JIN SUNGAI MAHAKAM
JIN SUNGAI MAHAKAM
Malam semakin gelap. Hujan deras
membasahi bumi. Rumah rakit yang kami
tempati terombang ambing dibawa
gelombang laut. Sungai Mahakam malam itu tidak bersahabat. Angin barat dari
Selat Makasar mengangkat permukaan Sungai Mahakam. Sebagian air pasang sungai masuk
ke rumah kami. Sementara atap nipah yang bocor, sangat deras masuk ke rumah.
Untung dua anakku sudah tertidur pulas dan mereka tidak terganggu oleh air. Suamiku
malam itu terlambat pulang. Pekerjaannya sebagai buruh kasar di P.T.Expan yang sedang membangun rig
baru di pal IX, tidak memungkinnya untuk
pulang. Hujan deras dan angin kencang akan membahayakan perahunya yang kecil.
“Mama, Mama, tolong bukakan pintu
dan lemparkan tali plastik ke perahu saya,” teriak suamiku, Kang Juwarna, pulang. Kala itu jam di dinding sudah
menunjukkan pukul 24.00 tengah malam. Tali plastic yang dimaksud adalah tali besar
untuk menambatkan perahu ke rakit rumah kami. Aku buru-buru membukakan pintu.
Aku menyenteri suamiku dan aku melihat dia basah kuyup karena hujan yang deras.
“Cepat Mama, lemparkan tali itu. Gelombang terlalu besar dan air sudah masuk
separuh ke dalam perahu ini,” desis Kang Juwarna, tergopoh-gopoh.
Setelah aku buru-buru melemparkan
tambang plastik, Kang Juwarna menarik perahu dan menambatkan di paku besar
ujung timur. Setelah perahu diikatkan, dia menghambur masuk dalam keadaan basah
kuyup. “Kenapa akang pulang malam-malam, kenapa tidak besok saja?” kataku,
kepada suamiku. “Akang kasihan sama Mama dan anak-anak, BMG meramakan akan
datang badai besar dan rumah rakit kita ini terancam hanyut, hancur
berantakan,” sorong Kang Juwarna. “Untuk itulah, aku buru-buru pulang walau
dalam keadaan gelap dan hujan deras. Bahkan, kang nyaris terjungkal tadi, saat
perahu Akang diterjang badai besar,” cerita suamiku.
Setelah mandi tengah malam dan
berganti baju tidur, Kang Juwarna memeluk aku.
Dalam keadaan bocor dan badai laut, suamiku mengajak aku bercinta. Kang
Juwarna membeluku dari belakang dan mencium leherku dengan mesra. Sebagai
wanita normal, tentu aku terangsang dan kami malam itu bercinta habis-habisan
di tengah hujan lebat.
“Akang mencintai mu Ma, sangat
mencintaimu. Katakan sejujurnya, apakah Mama juga mencintai Akang?” bisik
suamiku. Kang Juwarna lalu mencium bibirku dengan hangat dan kami pun berdua
lalu bergumul dalam keadaan telanjang bulat. Tanpa benang sehelaipun. Malam itu
aku benar-benar menikmati hubungan intim itu dan Kang Juwarna pun demikian
adanya. Kami benar-benar total menikmati hidup, walau kami hanya berumah di
atas rakit Sungai Mahakam, Sanga-Sanga, Samarinda, Kalimantan Timur.
Karena lelah habis bercinta, aku pun
terlelap seketika. Pada saat pagi-pagi terbangun untuk mandi junuk menuju sembahyang
subuh, aku tersentak kaget. Di sebelahku Kang Juwarna tidak ada lagi. “Waduh,
ke mana dia?” pikirku. Aku segera menghambur ke kamar mandi kami, tapi suamiku
tidak ada di situ. Kucari di kamar tifur anakku, suamiku juga tidak ada di
situ. “Pergi ke mana dia sepagi ini?” batinku.
Dengan cepat aku menhambur ke pintu.
Kubuka pintu itu untuk melihat perahu Kang Juwarna. Duh Gusti, perahu itu
ternyata tidak ada lagi di situ. Tali tambang plastik pun sudah tidak ada lagi
di situ. Pikirku, Kang Juwarna pastilah pergi, tapi pergi ke mana dia di
pagi-pagi buta ini? Selama ini, hal itu tidak pernah dia lakukan dan tidak
mungkin dilakukannya. Karena jarak tempat pekerjaannya tidak begitu jauh, biasanya Kang Juwarna pergi kerja pada
pukul delapan pagi. Untuk sampai di
tempat pekerjaannya hanya memakan waktu setengah jam. Jam Sembilan dia mulai
bekerja hingga pukul lima sore. Maka
itu, pikirku, tidak mungkinlah Kang Juwarna berangkat kerja pagi-pagi sekali.
Sementara tadi malam dia lembur hingga tenha malam dan pulang dalam keadaan
hujan deras.
Matahari sudah mencorong di timur. Aku berusaha melupakan
kasus raibnya Kang Juwarna di pagi itu. Semua ini aku lakukan karena aku segera
sibuk mempersiapkan sarapan dan
perlengkapan dua anakku, Tika dan Arina yang akan ke sekolah. Dua anakku yang
duduk di kelas dua dan tiga SD Expans ini masuk sekolah pukul tujuh pagi.
Mereka berjalan kaki selama setengah jam menuju sekolahan. Namun karena badai
sudah mereda, aku agak tenang mengantarkan anak-anakku ke sekolah. Ramalan BMG
yang akan terjadi badai besar sudah terhindar. Badai itu batal datang dan
Alhamdulillah kami bisa selamat dari kehancuran rumah rakit.
Setelah anak-anak sudah berangkat
sekolah, aku memanggil ojek perahu dan minta diantarkan ke tempat kerjaan
suamiku. Sesampainya di rig, aku melihat suamiku sedang bekerja di lantai atas
rig baru itu. Pekerjaan on shore yang membutuhkan pekerja-pekerja tangguh
seperti suamiku. Badan tegap, kokoh dan bernyali besar, membuat perusahaan
pembuat rig itu menyukai suamiku. Maka itu Kang Juwarna sering diminta lembur
dan selalu banyak mendapatkan bonus.
Setelah melihat aku datang, Kang
Juwarna pamit pada mandornya untuk menemui ku barang sebentar. Dia lalu turun
rig dengan kecepatan tinggi menghambur ke arahku. “Mama, kenapa Mama datang
kemari, ada apa rupanya? Maaf, tadi malam Akang tidak bisa pulang karena secara
mendadak Akang diminta lembur sampai pagi ini!” ungkap Kang Juwarna.
Jantungku berdebar hebat. Hatiku
tiba-tiba gamang mendengar keterangan Kang Juwarna itu. Bagaimana tidak kaget,
tadi malam suamiku pulang bahkan kami melakukan hubungann intim yang begitu
heboh. Tapi sekarang, Kang Juwarna memberi tahu aku bahwa tadi malam dia tidak pulang dan mendadak
lembur. Lha, laki-laki yang menyerupai suami tadi malam itu siapa? Lagi pula
perahu dan baju yang digunakannya semuanya milik suamiku? Pertanyaan aneh ini
lalu terus menggenuki pikiranku dan aku menjadi panik. Tapi, untuk tidak
membuat Kang Juwarna resah, aku harus merahasiakan kasus tadi malam. Batinku,
kasus ini harus menjadi rahasia pribadiku dan sampai kapanpun, jangan sampai
Kang Juwarna tahu. Bila dia tahu,
kasihan dia, pastilah dia akan cemburu besar dan marah besar kepadaku. Padahal
kasus ini bukanlah salahku, sebab aku tidak tahu bahwa yang datang bukanlah
Kang Juwarna asli. Tapi mahlukm gaib penghuni Sungai Mahakam yang biasa menyaru
suami-ssuami dan istri-istri di daerah kami.
“Aku datang menmui Kang Juearna
hanya kepingin tahu, apakah Akang baik-baik saja. Udah, lanjutkan pekerjaannya,
aku akan segera pulang mempersiapkan makan siang anak-anak pulang sekolah
nanti. Akang akan pulang pukul berapa?” kataku. Setelah member tahu akan pulang
pukul lima sore, aku langsung pulang dalam keadaan bimbang.
Batinku bergolak hebat dan jantungku
masih terus berdegup kencang. Pikirku, tadi malam aku telah bersenggama dengan
jin, makhluk gaib penghuni Sungai Mahakam, yang biasa dipanggil warga sebagai
Uwak Laut. Uwak Laut adalah jin penunggu sungai dan laut yang biasa mengganggu
kehidupan warga. Kasus ini sering terjadi dan banyak korban yang terkena, kali
ini justru aku yang menjadi sasaran.
Sesampainya di rumah, aku tersentak
melihat karung yang berisi emas batangan. Emas itu berjumlah 50 batang dan
berwarna kuning tua seperti jenis emas
24 karat. Aku buru-buru membawa emas itu ke kota Samarinda dan ternyata memang
emas murni. Aku segera menjual emas itu di agen logam mulia dan aku mendapatkan
uang begitu besar. Setelah itu aku pergi
ke bank dan memasukkan uang itu sebagai deposito berjangka.
Setelah selesai urusan bank, aku
kembali ke rakit. Anakku pulang sekolah dengan menikmati makanan Amerika yang
aku beli di samarinda. Aku membawa
puluhan kotak ayam kentang kentucky dan aku bagi-bagikan sama warga kampung.
Semua berterima kasih dan tercengang
melihat penampilanku siang itu. Aku katakan ada rejekih, uang bonus lembur suamiku
sekalian perayaan ulang tahun ku. Pikirku, tidak apalah, orang miskin seperti
aku, yang hanya tinggal di rumah rakit, tapi dapat merayakan ulang tahun dengan
makanan Amerika.
Untuk tidak membuat curiga suami dan
warga kampung, aku menceritakan bahwa aku mendapatkan warisan tanah besar
peninggalan almarhum ayahku di Garut, Jawa Barat. Memang kami punya tanah,
walau tidak banyak dan wajar apabila aku dikirimi uang penjualan tanah warisan
itu. Dengan setengah memaksa suamiku, kami harus meninggalkan rumah rakit dan
membeli rumah di Bukit Baharu, di atas kompleks P.T.Expan. Suamiku percaya akan
hal itu dan kami pun pindah rumah.
Rumah rakit bekas kami, kami
serahkan, kami berikan secara gratis kepada nelayan sebelah rumah kami,
yaitu Jalili kasin yang berasal dari
Dayak Ngaju. Jalili sangat senang rumah itu dan rumahnya menjadi dua. Tapi
karena masih kosong, aku segera menyewa truk untuk membeli perabotan lengkap di
samarinda. Kuisi rumahku dengan tiga tv besar layar prisma, kulkas jumbo dan
sebuah keyboard Yamaha PSR 900, alat music yang bisa dimainkan olh suamiku.
Waktu masih tinggal di Tegallega,
Bandung, Kang Juwarna memang pernah bermain band. Dia bermain keyboard an
sangat pandai menyanyi. Oleh karena nasib kami tidak bagus, maka band itu
tenggelam dan Kang Juwarna menjadi pengangguran. Pada suatu kesempatan, teman
baiknya yang telah bekerja lebih dulu di P.T.Expan, mengajak Kang Juwarna
bekerja di rig dan kami pun pindah ke Sanga-Sanga, Kalimantan Timur.
Pada tahun 2012 ini,
Alhamdulillah, nasib kami begitu baik.
Kami bersyukur kepada Allah Azza Wajalla yang telah memberi kami rejeki kagetan itu. Walau, hingga kini, batin ku terus terguncang, bingung, dan bertanya-tanya,
adakah tumbal lagi yang dituntut oleh si gaib pemberi emas karungan itu? Lalu
berdosakah aku, bersalah kah aku menerima dan menikmati pemberian itu?
“Tidak, tidak akan ada tumbal lagi yang
dituntut. Anda akan aman sampai kapanpun dan jin Sungai Mahakam itu tidak akan
menyaru lagi suamimu lalu berhubungan intim lagi. Bila sekarang kamu dicumbui
suamimu, dialah suamimu sesungguhnya, bukan lagi jin yang menyaru, menyamar
secara oersis suamimu. Lagi pula, saya yakini bahwa Anda tidak bersalah, kalau soal dosa, saya
tidak tahu. Yang jelas, saya yakini bahwa Anda tidak bersalah menerima dan
menikmati emas titipan gaib itu. Cuma,
saya sarankan, uang dari penjualan emas yang didepositokan itu, sebaiknya
dibersihkan. Caranya, sumbangkan sebagain uang yang didapat untuk kepentingan
social, untuk membantu ribuan anak yatim dan orang miskin. Insya Allah, uang
itu tidak akan membawa petaka bagi keluagamu dan Anda akan selamat sampai
akhirat,” unmgkap Kiyai Haji Mahmud Abbas, guru spritualku di Samarinda.
Berdasarkan saran kiyaiku
ini, maka aku mengeluarkan semua sisa uangku di bank dan aku serhakan pada
yayasan pengelola panti asuhan, panti yatim dan warga miskin. Tidak kurang dari
40 milyar uang itu aku sumbangkan dan aku pun, tidak memagang lagi sepeserpun
uang dari titipan gaib penguasa Sungai Mahakam itu.
Kini aku hanya memiliki satu
rumah beserta isinya, satu mobil kijang innova dan dua sepeda motor. Memang,
sejak sebagian uangku itu disumbangkan, aku menjadi tenang dan keluarga begitu
berbahagia. Cintaku mkepada anak-anak, cintaku kepada suami sermakin hangat dan
kami benar-benar menikmati hidup dengan cara yang sangat sderhana, tidak jauh
berbeda saat kami masih tinggal di rumah rakit. Terima kasih Tuhan, terima kasih
tuan raja Sungai Mahakam. ***
(Kisah ini terjadi pada Nyonya Juwarna, Syarifah Novita lhadad menulis
cerita itu untuk Misteri Sejati-Red)

Komentar
Posting Komentar