CINTAKU
KANDAS
DI
PARANG TRITIS
Karena
benar-benar putus asa, aku mau terjun di atas bukit Parang Tritis, nyungsep di
laut selatan. Bunuh diri, pikirku, menjadi satu-satunya cara untuk menghapus
duka yang dalam setelah ditinggal mati Mas Pujianto, suamiku yang telah sepuluh
tahun bersamaku. Mas Pujianto meninggal akibat kecelakaan lalu lintas di Ambawara,
Semarang, di mana mobilnya masuk jurang dan Mas Pujianto menghembuskan nafas
terakhirnya di tempat. Beruntung, pernikahan itu tidak membuahkan anak. Aku
dinyatakan dokter kandungan, subur. Hanya Mas Pujianto sedikit bermasalah
dengan keuburan hingga dia tidak mampu membuahiku.
Namun walau kami tidak punya
keturunan, tapi perkawinan kami sangatlah bahagia. Aku benar=benar senang,
damai dan sejahtera bersama Mas Pujianto yang menjabat sebagai direktur Bank
Jawa Jaya, sebuah bank swasta yang dulunya didirikan oleh mertuaku, ayah Mas
Pujianto, Haji Masnuh Haryadi. Aku benar=benar disayang, dimanjakan dan
dikasihi oleh suamiku ini. Lain dari itu, mertuaku juga sangat menyayangiku,
seperti mengasihi anak kandungnya sendiri. Untuk itulah, aku selalu bersyukur
kepada Tuhan yang telah begitu besar memberikan karunia kepadaku. Begitu banyak
orang yang menyanyangiku dan aku meyangangi mereka.
Setiap liburan, terutama cuti akhir
tahun, Mas Pujianto mengajak aku jalan-jalan ke luar Jawa. Bukan hanya Bali,
tapi juga aku diajak ke raja Ampat, papua Barat dan Maladewa, Bangkok dan
Vietnam. Di rumahpun, aku dibahagiakan dengan mobil sedan mulus, uang belanja
yang banyak dan telpon seluler model terbaru. Bahkan, karena aku suka salon,
maka Mas Pujianto diam-diam membeli sebuah salon yang sudah jalan, diambil alih
olehnya untuk aku kelola. Usaha itu, belakangan, setelah Mas Pujianto
meninggal, jadi bangkrut total. Tidak ada pelanggan lagi dan akau tak mampu
lagi menggaji karyawan. Semua karyawan aku PHK dan salon aku jual ke orang
lain.
Selain salon, mobil, rumah dan
tanah=tanah yang dibelikan Mas Pujianto, aku jual semua. Penjualan itu bukan
karena aku butuh uang, tapi karena nasehat gaibku, bahwa semua harta pemberian
Mas Pujianto itu harus dijual agar aku kuat untuk melanjutkan kehidupanku. Bila
tidak dijual, akau akan terus merana, tersiksa dan terancam akan sakit keras
secara fisik dan mental. “Kamu bisa gila jika harta pembelian Pujianto itu tidak
kamu lego,” kata Kanjeng Gusti Bambang Sucipto, 78 tahun, kepadaku.
Kanjeng Gusti Bambang Sucipto memang
penasehat spiritual Mas Pujianto sejak lama. Bahkan, dimulai dari kakeknya Mas Pujianto, bapak dari mertuaku,
Mbah Prawiro Samekto. Mbah berteman baik dengan Kanjeng Gusti Bambang Sucipto
dan Kanjeng dipercaya benar sebagai penasehat spiritual keluarga Mbah Ptawiro
Samekto hingga ke cucunya, Mas Pujianto.
Karena saran Kanjeng Gusti, agar aku
selamat meniti hidup, maka aku mengikuti
kehendaknya. Aku menjual semua harta peninggalan Mas Pujianto hingga
habis. Uangnya, aku belikan rumah di daerah lain. Aku membangun rumah di
Jetisharjo, Wonosari, Gunung Kidul, dengan rancangan aku sendiri. Rumah itu
berada di atas bukit Grendol, Baron Barat, menghadap ke laut selatan. Rumah yang mirip
bungalow yang menghadap ke Samudera Hindia.
Sesuai perintah Kanjeng Gusti
Bambang Sucipto juga, aku menempati rumah itu bersama ibu kandungku yang sudah
sepuh. Ayahku, sudah lama meinggal, yaitu sejak aku masih duduk di bangku kelas
sati SMA Teladan, SMA Negeri I,
Gampingan, Yogyakarta Barat.
Setelah tahlilan 40 hari Mas
Pujianto, aku baru pundah ke rumah baru. Rumah yang jauh dari pemukiman dan
jauh dari penduduk di kabupaten Gunung Kidul itu. Di situ aku beternak kambing,
sapi dan bertanam-tanaman palawija. Yang mengelola adalah ponakanku, Mardi, 30
tahun, anak kakak tertuaku, yang sudah menikah dengan Tarsih dan mempunyai anak
satu, Alika. Alika, cucu keponakanku ini, menjadi hiburanku. Alika sangat dekat
denganku, karena mamanya, Tarsih mengajar SMP di Godean, Yogyakarta dan setiap
hari naik motor Honda bebek pulang balik ke sana. Alika jadi seperti anakku dan
aku sangat mencintai cucu keponakanku ini.
Entah kenapa, di tengah kebahagiaanku
yang sumringah bersama Alika, tiba-tiba Alika sakit panas. Aku segera
membawanya ke dokter Wonosari, diberi obat tetapi panas badannya tidak turun
juga. Aku lalu mengeluarkan mobilku yang baru aku beli menuju dokter rumah
sakit PKU Muhamadiyah di Ngupasan, Yogyakarta. Alika dirawat beberapa waktu
lalu meninggal dunia di sana.
Kematian Alika menjadi pukulan maha
hebat bagi aku, Tarsih, ibunya dan keponakanku, Mardi, bapaknya Alika. Kami benar-benar tenggelam
dalam duka, kesedihan dan gundah gulana. Kepergian cucuku yang masih berumur
setahun ini, membuat aku oleng dan tidak mau makan karena sedih. Begitu juga
dengan Tarsih dan Mardi, mereka lemas,
lemah dan hidup kehilangan semangat. ***

Komentar
Posting Komentar