NEGO GAIB DI ENGGANO


MYSTERY STORY:  Yudhistira Manaf
NEGO GAIB DI ENGGANO
            Hujan lebat mengguyur  Barbau. Atap seng rumah gubuk tempatku tinggal, bergemuruh karena butiran hujan es. Barbau adalah desa kecil di Kepulauan  Enggano, kecamatan Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara,  provinsi Bengkulu.
Sudah tiga hari aku berpetualang di Pulau Enggano. Aku datang bukan dari Kota Bengkulu, tapi datang berperahu dari Pulau Panaitan, Banten Barat.
            Dengan persediaan solar yang cukup, aku berangkat dari Pulau Panaitan menuju Pulau Enggano. Tujuanku ke sini untuk mengangkat harta karun. Ada emas batangan peninggalan Jepang di daerah Pantai Taoabi, sebelah barat Tanjung Kesna.
            Sebagai perempuan, aku dilarang  dan diperingatkan banyak orang untuk tidak nekad  berperahu di Samudera Hindia yang ganas. Namun tekadku pantang surut oleh teguran siapapun, termasuk oleh ayah kandungku sendiri. Mulanya, ayahku sangat melarang aku pergi melaut sendiri.   Ayah tidak ingin aku celaka di laut lepas, beresiko tinggi  pergi dengan perahu motor yang hanya berbobot setengah ton.
 “Tidak anakku, engkau perempuan yang lemah, bagaimana bisa engkau  berperahu kecil dari Pulau Panaitan menuju Pulau Enggano yang jaraknya begitu jauh. Rasanya engkau akan kesulitan menghadapi gelombang laut yang begitu berat,” kata ayahku, Haji Kusnun Ali, 67 tahun, pada saat aku memberitahukan akan bertulang supranaturalis ke Kepulauan  Enggano dari  Pulau Panaitan.
“Percayakanlah ayah kepada kemampuan anak ayah ini. Walau perempuan, tenaga dan fisik saya melebihi dari lelaki. Saya mampu mendayung dengan tangan sejauh 600 mil laut dan itu sudah saya buktikan di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur sepuluh tahun lalu. Sekarang, perahu yang saya  bermesin, ada mesin kokoh  Yanmar baru 90 PK, saya bisa dengan mudah ke sana ayah, percayalah kepada saya, karena yang membantu saya adalah Allah Yang Maha pengasih,” kataku.
            Ayahku memahami hal ini. Dia tahu persis bahwa jika aku sudah nekad dan bertekad, tidak akan bisa dihalangi siapapun, termasuk dirinya. Aku disebutnya anak anangino, lelaki perempuan yang kokoh. Perempuan tapi bermental dan berfisik lelaki. Ayahku sangat tahu bahwa aku punya kemampuan mejelajah laut dengan baik. Karena aku dilahirkan di tepi Sungai Musi Palembang dan biasa berperahu jarak jauh. Dari Kertapati hingga Sungsang di kabupaten Musi Banyuasin dekat Selat Bangka. Itu aku jalani saat aku kelas dua SMA Karta, Jalan Ketandan, Palembang.
Aku mendapatkan bocoran gaib, bahwa ada emas peninggalan  Jepang yang disimpan Jenderal Yamasitha di Pulau Enggano. Pada tahun 1948 kapal Jepang sandar di sini menyimpan emas di Pulau Enggano. Emas itu lalu dikuasai Raja Jin Enggano  bernama Barotai Jambe dengan  ribuan anak buahnya.Seluruh jin di Pulau Enggano.
Sesampainya di Pulau Enggano, aku menitipkan perahuku di dermaga  Baraigo. Lalu aku naik ojek menuju lokasi dengan menyewa rumah atap seng yang sederhana milik Haji Mubarok Alwi. Orang Arab yang sudah puluhan tahun mukim di Pulau Enggano. Haji Mubarok Alwi  juga seorang paranormal. Dia menjadi dukun urut orang sakit di Pulau Enggano. Dari pekerjaannya mengobati orang Muarbarok Alwi dapat membeli tanah beberapa ribu meter dan membangun beberapa rumah kecil yang disewakan di Pulau Enggano.
Di Pulau Enggano terdapat  beberapa suku atau puak. Di antaranya adalah Suku Banten dan Suku Kauno. Suku Kauno adalah puak tertua di Pulau Enggano. Mereka menempati pulau ini sejak tahun 1934 di jaman pemeintahan kolonial. Selain agama Kristen dan Islam di sini ada satu agama yang bernama Agama Ameok, sejenis dengan animisme. Pulau di selatan Sumatera ini terdiri dari beberapa desa dengan luas 25 hektar. Ada Desa Banjarsari, Desa Kanaa, Labuho dan Desa Berhawe. Pulau ini dialiri beberapa sungai, salah satunya Sungai Kikuba.
Di Sungai Kikuba inilah aku berlayar menyusuri wilayah untuk mencari titik di mana emas  Jepang itu disimpan. Namun setelah sebulan aku di Pulau Enggano, ternyata hanya kegagalan yang aku temukan. Raja Jin Enggano tak mau bernegosiasi, dia tidak amu memberikan sebagian  emas yang disimpan Jenderal Yamashita itu untukku.
Kali ini usahaku gagal. Maka itu dengan berat hati aku pergi meninggalkan Pulau Enggano dan kembali ke Pulau Panaitan. Ayahku menyusul aku di Pulau Panaitan dan menempati villa kami di Jeronjo Kidul. Rumah kecil di tengah hutan yang digunakan ayahku untuk berburu binatang hutan.
Setelah beristirahat tanpa mencari harta gaib tersembunyi, aku  mendapat bisikan gaib baru dari  Mbah Buyut  Pangeran Pakuaji. Harta gaib berupa emas di Pulau Enggano akan segera keluar. Raja Jin yang menguasai berganti baru. Penguasa lama kembali ke Timur Tengah. Raja Jin baru itu bernama  Datok Panghajir. Jin yang datang dari Lampung Selatan, dari Gunung Rajabasa.
Tanpa berfikir panjang aku pamit lagi sama ayahku untuk bertualang lagi. Aku siapkan dana, bahan bakar dan tenagaku untuk kembali berlayar dari Pulau Panaitan menuju Pulau Enggano di Samudera Indonesia.
Dalam bisikan gaib Mbah Buyut Pangeran Pakuaji, bahwa harta karun Jenderal Yamashita di Enggano itu adanya di dua cagar alam. Satu di cagar alam Kioyo dan satu lagi di kawasan cagar alam  Tanjung Lasuha. Setelah  berlayar selama dua hari dua malam, sampailah aku ke daerah cagar alam yang dimaksud.
Setelah melakukan  ritual dengan madat Turki, kemenyan Arab dan parfum Elizabeth Arden, aku berhasil mewujudkan Raja Jin Datok Panghajir dari Gunung Rajabasa. Datok Panghajir keluar dengan pakaian kebesarannya. Rompi baja dan senjata trisula dari emas. Di belakangnya ada 123 jin kurcaci, kecil - kecil berkepala botak mirip tuyul. Merekalah yang  menjadi pengawal setia Raja Jin Datok Panghajir yang melakukan perang perebutan kekuasaan dan menang. Setelah mampu mengusir ribuan jin dari Arab kembali ke Timur Tengah, ribuan jin kurcaci juara perang itu masuk ke Pulau Enggano dan berkuasa di dua cagar alam Pula Enggano,  Kioyo dan Tanjung Laksaha.
“Buat apa engkau mencari emas Jenderal Yamashita ini anakku?” tanya Sang Raja Jin, Datok Paghajir, kepadaku. “Buat  membantu sesama manusia Tuan Raja,” kataku. “Emas itu akan aku jual dan aku bagikan ke seluruh anak yatim yang hidup mereka menderita,” imbuh ku pula. “Berapa banyak yang engkau butuhkan, anakku?” sorongnya, lembut. “Sesuai dengan kerelaan hati Tuan Raja Datok Panghajir , berapa kwintal untuk membagi aku,” desisku merendah. “Baiklah, aku akan memberikan kepada mu dua kwintal dulu. Bila suatu hari  kau membutuhkan lagi, engkau boleh minta lagi kepadaku, anakku ya!” ungkapnya, dengan suara berat.
Malam itu aku diberi dua kwintal. Para jin kurcaci menggotong emas itu dimasukkan ek dalam perahu motorku. Setelah berterima kasih kepada Sang Raja, aku kembali ke perahuku dan malam itu juga aku kembali ke Pulau Panaitan di Banten Selatan.
Semua emas simpanan  Jenderal Yamashita di Indoensia ini, dijaga oleh jin. Bagi orang awam, di luar paranormal, tidak akan menemukan letak emas itu di mana. Sebab dalam teori supramistika, apabila emas masuk ke tanah, emas akan menghilang karena ditutupi oleh jin. Bangsa jin sangat suka emas karena semua perhiasan mereka terbuat dari emas.
Aku berlayar dengan dua kwintal emas menyusuri laut. Namun angin barat menerpa, sehingga gelombang laut dan ombak sangatlah besar. Perahu motor ku oleng dan aku terombang ambil di laut lepas. Motorku terbawa ke Samudera Hindia dan  hanyut ke Pulau Peucang di Ujung Kulon. Setelah ombak reda, angin barat usai, aku kembali  ke Pulau Panaitan setelah mengisi dan mempersiapkan bahan bakar yang banyak.
Menjadi dukun penyedot harta gaib, memang tidaklah mudah. Akan lebih mudah bila jadi paranormal yang mengobati orang sakit atau menjadi peramal. Tapi disiplin ilmu suparamistika ku, memang diberikan Mbah Buyut Pangeran Pakuaji khusus untuk sedot harta gaib. Mulanya keris dan tomabk tua milik Prabu Siliwangi dan Patih Gajahmada. Namun karena tidak ada harganya, aku beralih menyedot harta karun berbentuk emas. Baik itu simpanan dari pemerintahan kolonial Belanda maupun Jepang dan Portugis. Harta gaib berupa emas itu menyebar ke seluruh nusantara. Bahkan yang terbanyak ada di Pulau Kalimantan. Namun di bagian daerah mana, aku belum mendapatkan bisikan dari Mbah Buyut Pangeran Pakuaji.
Setelah sampai di villa kami di Pulau Panaitan, ayahku sudah tak ada di sana. Senjata berburunya ditinggal  tapi  ayahku  kembali ke Jakarta. Ke rumah kami di Jalan Haji Jamin, Cipete Utara, Jakarta Selatan. Aku telpon ayahku di Jakarta, yang ternyata ayahku sedang berada di Bengkulu. Ayahku tersentak mendengar aku masih hidup. Dia pikir aku mati di Pualu Enggano, maka itu dia pergi ke Bengkulu dan akan naik kapal ke Pulau Enggano mencari kubranku di cagar alam Kiyoyo.  “Alhamdulillah, syukur deh kau masih hidup. Kalua begitu ayah akan kembali ke Jakarta dan langsung ke Pulau Panaitan,” kata ayahku dari bandara Fatmawati Soekarno, Bengkulu.
Kata ayahku, aku meninggal karena perahuku diterjang ombak besar di Samudera Hindia. Lalu aku dibawa ke Pulau Enggano dan dimakamkan di cagar alam Kiyoyo. Ayahku datang untuk memastikan kematianku itu dan ternyata aku masih hidup. Ayahku senang sekali mengatahui aku masih hidup. Dia langsung mendatangi ke villa kami di Pulau Panaitan dan kemai tinggal bersama selama beberapa minggu. Ayahku berburu sementara aku melakukan ritual di Huitan kapayang Hijau, mengasah ilmu terbang yang selama ini tertunda. Pikirku, bila aku sudah bisa terbang seprti burung, aku tidak perlukan perahu bermesin lagi. Aku cukup mengepakkan sayap dan terbang ke mana aku suka.
Ayahku mendengar kemtainku itu dari berita radio. Dari villa kami di Pulau Panaitan, ayahku mendengar ada perahu terhempas karang di lau Pulau Enggano. Seorang pengedara perahu bermesin itu tewas tercabik karang dan perahunya hancur.  Karena identitas korban tidak jelas, maka warga memakamkan jenzah wanita pemengemudi perahu itu di cagar alam Kioyo, Pulau Enggano. Berita itu ternyata berita mistik. Tidak ada persitiwa itutetapi ayahku yakin bahwa akulah korban yang diberitakan. Maka itu ayahku buru-buru ke Jakarta lalu ke bandara Soekarno-Hatta dan terbang ke bandara Fatmawati Soekarno di Bengkulu.
Memang selama aku bertualang, hendpgoneku tidak aku aktifkan karena juga batere nya lemah. Bahkan batere itu kembung dan aisi rusak terkena semburan air laut Samudera Indonesia.
Kini aku bersama ayahku di vilkla Guamoyo, milik kami di tengah hutan Pulau Panaitan. Ayahku berburu manjangan, kancul dan burung untuk dimasak. Ayahku paling suka makan daging kancil, manjangan dan burung elang. Kami masak berdua dan kami bahagia di villa yang dikatakan warga setempat sebagai rumah misterius itu. Karena bangunan villa kami mirip rumah hantu, rumah pagerang Drakula di Inggeris Raya. Kecil tapi bertingkat dan arsitektur Paseo De Garcia tua.
Setelah beberapa bulan di Panaitan, awal tahun 2017 kami ke Jakarta bersama. Ayahku emmbantu aku membagikan uang dari penjualan emas itu ke panti panti yatim, orang miskin dan keluarga jompo di Jakarta Utara.
Kini, alhamdulillah, aku sudah bisa terbang sedikit. Setiap satu kilometer aku berhenti. Hinggap di pohon seperti burung.  Setelah terbangku panjang, ribuan kilometer, aku sudah dapat ijin dari ayah dan Mbah Buyut Pangerang Pakuaji untuk terbang ke Afrika Selatan. Aku akan mengambil emas yang begitu banyak tersembunyi di Cape Town, negara Nelson Mandela yang terdapat ribuan ton emas gaib di tanah Afsel.Kali ini aku tidak berperahu lagi, namun terbang seperi burung bangau, yang jauh sepanjang ribuan mil laut tanpa berhenti. Migrasi di anatara musim panas ke musim dingin. Di antara iklim tropis Indoensia ke iklim dingin di Afrika Selatan. ****
(Kisah petualangan mistik  Neneng Anjarwati kepada Yudhistira Manaf yang sekaligus menulis untuk majalah MYSTERY STORY -Red)





Komentar

Postingan populer dari blog ini

HAJI BULGANON HASBULLAH AMIR ORANG KAYA RAYA YANG DERMAWAN..

Pengalaman Abang Bulganon Amir Mursyid Spriritual Tangguh Yang Dapat Bisikan Masuk Neraka

Dunia Supramistika Tia Aweni D.Paramitha