PEWARIS ILMU SANTET


Misteri Sejati: Yudhistira Manaf
PEWARIS ILMU SANTET
Malam semakin gelap. Tidak ada bulan dan tidak juga ada bintang. Sementara itu, mendung menggantung tebal di kaki langit. Hutan Alas Katonggon malam         Jumat Kliwon, 28 September 2012  itu terasa wingit. Sebagai wanita yang ditinggal suami sendirian, seharusnya aku takut. Tapi, jujur saja, aku memang sangat ketakutan malam itu. Suamiku, Kang Subarjo Subandono, masuk ke pedalaman hutan mencari Dewi Sanggari, kuntilanak penjaga Alas Ketonggon. Karena aku sedang kurang sehat, maka aku ditinggal sendirian di gubuk bambu milik petani ladang berpindah. Berbekal obat warung, obat nyamuk dan senter 12 bateri dan makanan kemasan, aku berselimut di dalam gubuk. Suara suara angker muncul dari sekeliling gubuk. Ada suara srigala, harimau dan bekantan.
          Suamiku seorang petualang mistik. Dia tidak punya pekerjaan tetap sekarang karena memilih keluar kerja dari pabrik Sepatu Bataong milik Korea Selatan di Balaraja, Kabupaten Tangerang, Banten. Aku tidak bisa protes karena hal itu adalah keputusannya. Sebagai istri, aku ikut saja ke mana dia pergi setelh tidak bekerja lagi. Kang Subarjo mengajak aku pin dah ke Hutan Ketonggon, Bukit Soeharto, Balikpapan, Kalimantan Timur. Kami naik pesawat ke bandara Spinggan, Balikpapan. Setelah itu naik angkot turun di kilometer 56 Bukit Soeharto dan masuk ke hutan. Di dal;am hutan ada gubuk petani ladang berpindah dan kami diam di situ.
          Pada malam pertama kami tinggal di gubuk, kami tidak melakukan aktifitas apapun. Kami hanya berdoa, membaca mantra-mantra dan membakar kemenyan Arab yang kami bawa. Kami sampai di gubuk ini pada hari kamis Wage, 27 September 2012. Malam beriktunya, pada Malam Jumat Kliwon yang wingit, barulah kami bergerak. Namun tiba-tiba tubvuh saya panas, meriang dan lemas. Maka itu, suamiku melarang aku ikut dia masuk ke tengah Hutan Ketonggon untuk bertemu Ratu Kuntilanak Mak Isang. Mak Isang adalah nama lain dari Ratu Kuntilanak Ratu Dewi Sanggari. Kuntilanak super cantik dan menawan yang biasa memnberikan kekayaan harta gaib kepada kekasihnya dari bangsa manusia. Dewi Ratu Sanggari adalah Kuntilanak penjaga emas, intan dan berlian di hutan Kketonggon dan hutan Bukit Soeharto.
          Setelah suamiku, Kang Subarjo Subandono pergi ke pedalaman hutan, aku berselimut karena takut. Aku menutupi kupingku dengan jaket dan tdiur dengan pil penbenang, Valium Rhodipnol 10 mg. Namun saat terbangun pagi hari, ternyata suamiku tidak pulang. Pikirku dia akan pulang agak siang, ternyata tidak pulang juga hingga magrib. Jantungku deg degan, tubuhku merinding karena takut, cemas dan kalut. Pikirku, ke mana suamiku? Bagaimana dia bisa tidak kembali ke gubuk? Pikiranku melayang jauh secara mengerikan. Kubayangkan suamiku mati, tubuhnya hancur tercabik-cabik dimakan harimau, dirobek srigala dan dimakan bekantan. Aku jadi semakin takut dan ngeri menghadapi kenyataan itu.
          Karena terdesak ingin mengetahui nasib suamiku, aku segera masuik ke pedalaman hutan. Ke arah di mana Kang Subarjo Subandono pergi meninggalkan aku. Aku merangsek ke hutan lebat, di antara onak dan duri, akar kayu besar dan karang darat. Aku menelusuri sesuai dengan kata hatiku dan ke mana kakiku melangkah. Menelusuri hutan Katonggon yang lebat dan menakutkan.
          Setelah empat jam berjalan, aku menemukan sebuah goa besar yang dalam. Goa itu tertutup akar akar tua yang berbentuk seperti ular sanca yang melilit mulut goa. Aku menyibak rerumputan jangkung dan masuk melongo ke mulut goa tanpa rasa takut. Apa yang aku bayangkan ternyata benar adanya. Suamiku kutemukan dalam keadaan tidak bernyawa. Lehernya sobek berdarah dimakan harimau. Atau mungkin juga srigala dan bekantan. Tangannya hampir terputus dan kakinya sobek berat.
          Aku panik, takut, cemas dan gundah gulana berat. Pikirku, bagaimana caranya aku membawa mayat suamiku keluar dari goa dan keluar dari Hutan Katonggon? Kepada siapa aku meminta bantuan dan ke mana aku akan melaporkan kematian suamiku? Sementara di hutan itu tidak ada manusia, tidak ada penduduk dan tidak ada rumah, selain satu gubuk kayu yang kami tempati. Gubuk bekas petani ladang berpindah yang sudah tidak ditempati lagi.
          Aku mengadu kepada Allah Azza Wajalla. Aku mohon solusi dan jalan keluar, bagaimana caranya aku bisa keluar membawa jenazah suamiku tercinta. Apakah aku harus keluar dulu selama berp;uluh jam ke jalan raya lalu meminta bantuan orang. Atau aku menyeret secara perlahatn mayat suamiku hingga bisa dibantu orang di jalan Balikpapan-Samarinda? Entahlah, aku tak bisa memutusklan dan tak tahu bagaimana jalan keluarnya.
          Namun beberapa saat kemudian, aku membayangkan sesuatu yang aneh. Bayangan ini seprti petunjuk gaib yang aku harus lakukan. Yaitu mengubur suamiku di multu goa. Tanah diambilkan dari tanah longsor di bukit Kantingan di atas Goa Sarbang itu. Tuhan seperti membisikkan hal itu. Dan aku mendoakan serta membacakat beberapa surat Al Fatihah dan Al Falaq untuk suamiku. Dengan sekuat tenaga, aku mengubur suamiku di mulut Goa Sarbang. Kututupi dengan banyak tanah dari atas yang aku gelontorkan ke bawah dan akhir sempurna terkubur. Aku membaca doa dan mengirim permintaa kepada Allah Azza Wajalla agar suamiku dimaafkan segala salah dan dosanya. Dan ditempatkan dalam sorga Allah yang indah.
          Kematian ini menjadi rahasia panjang hingga kini. Aku mencurahkan semuanya dalam diary ku, catatan harian dan kelak dibaca oleh anak cucuku bila aku punya anak dan cucu esok hari. Aku bukan membunuh suami bukan pula menjadikannya tumbal persugihan. Tidak, aku sangat mencintai suamiku Kang Subarjo Subandono dan kami saling mencintai, walau, perjalanan kami sebagai perjalanan aneh karena tuntutan supramistik. Perjalanan petualangan mencari Ratu Kuntilanak penguasa Hutan Katonggon di wilayah Kalimantan Timur.
          Setelah menguburkan jenazah suami, aku menangis tersedu di makamnya. Di mulut goa yang sunyi. Beberapa saat setelah aku menangis, tiba-tiba punggungku ada yang menepuk. Rambutku dibelai lembut dan aku menoleh buru-buru kepadanya. Arkian ternyata berdiri di belakangku wanita yang sangat cantik, kuning, rambut lebat panjang dan tinggi seksi. Dia tersenyum lembut kepadaku dan mengajakku berdiri bersamanya. “Aku tahu hatimu sangat menderita karena suamimu dimakan macan. Tapi tenanglah, apa yang diminta suamiu ketika masih hidup, aku akan dikabulkan, kau sebagai pewaris tunggal Lowo Ijo, ilmu gaib dengan  harta kekayaan. Seharusnya untuk suami mu yang siap akan aku kucurkan.Sayang, suamimu keburu mati dimakan binatang buas,” katanya, sambil tersenyum. Senyumnya manis sekali dan sangatlah anggun.
          Malam harinya, jam 24.00 Waktu Indoensia Tengah WIT,  datang sekarung benda yang isinya emas, intan dan berlian murni. Karung itu dibawa langsung oleh Dewi Sanggari untukku. Dewi Sanggari, yang belakangan minta aku panggil sebagai  sebagai Dewi Ratu. Ratu kuntilanak Kutan Katonggon yang memberikan kekayaan kepada siapapun pelaku yang meminta kaya dengan mantra-mantra sakti mandraguna untuk pendekatan kepadanya. Kunci mantra sakti itu ada di ustyad Mursalim dan dari beliaulah suamiku mendapatkan aji-aji pemanggil Ratu Kuntilanak, Dewi Sanggari.
          Pada hari Senin Pon, 1 Oktober 2012 aku keluar hutan Katonggon. Dengan ilmu Lowo Ijo pemberian Ratu Sanggari aku bisa melayang cepat tanpa berjalan di daratan. Kecepatan lariku seperti kecepatan sepeda motor, 40 kilometer per-jam. Karung kubawa dengan ringan dan santai walau beratnya hampir 50 kilogram. Pelangi aku lihat di langit warna warni. Kata Dewi Sanggari, aku harus naik ke pelangi dan pulang ke Jakarta dengan pelangi.
          Di luar dugaan, aku mampu naik ke atas pelangi dan terbang bersama pelangi ke Jakarta. Balikpapan aku tinggalkan dalam hitungan detik dan aku turun di Laut Utara Ancol dan sandar di Marina Beach Resort. Rasanya sulit dipercaya tapi itulah kenyataan yangh aku alami dan fakta. Inilah gaib dan inilah supramistika yang jauh dari nalar dan akal sehat tetapi nyata.
          Ilmu Lowo Ijo sebagai warisan dari Dewi Sanggari aku rawat dengan baik hingga sekarang. Pada tahun 2017 ini, sudah aku turunkan kepada lima orang ilmu Lowo Ijo. Ilmu terbang melalui pelangi dan ilmuy beryap bagaikana cicak di dinding dan tembok yang tinggi. Sementara e,mas, intan dan berlian yang akda, sudah dijadikan uang dan aku sumbangkan semuanya kepada panti asuhan, anak  miskin dan anak yatim se-Asia Tenggara. Aku tidak mau memegang sedikitpun uang dan aku tidak mau hidup nyaman dan hidup mewah. Bukan tidak boleh, tapi aku tidak nyaman hidup seperti yang dianggap oleh manusia itu menyenangkan. Mobilkku adalah pelangi dan rumahku adalah gubuk kayu tanpa atap.
          Kini aku telah total meninggalkan Jakarta dan mukim di Bukit Soeharto, Kalimantan Timur. Sekitar 39 kilometer dari Kota Balikpapan. Sebuah hutan yang diberi nama Hutan Katonggon dan Goa Sarbang. Goa di mana suamiku aku makamkan dan sempat menjadi kontroversial di mata keluarga karena aku dianggap menjadikan suami tumbal untuk kekayaan. Padahal, sekarang aku buktikan kepada semua keluarga suamiku, bahwa aku tidak mau kaya dan kekayaan itu aku bagikan kepada semua orang miskin di sekitar tempat mereka tinggal. Kesemua anak yatim, jompo, orang susah di sekitar tempat tinggal mereka. Jika aku menumbalkan suami, aku pastilah kaya raya dan hidup mewah. Tapi aku tidak mau mewah. Aku tidak mau beli rumah, beli mobil dan beli tanah yang semuanya bagikuy adalah semu. Kebahjagiaanku kini adalah di gubuk dalam hutan Katonggon, di mulut Goa Sarbang dan tinggal di Bukit Soeharto. Aku menjaga makam suamiku yang aku kuburkan doi situ. Kami bersama walau aku masih hidup dan dia sudah meninggal.
          Namun pada setiap malam jumat kliwon, malam jumat yang wingit, suamiku maujud dan kami berdua ngobrol di Goa Sarbang. Aku menghabisi sisa umurku di dalam hutan dan ngamandikto sebagai prakatisi supranatural amatir yang menikmati hidup dengan cara menyendiri dan menyepi. Jika ada orang yang minta tolong, aku datang ke rumahnya dan membantu. Jika tidak ada yang minta tolong, hanya hanya berdiam saja di tengah hutan Katonggon menikmati suprastika kehidupanku. Setiap tiga bulan sekali, Ratu Dewi Sanggari datang menemuiku. Atau aku pergi ke tempatnya bersama pelangi. Terbang dengan ilmu Lowo Ijo pemberiannya. Di mana aku sebagai pewaris tunggal ilmu Lowo Ijo yang sehatrusnya dimiliki almarhbum suamiku, Kang Subarjo Subandono di Hutan Katonggon.****
(Pengalaman mistik Nyai Putih, yang ditulis Yudhistira Manaf untuk blog Mystery-Red)
         
         

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HAJI BULGANON HASBULLAH AMIR ORANG KAYA RAYA YANG DERMAWAN..

Pengalaman Abang Bulganon Amir Mursyid Spriritual Tangguh Yang Dapat Bisikan Masuk Neraka

Dunia Supramistika Tia Aweni D.Paramitha