TUMBAL
Babak
pertama drama judul Iblis Merah yang aku
mainkan, usai sudah. Semua adegan
berjalan dengan mulus, aman dan ribuan
penonton memberikan aplaus. Tepuk tangan bergemuruh di dalam Gedung Kunskring,
tempat pementasan ini dipertontonkan. Tetapi
memasuki bapak kedua, tubuhku tiba-tiba diguncang oleh sebuah kekuatan
gaib. Energi yang masuk ke tubuh saya
seakan arus listrik tegangan tinggi, hingga membuat aku terbanting. Terangkat
beberapa sentimeter hingga menabrak tembok gedung. Seluruh badan ku akhirnya
terus berguncang dan penonton mengira
aku sedang berakting teater. Tepuk tanganpun, kembali bergemuruh memberikan
aplaus. Namun, tangan dan kakiku menjadi
keram, tubuhku keseleo karena benturan keras ke dinding itu.
Karena
“akting” adegan di luar skenario, maka sutradara, Putra Sriwijaya, 46 tahun,
berteriak di pinggir panggung. “Hei
Edward, adegan dan peran apa yang sedang kau mainka itu?” pekik Putra
Sriwijaya, sambil memmanggil asintennya, Yulia Harman. Yulia lalu melemparkan
buah duku ke tubuhku sebagai kode agar aku segera keluar panggung. Aku
merasakan lembaran buah itu dan aku mengerti bahwa Yulia dan Putra menginginkan
aku turun panggung, membenahi adegan di luar skenario itu. Aku mendengarkan
semua suara orang, merasakan lemparan duku berulang dari Yulia, namun aku
seperti mengalami trans, tidak bisa lagi
mengontrol diri akibat pengaruh gaib yang sedang merasukiku.
“Yulia,
Edward itu terkena gangguan mistik! Yang melakukan adegan itu setan, bukan
Edward, cepat panggil Haji Hamidi!” teriak Putra Sriwijaya, aku dengar dengan
jelas. Haji Hamidi adalah penasehat spiritual teater kami,Teater Mandala. Haji
Hamidi memang selalu hadir pada setiap pementasan dan dia yang memimpin doa
setiap kali kami mau tampil. Begitu juga saat usai pementasan, beliau pula yang
memmimpin puji syukur kami dan mendoakan agar kami semua selamat sampai ke
rumah saat pulang mentas.
Yulia
memanggil Haji Hamidi. Tapi ustad itu sedang berada di depan gedung, nongkrong
di warteg sedang menikmati kopi malam. Sementara itu, di luar dugaan, tubuhku
terbang beberapa meter dan pemain lawanku, terpental pula oleh angin deras yang
menggoyang pentas. Erna, Leli dan Tursinah, terjungkir balik terdorong oleh arus angin yang kuat. “Oh
Tuhan, semua pemain terkena imbas gaib penghuni gedung tua ini!” ungkap Putra
Sriwijaya.
Bagaikan
mimpi, tubuhku melayang-layang di atas pentas. Ada kekuatan yang mahadahsyat
mengayun-ayun tubuh kami berempat. Berulang kali, Tursinah memukul pipiku saat
kami berlintasan di udara. Begitu pula dengan Erna dan Leli, keduanya menampar
mukaku bila kami berpapasan di adegan “liar” itu. Penonton kembali begemuruh
bertepuk tangan menyaksikan adegan ajaib
itu dan mereka begitu terhibur. “Ini benar-benar teater avant garde!” teriak
budayawan Umar Hardi, 59 tahun, penonton yang duduk di barisan terdepan.
Setelah
Haji Hamidi dating dan membaca-baca ayat suci di pinggir panggung, adegan
“gila” itu pun usai. Kami berempat pun lalu berimprovisasi, kembali kepada
skanario dan pertunjukan tanpa stagnan sedikitpun. Adegan terus mengalir dan
kami kembali kepada naskah yang ada. Kembali kepada dialog sesuai skenaria yang
sudah kami latih selama tiga bulan sebelum ini. Saat kami berdialog, penonton
kembali terdiam dan kami dengan khsusuk, berkonsentrasi penuh melaklui diksi,
artikulasi dan gesture sesuatu tuntutan cerita.
Setelah
babak ke dua usai, penonton pun lalu berdiri memberikan aplaus. Layar panggung segera
ditutup dan semua pemain masuk ke ruang ganti. “Coba ceritakan, apa yang telah
kalian alami pada awal babak kedua
tadi!” sergah Putra Sriwijaya kepadaku, Erna, Leli dan Tursinah. “Coba
kau Edward, apa yang alami tadi?” desak Yulia.
Aku
lalu menceritakan, bahwa begitu kakiku melangkah memasuki panggung untuk
melakukan monolog, tiba-tiba datang bayangan hitam yang masuk ke dalam tubuhku.
Mulanya aku pikir bayangan itu adalah bayangan dari tirai aksesoris panggung.
Namun begitu masuk ke dalam tubuh, tiba-tiba energy bayangan itu menguat,
mengeras dan penuh power bagaikana arus listrik tegangan tinggi. Kukatakan
bahwa aku tetap sadar dan ingat semua dialog, ingat kepada penonton dan ingat
kepada kalian yang sedang berada di
belakang panggung. “Setelah itu tubuhku dibanting ke mana-mana dan dibenturkan
oleh kekuatan energi misterius itu ke dinding,” kataku.
Sebelum
aku menyelesaikan ceritaku, Tursinah, Erna dan Leli juga menggambarkan hal yang
sama. Mereka bertiga juga mengalami
persis seperti yang aku alami. Bahkan, Leli melihat ada puluhan bayangan hitam
yang mendekatinya sebelum kaki nya melangkah memasuki stage. Begitu pula dengan
Erna dan Tursinah, juga melihat puluhan bayangan hitam di panggung dan mereka
melihat panggung menjadi rusuh oleh bayangan hitam itu. “Tapi karena harus
mentas dan tampil pada momentum yang sudah diatur oleh skenario, maka keadaan
itu sama sekali tidak aku perdulikan,” ujar Erna.
“Malam
ini kita sedang diserbu oleh setan-setan gedung tua ini yang protes pada
pertunjukan ini. Kita telah melakukan kesalahan besar dengan tidak memberikan
sesaji kepada mereka sebelum pentas. Sudah selayaknya, bila kita membuat jamuan saat general resital GR pada Hari Jumat lalu. Jamuan itu berubah
nasi tumpeng, buah-buahan dan ubi-ubian serta kacang-kacangan untuk makanan
mereka. Kita menempati rumah mereka dengan berteriak-teriak berekspresi teater,
tapi melupakan eksistensi mereka sebagai penhuni gedung in I,” desis Haji
Hamidi, kalem.
“Siapa
mereka itu, Pak Haji?” tanya Putra Sriwijaya, penasaran. Dengan santai, sambil
menghisap cerutu kemenyan nya, Haji Hamidi menyebut, bahwa Gedung Kunskring ini dibangun pada abad 18,
tahun 1857, saat pemerintah kolonial Belanda masih berkuasa di Nusa Tenggara Barat.
Dengan begitu, artinya, gedung ini adalah gedung tua yang sudah berumur ratusan
tahun. Sebagai gedung tua, wajarlah apabila gedung ini dihuni oleh ratusan
mahluk halus dari bangsa jin. “Jin-jin yang ada di sini, sudah beranak pinak ,
dan saya lihat sudah betrjumlah ribuan jin. Nah jin-jin itu, hampir sama dengan
manusia biasa, dia minta dihargai, minta dihormati dan diperlakukan baik. Cara
memperlakukan baik mereka-mereka itu adalah, dengan memberikan sesajian kepada mereka, sedekah
bumi dan sedekah geudng tua agar mereka menerima manusia secara baik. Sekarang,
mereka demo, protes kepada kita, dengan cara merasuk ke dalam tubuh pemain dan
pertunujkan ini akan dibuat nya kacau,” terang Haji Hamidi.
Pada
saat babak ke tiga dimulai, aku sebagai pemeran
utama, sebagai Iblis Merah, memainkan tokoh politik yang korup tapi
munafik. Mungkin karena sudah dijampi-jampi oleh Haji Hamidi, maka bayangbayang
hitam yang merasuk sebelumnya, tak Nampak lagi di tepi panggung. Maka itu,
debngan mulus aku bermonolog, menggungkapkan 30 ribu karakter hafalan,
yang sudah menjadi satu darah dengan
tubuhku. Hafalan itu mengalir deras dan dengan pas aku ucapkan. Kata-kata dari
skenario karya Banien Ciam itu, aku
ucapkan dengan indah, lantan,
yaitu sebuah rangkaian pernyataan
seorang politikus, seorang anggota dewan yang korup tapi hipokrit. Tokoh yang aku mainkan adalah
tokoh politikus yang terlihat bijaksana, teduh dan santun. Tapi, di balik itu,
tokoh ku adalah tokoh koruptor besar yang mengatur anggaran dan menjebak
beberapa pejabat Negara untuk ikut korup bersamaku. Dialog-dialog itu mengalir
mulus di mulutku, hingga tokoh lain masuk berdialog denganku dalam satu frame.
Babak
ke tiga drama itu berjalan baik. Dan babak ke tiga itu adalah babak akhir dari
pementasan teater Iblis Merah. Saat
tirai akhir diturunkan, maka usailah pementasan dengan ending yang
mengegelitik. Si Tokoh kuruptor, Iblis Merah dijadikan tersangka oleh KPK dan
mendapat hukuman mati. Penoton histeris, berteriak, bertepuk tangan kepada
tokoh-tokoh penegak hukum berjubah hitam, beberapa orang sosok hakim Pengadilan
Tipikor yang tangkas, cerdas dan tegas,
memberikan hukuman setimpal kepadaku, Iblis Merah yang akhirnya dijebloskan
dalam penjara.
Setelah
berdoa tutup acara yang dipandu oleh Haji Hamidi, aku segera pulang dengan
mobil Totoya Hardtop ku. Aku melintasi Jalan Ampenan menuju rumahku di
Senggigi. Sesampainya di pintu rumah, pukul 24.00, mataku terbelalak melihat
pintu rumah yang mengagah. Sementara di dalam rumah terlihat benda-benda dan
barang hiasan berserakan. “Aduh, di mana istri dan anakku. Terjadi perampokankah
rumah kami?” batinku.
Dengan
jantung yang berdebar-debar dan nafas terengah-engah, aku segera masuk rumah
dan menyalakan beberapa lampu ruangan.
Aku menghambur ke kamar tidur dan ke dapur, mencari istri dan dua anakku
yang masih kecil, ke mana mereka berada? Mereka tidak kutemukan malam itu dan
aku panik berat. Bayanganku pastilah
terjadi perampokan dan keluarga ku diculik. Aku segera menelpon Kapten Idral
Zaron, kapolsek Senggigi dan menggambarkan kejadian itu. Kapten Idral Zaron
tengah malam itu juga dating ke rumahku dan segera mengusut, mempelajari
tentang apa yang terjadi. Namun, sebelum
sempat mempelajari dan begerak mencari istri dan anak-anakku, telpon dari Haji
Hamidi masuk. “Edward, istri dan
anak-anakmu diculik oleh jin Geudng Kunskring itu. Aku baru saja mendapatkan
wisik dan gaibku menyebut bahwa istri dan anakmu ditawan di gedung tua itu,”
kata Haji Hamidi, lantang.
Aku
segera menarik tangan Kapten Idral Zaron atau AKP Idral Zaron untuk segera
berangkat ke gedung Kunskring di Cakranegara, Mataram Kota. Idral tidak yakin hal ini dan aku dianggapnya
sinting, mempercayai tahayul dan hal-hal yang irasional. Tapi setelah aku
gambarkan bahwa Haji Hamidi itu manusia sakti mandraguna, orang linuwih,
berilmu gaib tinggi, barulah dia mau turut denganku. Itupun terpaksa
dilakukannya karena menimbang aku, bukan karena percaya. Idral tidak percaya
hal itu dan keyakinannya sangat minim terhadap mistik.
Aku
segera menelpon Haji Hamidi, meminta bantuannya untuk menunggu aku di depan
gedung Kunskring. Haji Hamidi sudah oke dan dia sudah menyiapkan alat bantu
untuk membebaskan istri dan dua anakku dari dekapan gaib mahluk penghuni
gedungabad 18 itu. Sesampainya di situ, Haji Hamidi sudah membawa keris Satrio
Wirang dan siap melakukan negosiasi dengan
penculik gaib itu. Kami masuk dari pintu samping setelah meminta kunci
kepada penjaga dan ritual pun dilakukan Haji hamidi. Sementara aku dan Idral
Zaron hanya menyaksikan ritual itu dengan penasaran. Setelah ritual jamasan
keris, Haji Hamidi mengajak kami memasuki gudang. Oh Tuhan, di sana, kami
melihat pemandangan yang mengenaskan. Istriku,
Zakiah, terkulai lemas dan sudah tidak bernyawa lagi. Sedangkan dua anakku,
pingsan, tidak sadarkan diri. Aku segera mengangkat tubuh istriku untuk
dimasukkan ke mobil. Idral Zaron dan Haji Hamidi menggendong ekdua anakku dan
melarikan mereka ke rumah sakit Sangla, Ampenan. Namun saying, istriku tidak
bisa diselamatkan nyawanya. Kami terlambar beberapa menit hingga Zakiah telah
dicekik mati oleh jin-jin gedung Kunskring.
Kesedihan
hatiku makin bertambah, begitu melihat
Ira, anak gadis kecilku berumur 3 tahun, yang
juga tewas di rumah sakit Sangla. Hanya Fitri Handayani, anak tertuaku,
duduk di kelas lima SD, yang selamat. Setelah seminggu dirawat secara intensif,
Fitri kembali siuman dan sehat walafiat hingga sekarang. Drama lanjutan di
gedung itu pun, akhirnya dibatalkan. Sejak saat itu, aku berhenti bermain
teater dan menyatakan perang melawan jin Gedung Kunskring.
Bersama
Haji Hamidi, kami memberangus dan membakar jin-jin jahat gedung itu. Sekarang
ini, gedung itu tetap dibiarkan kosong walau penghuni gaibnya sudah musnah
dibakar oleh Haji Hamidi. Diceritakan Haji Hamidi, setelah usai pentas, jin-jin
itu mendatangi rumahku dan menculik anak dan istriku. Saat gedung ditutup dan
pemain teater semuanya pulang, anak dan
istriku dimasukkan ke gudang. Tidak ada seorang pun melihat mereka termasuk
Haji Hamidi. Dalam hitungan detik, saat masuk gudang, jin itu mencekik istriku
dan dua anakku yang tidak tahu apa-apa. Kata Haji Hamidi, anakku itu menjadi
tumbal kebencian jin-jin itu kepada diriku sebagai pemeran utama, yang bersuara
paling keras dalam pementasa di gedung tua itu. “Istri dan anakmu jadi tumbal,
tapi saya mohon maaf sebesar-besarnya, karena aku terlambat membantu. Gaibku
telambat member tahu sehingga istri dan anakmu tidak bisa diselamatkan,” tutur
Haji Hamidi, bersedih. ****
(Kisah
ini terjadi pada Edward Puguh Wirabakti, Tia Aweni D. Paramitha menulis kisah
ini untuk MIsteri Sejati-Red)

Komentar
Posting Komentar