RAHASIAKU...


True Story         
RAHASIA HIDUPKU...


     Kemiskinan membuat aku  gelap mata. Dengan mengorbankan akidah sebagai pemeluk agama, aku  kawin dengan jin. Hasilnya, uang berlimpah dan harta benda megah meriah langsung jatuh  dalam pelukanku.

  Setelah malam pertama aku disetubuhi jin, fantastik, aku bisa  langsung kayaraya. Uang ratusan  juta  rupiah mengalir ke kamar  tidurku di setiap pukul 00 tengah malam selama satu bulan berturut-turut.
 Uang itu masuk ke dalam gentong atau kendi  besar yang kusediakan di dekat jendela kamar.  Aku pun segera membeli tiga mobil mewah dan rumah real estate di kawan elite Bumi Serpong Damai Tangerang. Jin yang minta dipanggil Kober itu mengambil uang para koruptor di seluruh Indonesia.
     Alkisah, tanggal l3 Januari 200l aku  resmi bercerai dengan Mulkan, suamiku  yang sudah l0 tahun menikahiku  di Pengadilan Agama Jakarta Barat.  Dari perkawinan yang tak beranak itu, aku  tidak mendapatkan apa-apa. Jangankan rumah, seutas  benangpun, tak aku  dapatkan dari lelaki  itu. Maklum, setelah dua tahun menikah,  Mulkan di PHK dan tak ada pekerjaan hingga kugugat cerai.
     Setelah resmi cerai  aku  mencoba bekerja di perusahaan kosmetik impor. Tapi pekerjaan itu tak membuat aku betah. Mas Mulkan menangis bahkan sampai bersimpu di kakiku minta rujuk. Tapi aku berpaling dan terus menolak permintaannya. Pikirku, hidup itu tidak cukup dengan seks dan segenggam cinta, tapi butuh uang, makanan dan pakaian. Ketika Mulkan tak dapat lagi memberikan aku kebutuhan hidup itu, dia l00 persen menjadi sampah, tidak berarti sama sekali bagiku.
Singkat cerita, di perusahaan kosmetik itu  aku  tak bertahan lama. Bidang sales promoting yang kugeluti, tak membuat aku hidup  nyaman. Tantangan job itu terlalu berat dan aku  tak mampu keluar dari kesulitan. Dengan modal seadanya, aku  membuka warung soto ayam di sebelah Mall Meruya. Usaha itu tidak jalan dan persaingan terlalu berat.
              Dalam kekalutan pikiran, aku  mendatangi seorang paranormal. Maksudku  minta aji-aji  dagang agar aku  sukses berbisnis. Paling tidak, Rp 500 ribu omzet masuk perhari ke  warungku. Keuntungan 40 persen dari  omzet itu, cukup membuat aku hidup layak. Tapi aji-aji itu ternyata tak mempan. Omzet warungku hanya rp 50 ribu per-hari. Bahkan terkadang tidak masuk uang sama sekali. Malah tekor untuk ngasih makan gratis dua atau tiga preman mall itu.
Setelah sekian bulan tekor,  aku tutup warungku dan kualihkontrakkan pada orang lain. Lewat tawaran seorang tetangga, aku kerjasama  membuka usaha kue kering. Tapi usaha itu gagal juga. Lalu  Sang Dukun kudatangi lagi. Kali ini aku  tidak lagi  diberi aji-aji dan doa, tapi diberi saran melakukan ritual kawin dengan jin. Kata Sang Dukun, dengan membuat  perjanjian gaib dengan jin, aku  akan kaya mendadak. Penuh resiko tapi menguntungkan. bila sejodoh. Tapi bila tidak berjodoh,  aku bakal  tetap miskin dan terpuruk seumur hidup.  “Pilihan Anda hanya ada dua, kaya raya atau miskin sama sekali,” tekan Sang Dukun..
     Dua opsi yang sulit itu terpaksa kuambil salah satunya. Aku  memilih mencoba nikah dengan jin. Syarat nikah cukup sulit, yaitu harus siap ditiduri setiap malam jumat kliwon dan selasa pon. Bersenggama dengan jin. Dua kali dalam satu bulan. Pikirku melayani jin itu tidak begitu sulit. Apa susahnya dua kali dalam sebulan melayani mahluk gaib yang kata Sang Dukun menyerupai pria ganteng dan atletis itu.  Sosok fisiknya bisa dipilih, mau pria berpostur Eropa, Indonesia atau Timur Tengah, terserah. Aku memilih laki-laki berperawakan Eropa, mirip Luis Vigo, pemain klub Inter Milan asal Portugal umur belum genap  40 tahun.  Kukagumi betul ketampanan Luis Vigo sejak dia main di Real Madrid Spanyol. Wajahnya jantan, tampan tetapi terlihat lembut.
     Cara minta sosok Luis Vigo itu cukup unik.Poster pemain gelandang serang itu dimasukkan Sang Dukun ke gentong hitam  dalam kamar prakteknya yang  temaram. Sang Dukun memanggil jin itu dengan meneriakkan nama Luis Vigo secara berulang kali. Alkisah, muncul jin itu di kamar itu dengan wajah samara-samar, mirip bentuk tubuh Luis Vigo. Hari itu juga aku dilamar dan Sang Dukun menikahkan aku dengan jin itu. Maharnya darah ayam cemani dan l0 telur bulus bantet yang disediakan si dukun. Mahar itu diharuskan kusantap saat itu juga.
     Malam pernikahan itu, kalau tidak salah,   5 April 200l. Setelah akad selesai, aku disuruh pulang oleh Sang Dukun. Sesampainya di rumah, aku tak dapat tidur. Jam di dinding menujukkan pukul 02.45 WIB. Tidak berapa lama setelah melirik ke jam dinding, tiba-tiba pintu dapur diketuk. “Lha, siapa yang mengetuk pintu dapur di pagi buta seperti ini?” pikirku.
     Dengan langkah tergesah, aku menghambur ke pintu dapur. Selain dikunci slot, pintu itu juga aku tekan dengan meja kecil dan panci-panci. Maklum belakangan banyak maling beroperasi di kampungku. Pertimbanganku, bila maling dorong pintu, panci  itu akan jatuh dan suaranya akan membuat maling kabur terbirit.
     Sesampainya dekat pintu, aku bertanya. “Siapa nih?” Dari luar tidak ada jawaban. “Hallo, siapa ini?” desakku. Dari luar tetap tak ada suara apa-apa. Akhirnya, aku jengkel juga. “Hallo, tolong deh ngomong, siapa ini? Kalau tidak  menjawab, aku tidak akan membukakan pintu dan aku akan teriak minta tolong orang kampung!” ancamku. “Ya, ya. Ini aku,  suamimu!” jawab sosok itu, yang ternyata seorang laki-laki.
     Suamimu, bunyi  suara itu. Bayanganku langsung kepada jin yang baru saja menikahiku. Dia suamiku, dan aku istrinya. Dari rumah Pak Dukun, jin itu menghilang saat usai akad nikah. Menjelang dinihari, barulah dia datang. Memang pesan Pak Dukun, pada malam petama dia akan datang saat  dinihari. Selanjutnya, akan datang sebelum jam 00 tengah malam.  
     Dengan sisa tenaga yang ada kerena kelelahan, aku angkat meja dan panci-panci itu. Kubuka slot besi pintu kayu itu dan kulihat jelas sosok Luis Vigo di depan mataku. Laki-laki siluman itu langsung memelukku dan membawaku ke kamar tidur. Dia tahu di mana aku tidur dan di mana letak kamarku. Diangkatnya aku dan saat itu pula aku tenggelam dalam asmara tak wajar itu. Sebelum sempat aku menikmati apa-apa secar biologis, dia sudah menghilang entah ke mana. Hilangnya bagaikan spritus dilalap api.
     Tidak memusingkan ke mana dia pergi, aku  pergi ke kamar mandi. Saat aku mengangkat kimono, kagetlah aku. Di situ kulihat darah mengucur keluar dari vaginaku. Darah segar  itu bercampur puluhan ekor belatung dan busuk dan amis sekali. Aku segera membersihkan darah dan belatung itu ke dalam kloset. Tapi sabun dan pewangi vagina tak mampu mengusir bau amis dan busuk itu hingga membuat aku teramat cemas dan gelisah. Oh Tuhan, ini benar-benar aib yang memalukan. Pikirku, jangan orang lain, aku sendiri tak tahan mencium bau busuk itu.
     Dalam ecemasan dan kegundahan, aku sempatkan pula melihat gentong yang sudah kusiapkan dekat jendela kamar. Ada sesuatu yang mencurigakn dari gentong itu. Gentong kosong itu tiba-tiba sudah berisi kertas-kertas kasar yang ternyata uang rupiah pecahan Rp.50 ribu-an. Jumlahnya tebal dan banyak sekali. Setelah kuhitung, uang itu seluruhnya senilai Rp l00 juta. Uang itu, kuyakini pemberian jin mirip Luis Vigo yang baru saja “tidur” denganku.
     Melihat uang yang begitu banyak, bau amis dan busuk dari bagian tubuhku terlupakan  begitu saja. Hatiku  berbunga-bunga dan penuh bahagia. Besoknya, sebagian uang itu kubelajakan  dan sebagian kupakai untuk ke dokter dan beli wewangian piranti menghilangkan bau tubuhku. Sang dokter memberikan obat berbentuk bedak dan menyuntikkan  antiseptic poison drill  pembunuh rasa bau di lapisan kulit.
     Walau sudah keluar uang banyak, bau tak sedap dari tubuhku tidak hilang juga. Bahkan semakin hari semakin menyengat. Sementara setiap kali aku pipis, belatung terus berjatuhan dari bagian sensitive tubuhku. Orang-orang yang berpapasan denganku selalu menuup hidung bahkan banyak yang mencibir tentang rasa bau itu. Bahkan seorang tetangga sebelah rumah, setiap hari menyindirku dengan kata-kata yang pedas dan menyakitkan.
     Karena tak tahan menanggung malu, aku minta pada  Mbah Dukun  untuk diritual ulang agar rasa bau busuk lenyap dari tubuhku. Tapi Mbah Dukun menggeleng. Dia katakan selagi aku bersuamikan jin Luis Vigo itu, rasa bau tak bakal lenyap sampai kapanpun. Sebab jin yang kupilih ternyata adalah jin yang membawa aroma bau busuk karena jin itu pemakai bangkai. Bangkai yang dimakannya adalah bangkai kambing, anjing, kucing dan sapi. Sedangkan rumah tinggalnya adalah tempat pembuangan sampah. Jin yang jadi suamiku adalah Jin  Lemban, sejenis Ifrit yang suka di tempat jorok.
     “Terimalah itu sebagai suatu resiko. Jangankan kau mau uangnya saja tapi resiko busuk itu menolak. Karena tetangga tidak tahan, carilah rumah tanpa tetangga, pindahlah ke tempat terpencil di real estate yang jarang antara satu rumah ke rumah lain berjauhan. Naiklah mobil ke mana pergi yang tertutup rapat, jauh dari jangkauan lalat hijau!” kata Si Mbah. Berdasakan syaran Mbah itu, aku belu rumah di Bumi Serpong Damai berharga rp 5 milyar. Rumah sebesar kapal induk itu jauh dari tetangga dan masuk dalam daftar l0 rumah mewah di BSD.
     Memang lalat hijau yang besar-besar selalu berkerubung di tubuhku. ASaking busuknya, lalat itu berhamburan mengikuti ke mana aku pergi. Bahkan setiap hari pembantuku membunuh ratusan lalat hijau dengan tepokan nyamun listrik.
     Hidupku penuh derita. Kekayaan yang berlimpah dan kemewahan ternyata tidak membuatku bahagia. Bau busuk itu sangat mengganggu dan aku terus melayani seks jin busuk yang terlihat gagah itu.
     Setelah beberapa kali melakukan hubungan intim dengan jin itu,  suatu malam terlihat jelas olehku sosok Luis Vigo itu berubah seram. Bentuk sesunggunya suamiku ternyata persis wajah cittah, sejenis harimau yang lidahnya selalu menjewer dan panjang. Kulitnya menggeroak bolong dan berbelatung. Bau busuk sangat menyengan bergabung dengan bau tubuhku yang membuat sampai aku muntah. Muntahku itu penuh anak belut dan berlari ke sana ke mari memenuhi kamarku. Sementara uang di dalam gentong makin penuh sampai meluber.
     Aku tak tahan lagi. Besoknya aku datang ke Si Mbah dan minta bercerai. “Kaua akan menjadi kere lagi dan miskin seperti dulu bila bercerai. Kau mau seperti itu?” desak Mbah Dukun. Aku mengangguk, aku tak tahan lagi menghadapi tekanan derita yang begitu berat. Hari itu juga kami diceraikan. Hari itu juga aku pulang kampung dan menemui seorang kiyai guru ngajiku saat usia sekolah dasar. Kiyai terkejut dan penuh haru melihat keadaanku yang kacaubalau. Dengan menahan rasa bau, kiyai menjampi-jampi air sumur seember dan dosuruhnya aku mandi dengan air itu.
     Ajaib, begitu tersiram air doa kiyai itu, rasa gelisah  dan gundah dalam batinku kontan menghilang. Bahkan bau busukpun, tak lagi tercium di hidungku. Bahkan vagina yang selama ini nyeri dan gatal, kontan sembuh dan aku merasa sangat sehat. Kiyaipun, menyarankan aku kembali ke Jakarta dan kembali membuka usaha warung emperan. “Walau berat, teruslah berjuang dengan uang wajar dan halal! Jual mobil yang kau pakai ini dan juallah semua hartamu yang kaua dapatkan secara tidak wajar itu, lalu semua uangnya kau berikan pada kau duafah, pakir miskin dan anak-anak yatim!” pesan kiyai.
     Setelah kujual semua harta itu dan kuserahkan pada yayasan-yayasan yang dimaksud, aku pergi dengan selembar baju di tangan menuju tempat usahaku dulu di Meruya. Mulanya aku bekerja jadi pembantu rumah makan, lalu rumah makan itu maju pesat dan aku dibuatkan usaha sendiri. Usaha itu juga maju dan rumah makan kami semakin menyebar di mana-mana dan semuanya maju. Kini aku jadi usahawan Warteg, rumah makan pinggir jalan yang sukses. Pada saat begitu aku mencari Mas Mulkan suamiku dulu dan bertemu dia saat menjajakan Koran di perempatan lampu merah Grogol. Mas Mulkan ternyata belum menikah lagi dan hidup sendiri di rumah liar bantaran kali. Mas Mulkan saya ajak rujuk dan kami berbahagia di sebuah rumah sederhana di Kota Tangerang.
     Kami  lalu membeli tanah kosong sebelah rumah dan membuat asrama untuk persinggahan orang duafah  dan menampung anak-anak yatim yang kami biaya sekolahnya. Alhamdulillah, kami  bisa berguna untuk orang lain dan orang lain bisa hidup senang dan tenang dari jerih payah kami dan tentu saja lewat ridho berkah Allah. “Keringat yang menetes dari tubuh kalian sekarang dijaga Malaikat dan Malaikat itu senantiasa mendoakan untuk kesehatan dan kebahagiaan kalian. Amin!” desis kiyai, saat kuundang untuk meresmikan mesjid Al Mutaqin yang baru kami selesaikan di kampung sebelah.***

(Kisah ini terjadi pada Wita yang dicatat oleh
IRMA)
      
        

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HAJI BULGANON HASBULLAH AMIR ORANG KAYA RAYA YANG DERMAWAN..

Pengalaman Abang Bulganon Amir Mursyid Spriritual Tangguh Yang Dapat Bisikan Masuk Neraka

Dunia Supramistika Tia Aweni D.Paramitha