Misteri Sejati: Yudhistira Manaf
KUTEMUKAN
CINTA DI
SAMUDERA HINDIA
Kereta
Senja Utama meluncur cepat dari stasiun gambir menuju stasiun Tugu Yogyakarta,
petang itu, Selasa Pahing, 15 Oktober 2013. Hari itu adalah tanggal merah, Hari
Raya Idul Adha, 10 Dzulhijah 1434 Hijriah. Aku ingat betul, paginya aku
sembahyang Idul Adha di lapangan futsal dekat rumah, setelah itu ikut membantu
membagi-bagikan daging kurban kepada warga miskin.
Aku memotong tiga kambing untuk istri
dan dua anakku, yang raib, atau sudah meninggal dunia akibat banjir besar saat
jebolnya Situ Gintung di Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Jumat pukul
02.00 dinihari, 27 Maret 2009, yang menghanyutkan rumah kami, berikut istri dan
dua anakku tercinta. Mereka hilang bersama air bah Situ Gintung, yang hingga
saat ini tidak ditemukan jasadnya. Mereka bertiga yang sangat aku cintai itu,
hanyut dan aku yakin mereka sudah meninggal dunia. Tim SAR dan warga relawan
pencari korban, telah mencari ke mana-mana, namun tidak ditemukan juga. Untuk itu,
semua berkeyakinan, istri dan dua anakku itu telah wafat dalam tragedi itu.
Pada peristiwa nahas dinihari itu, aku sedang bertugas ke Semarang, Jawa
Tengah. Kalau saja aku ada di rumah bersama mereka, pastilah aku ikut jadi
korban. Dan, jujur saja, bila aku bisa mengulang peristiwa itu, aku ingin
bersama istri dan dua anakku itu, ikut hanyut dan meninggal bersama-sama.
Tapi begitulah takdir. Petaka, ajal,
jodoh dan kelahiran, semuanya telah ditentukan oleh Allah Azza Wajalla. Sebagai
manusia lemah, aku hanya bisa menangis, sedih dan gundah gulana berkepanjangan
hingga saat ini. Bila saja aku dapat meminta mati, maka rasanya aku meminta
mati saja dan dimatikan saat ketiga orang kucinta itu dibawa hanyut air bah
Situ Gintung. Jebolnya air waduk bangunan Belanda tahun 1932-1933 yang menelan
korban puluhan jiwa itu, sebenarnya akibat kelalaian pemerintah. Dinding waduk
sudah rapuh dan tidak pernah ada niat pemerintah memperbaikinya. Bayangkan,
sejak tahun 1933, hingga tahun 2009, selama 76 tahun, tidak sekalipun waduk itu
diperbaiki. Maka ketika hujan deras sejak pukul 16.00 tanggal 26 Maret 2009, maka
jebollah waduk sepanjang 30 meter dan
memuntahkan air bah yang memakan puluhan nyawa manusia. Termasuk istri dan dua
anakku yang kala itu diduga sedang terlelap. Maka itu mereka tidak sempat lari
dan menyelamatkan diri. Tetangga terdekat yang selamat dari bencana
menceritakan bahwa sejak hujan deras sore hari Rabu, 26 Maret, lampu dalam
sudah dimatikan dan hanya lampu taman yang menyala. Biasanya, mereka tidur
setelah sembahyang Isya. Saat hujan deras dan lama, paling mungkin adalah tidur
cepat karena tidak bisa keluar rumah karena kucuran air dari langit.
Begitu dapat kabar keluarga ku jadi
korban tragedy Situ Gintung, aku segera mencari tiket terbang ke Jakarta dari
Semarang. Jantungku bergetar hebat dan kepalaku nanar, cemas, takut dan getir
hingga pesawat Garuda Indonesia Airline yang membawa aku ke bandara
Soekarno-Hatta Kota Tangerang, mulutku terus berkomat kamit berdoa, agar istri
dan dua anakku ditemukan dalam keadaan selamat. Doa dan doa terus aku
panjangkan selama perjalanan Semarang-Cirendeu,Ciputat, ke rumah kami.
Namun sayang, rumahku sudah hancur,
sebagian terhanyut karena dahsyatnya air. Dan istri serta dua anakku, tidak
tahu di mana dibawa air. Dalam keadaan lemas, sedih dan jantung bergetar, aku
menelusuri aliran sungai ikut tim SAR dan relawan mencari dua anak dan istriku.
Perasaanku tidak menentu dan gundah gulana. Kalau saja bunuh diri tidak haram,
Allah SWT tidak murka, mungkin saya lakukan bunuh diri kala itu, biar bersama
istri dan anak-anakku di alam barzah, batinku. Biar aku merasakan betapa
sakitnya menderita karena diterpa air bah.
Setelah mencari dan mencari dan
tidak bertemu jasad mereka, aku menghentikan pencarianku setelah setahun terus
menerus mengawasi daerah aliran banjir Situ Gintung. Belukas pinggir kali, di
bawah jembatan dan barang rongsok di dasar kali, aku cari dan kucari. Namun,
Allah berkehendak, bahwa aku tidak menemukan kjenazah istriku, Suhartini dan
dua anakku, Anggie dan Ega Saskia. Dua anak perempuanku dan istriku yang selalu
terbayang-bayang hingga kini. Setelah enam tahun mereka raib. Atau pergi untuk
selama-lamanya.
Setiap saat aku berserah diri kepada
Allah Azza Wajalla. Setiap saat aku berzikir, meminta dan berharap agar
Suhartini, Anggie Marwiyah dan Wga Saskia tetap hidup. Aku membayangkan bahwa
mereka ada di suatu tempat, bertiga dalam keadaan sehat walafiat dan aku datang
menjemput mereka.
Aku membayangkan kami berempat
bersama lagi, membuat rumah baru dan berbahagia, bercanda dan berwisata ke
tempat indah sebagaimana kami jalani selama ini. Aku memikirkan jika mereka
masih hidup, walau di ujung dunia pun, aku akan jemput. Aku akan mencari ongkos
sebesar apapun untuk menemui mereka dan mengajak ketiganya kembali ke Tangerang
Selatan.
Sejak itu, aku membenci pemerintah
yang terkait renovasi perbaikan bendungan Situ Gintung itu. Pemda Banten dan
Dinas Pekerjaan Umum yang membuat warga korban dendam. Warga korban marah
karena pemerintah tidak mau merenovasi bendungan besar penampung air dari
Gunung Salak dan Gunung Pangrango itu. Dana APBD ada untuk bangunan yang
mendesak, tapi pemerintah daerah yang kala itu dipimpin Ratu Atut Choysiah,
tidak pernah memikirkannya. Mereka abai padahal sudah diusulkan berulang oleh
lurah dan camat. Akibat lalai itu, maka istri dan dua anakku, serta hamper
ratusan orang mati sia-sia diterjang air bah Situ Gintung.
Hidupku terasa sia-sia sejak musibah
itu. Beruntung temanku banyak. Semua datang ke tempatku yang baru kukontrak
setelah rumahku hancur, membesarkan hatiku. Mereka support dan besarkan
semangat hidupku. Mereka menemaniku, membahagiakanku dan mengajak aku pasrah,
ikhlas dan rela karena musibah berat itu adalah keputusan Allah Azza Wajalla.
Banyak pula teman wanita yang
bersedia menggantikan istriku, minta dinikahi dan akan menggantikan Suhartini.
Bahkan berjanji akan memberiku anak pengganti dua gadis kecilku. Namun, aku
berterima kasih sekali kepada semuanya yang membantuku bangkit. Membantuku
untuk tidak bunuh diri, melenyapkan nyawa sendiri karena frustrasi.
Belakangan, seorang kiyai besar
membantuku pulih, bersemangat hidup, bersemangat kerja dan bahkan bangkit
meraih prestasi besar. Aku kembali ke jalan Allah SWT dengan bersembahyang
jemaah ke mesjid, wiridan setiap malam, berzikir setiap saat karena kata Kiyai
Haji Muzakir Manaf, kiyai ku, aku diberikan cobaan berat ini karena Allah
mencintaiku. Dengan musibah itu, aku diingatkan oleh Allah, bahwa aku harus
makin dekat dan mendekat kepada-Nya. Allah senantiasa memperhatikanku,
mengawasiku, menegndalikanku agar tidak pernah menjadi kafir. Tidak berpaling
lagi dari-Nya dan hanya kepada-Nya aku berserah diri. Menyerahkan diriku secara
total untuk disutradarai, dikendalikan, sebelum ajalku menjemput. Sebelum aku bersama
istri dan dua anakku di surga nanti. Aamiin yaa robbal aalaamiin.
Perjalanan ke Yogyakarta pada hari
Idul Adha itu karena datang perintah gaib melalui mimpiku. Ada seorang
nenek-nenek yang mirip nenekku, Hajjah Zuriah Alimi, yang sudah meninggal 34
tahun lalu. Nenek-nenek itu berbisik dalam mimpiku, bahwa, bila aku mau
mengetahui di mana istri dan dua anakku, pergilah ke Parang Endok, Parang
Tritis, Yogyakarta Selatan.
Di tepi Samudera Hindia, ada sebuah
bungalow tempat kami menginap setahun sebelum peristiwa bendungan Situ Gintung
yang merenggut nyawa keluargaku. Kami menginap selama tiga hari di Bungalow
Wijaya Kusuma, sebuah tempat peristirahatan yang menghadap ke laut di Desa
Parang Endok, Parang Tritis, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Oleh karena
mimpi itulah, maka aku yang merindukan istri dan dua anakku, berangkat ke
Yogyakarta dengan kereta Senja Utama Express malam, dan sandar di stasiun Tugu,
Malioboro, Yogkarta.
Sesampainya di setasiun Tugu, jam di
tanganku menunjukkan angka 04.00 dinihari. Setelah sembahyang subuh di musolah
stasiun, aku memesan kopi di kantin dan sarapan mir instan telur, aku langsung
memesan taksi menuju Parang Tritis.
Taksi warna biru itu melintasi jalan
Malioboro, melewati Benteng Vreideburg, masuk lingkungan Keraton Sultan
Hamengkubuwono, memotong jalan Brigjen Katamso lalu ke selatan menuju Imogiri
dan Kretek Sungai Kresek lalu masuk ke Parang Endok, Parang Tritis, pagi jam
07.00 WIB.
Sesampainya di Bungalow Wijaya
Kusuma, aku menenteng tas dan membayar taksi. Taksi berangkat kembali ke
Yogyakarta dan aku mengetuk pintu rumah sebelah bungalow, rumah kecil dari
bamboo, Pak Suwito Atmojo, orang yang dulu mengurus bungalow yang kami sewa.
Ketika aku melihat sosok rumah
peristirahatn itu, jantungku bergetar lagi dan hatiku miris, di mana langsung
teringat ketika kami berempat menginap di situ. Dua anakku lari-larian main
takumpet dan aku bersama Suhartini, istriku tertawa memperhatikan ulah dua
putriku yang lucu-lucu dan cantik.
“Papa, anak-anak nampaknya bahagia menginap
di tempat peristirahatan sederhana ini, mereka suka jalan-jalan jauh dari
Jakarta dan bermain di daerah orang lain,” bisik istriku, Suhartini, sambil
memijit punggungku.
“Ya, Ma, Papa tahu mereka senang
jalan-jalan jauh. Insya Allah, tiga bulan lagi, jika anak-anak libur, kita
pergi ke Lombok, Nusa Tenggara Barat, kita mengunjungi Pulau Gilitrawangan yang
anggun. Doakan Papa Ma, biar Papa dapat uang bonus lagi dari hasil pekerjaan
Papa sebagai sutradara televisi,” kataku. Suhartini pun, memang senang
jalan-jalan. Sebagai ibu rumah tangga biasa, dia cepat jenuh di rumah, walau
rumah kami di Cirendeu, Ciputat, Kota Tangerang Selatan itu cukup nyaman,
dibawa bendungan Situ Gintung, yang kala itu begitu indah.
Innalillahi wainna ilaihi rojiun,
ternyata Pak Suwito sudah meninggal dunia dua tahun lalu. Kini, anaknya,
Suhartina yang menggantikan bapaknya mengurus bungalow, yang pagi itu ternyata
kosong. Kata Suhartina, sudah lama bungalow itu kosong, tidak ada yang mengisi.
Sekarang ini, katanya, para wisatawan banyak yang lari menginap di parang
Tritis. Di dekat laut Parang Tritis, sudah banyak bungalow yang bagus-bagus,
dibangun dengan investasi besar-besaran oleh pengusaha dari Jakarta. Bahkan ada
sepuluh bungalow milik konglomerat hitam, yang kini konglomerat itu kabur ke
China.
Suhartina ternyata janda kembang.
Suaminya juga telah meninggal sebelum Pak Suwito, bapaknya meninggal dunia.
Anaknya dua, masih sekolah dasar, semuanya perempuan. Suhartina seumuran dengan istriku, Suhartini,
dan mereka sama-sama berasal dari Jetisharjo, Masaran, Sragen, Jawa Tengah.
Pada saat aku bersama keluarga menginap di bungalow itu, Suhartina masih
tinggal bersama sumainya di Yogyakarta. Suaminya, Suroso, membuka bengkel motor
di Jalan Pura Pakualaman, Yogya Timur. Sepeninggal Suroso, bengkel itu bangkrut
dan Suhartina bersama dua anaknya ikut Pak Suwito yang duda di Parang Endok,
dan semua anaknya pindah ke rumah Sang Kakek. Namun malang, tidak lama Si Kakek
wafat. Suhartina dipercaya melanjutkan mengurus bungalow dan berjualan makanan
dan minuman ringan di Parang Tritis. Usahanya itu lumayan laku di saat hari
libur, banyak wisatawan domestic yang datang dan jajan di warungnya yang dibuat
dari bambu dan atap rumbia.
Tidak berapa lama, anak-anak
Suhartina keluar dengan pakaian seragam, menemui ibunya untuk cium tangan
karena akan berangkat sekolah. Mereka sudah sarapan, bisa mengurus diri sendiri
dan diminta oleh Suhartina mencium tanganku. Agar kenal denganku yang akan
menginap di bungalow yang mereka urus. “Om sendirian aja, tidak dengan
anak-anaknya?” tanya Si Bungsu, Paswarita, kepadaku.
Jantungku berdetak hebat dan
bulukudukku merinding. Suara Paswarita itu persis sekali dengan suara suara
anakku yang kecil. Wajahnya pun, sangat mrip dengan anakku yang hilang akibat
bencana Situ Gintung. Oh Tuhan, mengapa mereka begitu mirip dan mengapa Tuhan
emmberiku mimpi datang ke bungalow ini, rumah sewa tempat wisata yang pernah
kami inapi sekelurga dan berbahagia di situ beberapa tahun lalu?
Lama aku tidak menjawab pertanyaan
Paswarita, anak centil yang lucu dari pasangan Suroso dan Suhartina ini. “Om,
kenapa Om diam saja, malah melamun seperti itu?” tanya nya, semakin centil. “O
ya..akh, Om ingat anak Om, kamu mrip sekali dengan anak Om, bahkan suaranya
sama persis,” jawabku, agak gelagapan.
“Di mana anak Om itu? Kenapa tidak
diajak ke sini, jalan-jalan ke Parang Endok?” tambahnya lagi, bertanya, sambil
memegang tangan ibunya. Suhartina menambahkan pertanyaan anaknya yang lugu itu.
“Ya Mas, kenapa tidak dengan keluarga? Apakah ada tugas kantor ke sini, maka
tidak membawa istri dan anak-anak?” tanya Suhartina, polos dan enteng.
Aku terdiam beberapa saat mendengar
pertanyaan Suhartina, yang suaranya mirip dengan suara istriku, Suhartini.
Senyumnya pun, semanis Suhartini, wanita yang paling kucintai di dunia ini
setelah ibuku.
“Ehm..ehm…istri dan dua anakku,
telah tiada. Aku tidak tahu mereka masih hidup atau sudah meninggal,” imbuhku,
dengan mulut setengah gagap, karena ada tekanan emosi jiwa, impulsive datang
dari dalam batinku yang dalam. Aku sangat sedih kala itu, bahkan sangat berat
untuk menjawab pertanyaan yang sangat menyentuh kalbuku itu.
“Kok ketiganya tiada dan Mas tidak
tahu mereka masih hidup atau sudah tiada?” sorong Suhartina lagi, kali ini
dengan berhati-hati. Tapi wajahnya serius ingin tahu bahkan penasaran.
Agar tidak membuatnya penasaran dan
pusing, aku menceritakan keadaan sebenarnya. Bahwa, pada tanggal 27 Maret tahun
2009 dinihari, pukul 02.00 WIB, bendungan Situ Gintung jebol dan memuntahkan
air bah. Bencana bendungan runtuh itu, menjadi tsunami, menghancurkan ratusan
rumah warga dan memakan korban jiwa juga ratusan orang. Istri dan dua anakku,
ikut dalam tragedy itu, hanyut dan jasad mereka hingga hari ini tidak
ditemukan. “Maka itu, Om tidak tahu, apakah istri dan dua anak Om itu telah
meninggal atau mereka masih hidup di dunia mana, gitu. Jika meninggal, ada
jasatnya, ada kuburannya. Tapi ini tidak, jasatnya tidak ada, tapi kehidupan
mereka pun, tidak ditemukan lagi,” kataku, penuh emosi, dan hati yang gulana.
Suhartina mengambil alih omongan
anaknya. Dia memberikan kode kepada buah hatinya agar tidak bicara lagi.
Suhartina memahami bahwa hatiku terusik dan sedih. Maka itu, dia yang
mengendalikan pembicaraan. Menahan suara anaknya agar diam. Dari wajah dan
bibirnya yang pucat, aku melihat Suhartina ikut berkabung, bersedih bersamaku
yang tenggelam dalam peristiwa lalu yang memerihkan hatiku itu.
“Iya, iya Mas, aku menonton televisi
peristiwa jebolnya bendungan Situ Gintung di Ciputat tahun 2009 itu. Bahkan
saya mengamati semua keluarga korban yang meninggal yang diwawancara wartawan
televisi, terutama di Metro TV, RCTI dan TV One,” lirih Suhartina, dengan suara
tertahan. Dia tiba-tiba ikut tenggelam dalam peristiwa itu dan matanya
berkaca-kaca menatapku.
“Mas, maafkan aku dan
anak-anakku,tidak senagaja membuat luka lama Mas terusik kembali. Mas, kami
ikut berkabung, ikut berduka atas musibah yang Ma salami itu. Semoga istri dan
dua anak Mas, ditemukan suatu saat dalam keadaan sehat walafiat. Jika Allah
mengambil mereka dari tragedy itu, saya akan terus mendoakan, semoga mereka
berbahagia di alam Barzah, ditempatkan layak di sisi Allah dan berada di dalam
surge-Nya yang indah. Aamiin yaa robbal aalaamiin,” ungkap Suhartina, getir.
Suhartina sebut, dia tidak menemukan wawancara kepadaku, sebagai keluarga
korban. Memang, aku menolak semua wawancara dan aku minta maaf kepada semua kru
televisi agar tidak mewawancariku. Mereka semua memahami karena tahu sekali
bahwa dukaku kala itu begitu dalam. Bahkan aku dalam keadaan terguncang hebat.
Beberapa saat kemudian, Suhartina
menyudahi pembicaraan karena dia tahu aku bersedih. “Ayo anak-anak,
berangkatlah ke sekolah, uang jajan sudah di ambil di atas meja makan kan?”
ungkapnya, kepada dua anaknya, sambil mendorong badan Paswarita menuju luar
halaman untuk berangkat sekolah di Desa Wangunsari, setengah kilometer dari
rumah mereka sebelah Bungalow Wijaya Kusuma.
Malam itu aku tertidur lelap karena
lelah pada perjalanan kereta Senja Utama dari Jakarta ke Yogyakarta. Aku tidak
bertemu istri dan dua anakku. Bahkan, aku tidak mimpi bertemu dengan mereka di
villa yang kami pernah tempati itu.
Namun, mungkin dinihari pukul 04.00
sebelum subuh, aku didatangi nenek-nenek yang mirip nenekku lagi. Neneku
menyebut bahwa yang dimaksud bertemu dengan keluargaku yang raib itu, adalah
Suhartina dan dua anaknya. “Lamarlah dia dan jadikan istri dan dua anak
pengganti dua anakmu. Anak dan istri sejati sudah berada di surga-Nya Allah
Azza Wajalla. Mereka sudah tenang berada di alam Barzah,” bisik nenek-nenek, ya
katakanlah, nenekku itu. Setelah menyampaikan hal itu, Nenekku pergi, lenyap
dalam hitungan detik.
Esok harinya aku melihat dari jauh
kesibukan Suhartina dagang di warung gribik di tepi Samudera Hindia, tepatnya
di Parang Tritis tempat usaha penopang wisata Yogyakarta Selatan. Suhartina
tidak melihat aku, tapi aku melihat Suhartina.
Pikirku, wanita berstatus janda ditinggal
mati suami itu bekerja keras untuk kehidupannya. Bekerja banting tulang jualan
kecil-kecilan untuk biaya sekolah dua anaknya, Paswarita yang Yulia Hapsari,
anaknya.
“Aku pemegang amanat tunggal dari
suamiku, Mas Suroso, untuk memesarkan dua anakku. Jika aku tidak mampu
menjadikan mereka sarjana, orang berguna, maka, gagallah aku sebagai ibu, gagal
pula sebagai istri,” desisinya, saat aku duduk di warungnya, memesan kopi hitam
dan mie instan rebus.
Ketika para pelanggan sepi, hanya
ada aku sendiri, aku ceritakan tentang mimpiku semalam kepada Suhartina. “Aku
bermimpi didatangi oleh nenekku semalam, kurang lebih jam 04.00 dinihari
sebelum subuh. Nenekku yang sudah lama meninggal itu, meminta kepadaku, agar
aku menikahimu dan mengurus dua anakmu. Karena kata nenekku, dua anakmu itu
adalah anakku juga, pengganti seratus persen anak-anakku,” ungkapku, agak kaku,
karena malu bercampur sungkan kepada Suhartina.
Suhartina terdiam lama. Dia
tersentak dan melepaskan telur bakal mie instan rebut ke toples telur. Dia lalu
memperkecil kompor gas 3 kg yang menyala besar. “Mas serius bermimpi didatangi
nenek nya semalam?” tekannya, penasaran. “Demi Allah, itulah keadaannya, aku
didatangi nenekku dan memerintahkanku menikahimu,” jawabku, kali ini agak
tegas.
“Duh Gusti, aku juga semalam,
dinihari, sekitar pukul 03.45 WIB, didatangi nenek-nenek pakai jarik dan kemben,
yang aku tidak tahu nenek siapa dan dari mana. Dia menceritakan kronologis
musibahmu, dan hilangnya istri dan dua anakmu Mas, Beliau minta agar aku mau
Mas nikahi, pada moment ini juga. Artinya, sebelum Mas kembali ke Jakarta. Demi
Allah, ini benar adanya Mas, aku bukan buat-buat dan tidak perlu aku
buat-buat,” tuturnya, serius.
Kepada kakak kandungnya, Mas Gandung
Suwarto, 56 tahun, aku melamar Suhartina. Mas gandung setuju dan kami ke
penghulu. Kami melakukan nijab kobul dan menikah secara agama Islam yang sah.
Alhamdulillah, tahun 2015 awal lalu,
aku telah menemukan kembali istri dan dua anakku yang hilang. Aku sangat
mencintai dua anak baruku, Paswarita dan Yulia. Aku juga, maaf, sangat
emncintai Suhartina pengganti Suhartini. Aku sangat menyayanginya dan dia pun
sangat menyayangiku. Kini setiap minggu ke tiga setiap bulannya, aku terbang ke
Yogyakarta dan menginap di rumah istri dan dua anakku di Parang Endok. Kami
sepakat, Mas Gandung pun setuju, apablia Paswarita dan Yulia naik-naikan kelas
tahun depan, akan saya boyong ke Jakarta dan tinggal serumah di Jakarta
Selatan, rumah baruku. Namun, tanah
bekas rumah lama kami, korban jebol Situ
Gintung, akan aku jual. Amit-amit, aku tidak akan lagi berumah di bawah Situ
Gintung yang mengerikan. Aku tidak mau lagi istri dan dua anak baruku ini,
kembali tertelan air dan didorong ke hulu yang tak tentu arah.*****
(Kisah Suhardiman Sanyoto, katakanlah
begitu, yang dicatat oleh Yudhistira Manaf untuk Majalah Misteri-Red)

Komentar
Posting Komentar