SUARA MERINTIH DI SUMUR TUA
Misteri Sejati:
Yudhistira
Manaf
Suara Merintih
Di SumurTua
Setiap malam jumat, pukul 23.00, menjelang tengah
malam, terdengar suara rintihan wanita
dari dalam sumur belakang rumah kami.
Pada awalnya, aku mengira bahwa ada suara tangis dari
rumah tetangga. Pikirku, Bu Tarman, tetangga baru kami, berantem dengan
suaminya hingga dia menangis. Atau, bisa pula, suara itu suara Bu Tarmizi,
sebelah rumah Bu Tarman yang sedang sakit, karena menderita kesakitan yang
teramat sangat, maka dia menangis.
Tetapi, karena suara hanya terdengar
di setiap malam jumat, maka otakku jadi menaruh curiga. Bahkan batinku
bertanya, apa iya sih suara itu suara manusia sungguhan? Kenapa hanya berbunyi hanya di tiap malam keramat?
Jangan-jangan,
pikirku, suara itu adalah suara setan atau bangsa jin sekitar rumah kami.
Setelah saya berulang kali mengamati
dengan keluar dari dapur, ternyata suara itu bersumber dari dalam sumur yang
sudah tidak digunakan di belakang rumah kami. Sumur mati yang masih berair itu
sudah puluhan tahun tidak dipakai karena semua warga beralih ke air pam bantuan
proyek perkebunan kelapa sawit wilayah kami. Sebagai kompensasi kepada warga,
bisnis besar kelapa sawit yang mengunakan tanah sepuluh ribu hektar itu,
membantu warga sekitar perkebunan dengan air bersih.
Warga kelurahan Tambak Tunggal, wilayah
kami yang berada paling dengat dengan kantor perkebunan, semuanya beralih
menggunakan air bantuan itu lalu mematikan sumur masing-masing.
Sebagai warga pendatang yang baru
membeli rumah di situ, kami pun kebagian air bersih itu dan menonaktifkan sumur
di belakang rumah kami. Sumur berkedalaman 30 meter dengan air yang kotor dan
tidak layak lagi digunakan.
Sejak suamiku pensiun dari Departemen
Kesehatan tahun 2008, kami kembali ke desa. Rumah kami di Jakarta
dijual dan membeli rumah di desa Tambak Tunggal, Kalimantan Timur. Di desa
inilah suamiku lahir dan dibesarkan. Setelah lulus kuliah di Universitas
Samarinda, Bang Sulaiman melamar kerja ke Jakarta dan diterima di Dirjen
Pengawasan Obat dan Makanan POM, Departemen Kesehatan, Salemba, Jakarta Pusat.
Setelah sepuluh tahun bekerja, Bang
Sulaiman melamar aku dan kami menikah di Balikpapan. Seminggu setelah menikah,
aku diboyong ke Jakarta dan tinggal di Rawasari Timur, Jakarta Timur. Walau
sudah puluhan menikah, kami tidak mendapatkan anak. Aku dapat hamil, setelah
pernikahanku berusia 20 tahun. Maka itu, walau aku sudah berumur cukup tua dan Bang Sulaiman sudah hampir pensiun, tapi anak-anakku
masih kecil. Tiga anak kami, masih duduk di bangku SMP dan SMA saat ayah mereka
pensiun.
Namun walaupun begitu, kami tetap
optimis bisa membiayai sekolah anak-anak hingga perguruan tinggi. Selain dari
uang pensiunan, aku juga membuat industri kripik di desa Tambak Tunggal dan
dibantu penuh pengelolaan usaha itu oleh Bang Sulaiman. Bahkan, anak-anakku,
semuanya ikut membantu, sehingga aku tidak memerlukan banyak tenaga upahan dari
warga kampung dengan upah yang cukup tinggi.
Rumah yang kami beli di Tambak Tunggal
adalah rumah milik Suhadi, yang meninggalkan rumah itu berpindah ke Tarakan.
Warga Kalimantan asal Jawa itu berniaga sembako dari Malaysia ke Indonesia
melalui jalur merah Tarakan. Kami membeli rumah itu di bawah harga normal,
karena Suhadi butuh uang untuk modal niaga di ujung timur pulau Kalimantan itu.
Sementara anak-anaknya, sudah menyebar ke mana-mana. Ada yang di Brunai
Darussallam, ada yang di Kuching bahkan ada pula yang tinggal di Vietnam dan
Thailand.
Sedang Bu Suhadi, Bude Darmi, sudah
lama menderita kelumpuhan. Pergi ke mana-mana menggunakan kursi roda dan
didorong oleh ponakannya, Sulastri. Sulastri yang gadis perawan tua, sejak
kecil ikut mereka karena orangtuanya meninggal saat Sulastri masih bayi.
Setelah transaksi jual beli dibuat,
kami langsung menempati rumah kami. Tiga anakku langsung aku urus kepindahan
sekolahnya dan mereka semua dapat bangku di Tambak Tunggal. Sedangkan usaha
kripik ubi yang kami buat, dengan cepat mendapatkan pelanggan di Samarinda dan
Tenggarong.
Empat hari setelah menempati rumah
itu, aku, Nadya, Siela dan Maya sudah mendengar suara tangis wanita di tengah
malam. Saat itu malam jumat kliwon di bulan januari tanggal 13. Orang-orang
Amerika menyebut hari itu sebagai Friday the thirteen, tanggal 13 yang jatuh di
hari jumat, hari penuh kesialan, kata orang Amerika.
Dengan rasa percaya diri yang penuh,
aku melolongok kan kepalaku ke dalam sumur. Tempat di mana sumber suara tangis
itu berasal. Langit malam itu gelap gulita. Tidak ada bulan juga tidak ada bintang.
Sinar yang ada hanya sinar tipis dari lampu neon di balik dapur rumah kami.
Pada saat aku memasang telingaku
dengan seksama, benar saja, sumber suara jeritan itu muncul dari dalam sumur.
Dengan jelas dan pasti, suara tangisan minta tolong itu datangnya dari dalam
sumur.
“Tolong, tolong…Tolong keluar kan aku
dari sumur ini. Tolong, tolong?!!” bunyi suara itu, suara perempuan merintih,
memelas dan menggugah perasaanku.
Aku segera mengahmbur ke dalam kamar
mengambil senter. Setelah itu aku membangunkan para tetangga, meminta tolong
untuk membantu wanita yang terjebak di dalam sumur itu. Tapi aneh, semua orang
ketakutan, tidak mau keluar dan menolak membantuku.
“Maaf,maaf, kami tidak bisa Bantu. Tapi sebaiknya ibu
acuhkan saja, jangan diurus. Biarkan saja Bu, biarkan dia terus menjerit.
Jangan diperdulikan,” kata Pak Sarkam, salah seorang tetanggaku, sambil menutup
pintu. Tetangga yang lain, juga begitu. Semuanya menolak untuk turun tangan
menyelamatkan wanita yang terjebak jatuh ke dalam sumur.
Karena didesak oleh rasa kasihan kepada wanita di sumur itu, aku lalu lalu
buru-buru berlari sendirian ke sumur. Aku segera menyenteri bagian dalam sumur
sedalam 30 meter itu. Arkian, ternyata ke kedalaman sumur itu tidak ada
apa-apa. Lagi pula, saat disinari dengan senter, suara rintihan itu langsung
berhenti. Diam dan tak lagi terdengar suara apapun. Suara kodok-kodok yang
tadinya ramaipun, langsung terhenti. Duh Gusti, desisku, ada apa gerangan di
sumur itu. Benarkah suara hantu atau jin yang kuduga selama beberapa hari ini?
Ganjil, sungguh ganjil bila ada orang sungguhan di
dalam sumur. Sebab, bila ada orang yang masuk, untuk bersuara, pastilah
kepalanya nongol di permukaan air. Sedangkan ini, tidak. Air tetap tenang
dengan tidak menunjukkan riak sama sekali, pertanda bahwa di situ ada orang
yang sedang tenggelam.
Bulukuduk ku mulai merinding. Tiba-tiba masuk perasaan
takut ke dalam batinku. Nyaliku langsung ciut, gundah gulana menyaksikan
keadaan yang aneh itu. Dengan mengambil langkah seribu, aku masuk ke rumah dan
menenggelamkan diri dalam selimut. Buru-buru tidur untuk melupakan kejadian
yang ganjil itu.
Malam itu aku hanya berempat bersama anakku. Suamiku
sedang pergi ke Jakarta untuk membeli mesin pembuat keripik di Glodok. Sedang
tida anakku, Nadya, Siela dan Maya telah terlelap di kamar mereka masing-masing. Karena mereka harus
bangun pagi untuk pergi ke sekolah, maka tidak ada satupun di antara mereka
saya bangunkan.
Pada saat aku berselimut tebal karena takut, suara
dari sumur itu muncul lagi. Kali ini suara itu semakin keras. Dari rintihan
berubah menjadi teriakan dan lalu menjadi jeritan. “Tolong, tolong aku,Bu,
tolong Bu?!!” pinta suara itu, seakan mengetahui bahwa aku yang datang ke sumur
dan menjenguknya. Kat-kata Bu itu jelas mengarah dan aku merasakan bahwa dia
melihat aku berselimut dalam kegalauan.
Malam itu mataku tidak dapat kupejamkan. Suara
teriakan dan jeritan itu menteror jiwaku dan aku tidak kuat menghadapinya.
Dengan rasa takut yang teramat sangat, aku berlari ke kamar Nadya dan aku tidur
memeluk anak sulungku itu. Nadya terbangun dan aku menggambarkan suara jeritan
dari belakang rumah tersebut. Nadya lalu berteriak memanggil Maya dan Siela
untuk bergabung dengan kami dalam satu kamar. Maya dan Siela terbangun lalu
bergabung dengan kami dalam satu kamar.
Malam itu kami berusaha memejamkan mata. Tapi suara
minta tolong itu terus mengiang di telinga kami. Tapi aku meminta semua dari
kami menutup kuping agar tidak terganggu dengan suara itu dan dapat tidur pulas. Namun upaya itu tidak
berhasil. Suara itu makin lama makin mengeras dan kali ini malah memekakkan
telinga.
Kami yang tidak dapat tidur, berpelukan berempat
dengan erat. Setekah beberapa jam menjalani saat-saat tegang itu, suara itu
lalu berhenti saat azan subuh berkumandang dari surau kampung kami. Karena
takut, kahirnya kami tidak sholat subuh dan bisa tertidur hingga jam tujuh
pagi.
Matahari telah terang dan anak-anak terlambat sekolah.
Namun walau terlambat semua buru-buru berangkat. Bahkan mereka tidak sempat
mandi. Hanya cuci muka lalu ambil tas sekolah lalu bertiga pergi.
Usai mandi, aku segera berpakaian lalu pergi ke rumah
tetangga, Bu Rahmat di rumah sebelah. Aku ceritakan kejadian di sumur kami dan
aku memohon pada Bu Rahmat untuk memberikan info sejujurnya hal sumur kami itu.
Mulanya Bu Rahmat nampak berat. Dia terlihat sungkan
untuk menceritakan apa adanya menyangkut sumur kami. Padahal aku tahu, bahwa Bu
Rahmat sebenarnya tahu hal aneh yang terjadi. Sebagai orang lama Bu Rahmat dan
beberapa tetangga kami, tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
“Katakan Bu sejujurnya, jangan sungkan Bu, saya mohon
sekali, Ibu menceritakan keadaan secara apa adanya,” desakku.
Dengan suara agak tersendat, Bu Rahmat pun lalu meraih
tanganku dan meminta maaf. Dengan hati-hati Bu Rahmat menceritakan bahwa, pada
tahun 1983, anak Pak Suhadi yang bernama Sengkuni, kecemplung sumur saat
mengambil air untuk keperluan memasak.
Pada tahun 1983, tanggal 13 Januari, hari Jumat, pukul
16.45 sore, Sengkuni ditemukan tewas di dalam sumur oleh ayahnya. Suhadi
berteriak meminta bantuan tetangga dan jasad Sengkuni berhasil dinaikkan ke
atas. Tapi tubuh almarhumah sudah kembung karena berisi air. “Jasadnya bengkak
dan bibirnya terjuliur keluar. Sementara maranya melotot dan tinggal bola putih
tanpa hitam sama sekali.
Keesokan harinya, mayat Sengkuni dimakamkan di
pemakaman Tegalparang. Siang dikubur, sore menjelang magrib, sumur tempat
kejadian, mengeluarkan suara Sengkuni. Suata itu persis suara Sengkuni yang
terus-terusan minta tolong diangkat. Minta bantuan kepada para tetangga untuk
menyelamatkannya.
Karena Pak Suhadi yakin bahwa itu suara hantu anaknya,
maka didatangkanlah paranormal pengusir hantu. Tapi sampai beberapa dukun yang
datang, kiyai dan paranormal, namun tak ada satupun yang berhasil mengusir
suara itu dari sumur. Warga pun akhirnya semya ketakutan dan tidak ada
anak-anak yang berani ngaji malam lagi. Semua ketakutan lalu ustad merubah
pengajian anak-anak menjadi siang. Maka itu, kata Bu Rahmat, hingga sekarang
kampung menjadi sunyi, sepi dan wingit. Semua orang buru-buru masuk rumah saat
azan magrib, terutama pada setiap malam jumat.
Karena tidak ada satupun ahli yang berhasil mengusir,
maka sampai berpuluh tahun suara itu tetap diabaikan. Setiap malam jumat semua
warga desa sudah tahu bahwa sumur itu akan mengeluarkan suara. Kami semua sudah
tahu keadaan itu dan kami menjadikan malam jumat sebagai malam yang angker.
Bu Rahmat menggambarkan bahwa sumur itu pernah ditutup
tanah bertruk-truk oleh Pak Suhadi dengan dibantu oleh warga. Tapi anehnya,
sumur itu tidak pernah bisa ditutup. Tanah yang masuk amblas begitu saja,
hilang entah ke mana. Sumur itu tetap ada dan tanah untuk urukan, amblas ke
dasar sumur dan lenyap ditelan bumi. Maka itu, kepala desa menyatakan bahwa
sumur itu sebagai sumur keramat.
“Karena lelah menghadapi kenyataan itu, pak Suhadi
menjual rumah kepada Pak Sulaiman, suami Ibu dan sampailah kepindahan kalian ke
sini beberapa waktu lalu,” terangBu Rahmat, sedih.
Setelah bertemu Bu Rahmat, aku ke tetangga lain. Para
tetangga pun menceritakan hal yang sama seperti apa yang diterangkan oleh Bu
Rahmat. Mereka semua merahasiakan hal itu dan membiarkan kami tahu dengan
sendirinya. Pertimbangan mereka, yaitu, agar tidak memberi rasa takut kepada
kami saat kami baru pindah beberapa waktu lalu ke rumah baru kami ini.
Setelah Bang Sulaiman pulang dari Jakarta, aku
menceritakan hal itu seluruhnya kepada dia. Bang Sulaiman nampak tidak kaget
dan tenang-tenang saja. Bahkan dia bilang, bahwa suara itu adalah berkah. “Kok
berkah? Suara itu jelas suara hantu dan musibah bagi aku dan anak-anak. Sudah
makin kami tidak mati karena takut pada malam jumat lalu,” tekanku.
Syahdan, Bang Sulaiman ternyata sudah tahu tentang
suara Sengkuni yang suah mati di sumur itu. Bahkan Bang Sulaiman akan mendayagunakan
kekuatan gaib itu untuk kemajuan usaha kami. Energi arwah Sengkuni yang ada di
dalam sumur, digunakan sebagai pesugihan untuk kemajuan usaha. Bang Sulaiman
mendatangkan Ahli Jamasan Ki Haryanto dari Jakarta untuk mendayagunakan roh
Sengkuni, gadis perawan yang mati di dalam sumur tua tersebut.
Pada suatu malam jumat kliwon, arwah justru dipanggil
oleh Ki Haryanto dan diajak bekerjasama gaib. Arwah Sengkuni maujud dan dia
siap membantu kami, asal kami siap mendengar jeritannya minta tolong di setiap
malam jumat. Saat suara minta tolong itu keluar dari dasar sumur, kami harus
menyediakan tambang dan ember seakan untuk menarik dia dan mengangkatnya ke
atas.
Hal itu kami lakukan dan ember yang ringat tiba-tiba
menjadi berat dan Sengkuni naik ke atas. Setelah ember dinaikkan membawa beban
arwah Sengkuni, suara jeritan pun terhenti dan keadaan menjadi hening. Saat
diam itulah, Sengkuni pergi meninggalkan areal sumur dan membantu usaha keripik
kami agar ada yang beli di mana-mana.
Alhamdulillah, kini usaha keripik kami sudah ekspor ke
beberapa negara. Usaha rumahan itu sudah menjadi industri pabrik besar dengan
ribuan karyawan. Pabrik kami menyebar di seantero Kalimantan dan jadi pabrik
keripik terbesar di nusantara. Sengkuni terus bersama kami dan hubungan gaib
itu begitu bersinergi dan rapih. ****
(Kisah ini dialami Nyonya Sulaiman, sebutlah begitu,
Yudhistira menulis cerita itu untuk Misteri Sejati-Red)

Komentar
Posting Komentar