akulah pahlawan penyelamatan pasar Bangli itu, tapi aku merasa bukanlah aku, tapi Allah Azza Wajalla, yang memberikan ilmu kebal bacok kepadaku lewat Uwak Item, yang membuat Bardan ketakutan lalu bertobat. ***
(Kisah ini dialami oleh Firmansyah Iskandar, Yudhistira menulis cerita itu untuk Misteri Sejati-Red)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HAJI BULGANON HASBULLAH AMIR ORANG KAYA RAYA YANG DERMAWAN..

Pengalaman Abang Bulganon Amir Mursyid Spriritual Tangguh Yang Dapat Bisikan Masuk Neraka

Dunia Supramistika Tia Aweni D.Paramitha