HANTU MENTENG

Menangis tidak selamanya dengan airmata.  Tetapi ada kalanya menangis itu tersembunyi di dalam batin. Bergetar dengan seratus gundah gulana dan rasa yang miris. Hati yang teriris oleh duri yang sangat menyayat. Pedih, perih dan haru sekali.
       Demikianlah pengalamanku saat melihat anak lelakiku yang masih kelas dua sekolah dasar, Burhan Madani, 9 tahun, terpaksa mencari uang dengan ojek payung. Dia menunggu di mobil-mobil mewah yang parkir di Sarinah, lalu penumpangnya dipayungi hingga masuk ke pusat perbelanjaan di Jalan Wahid Hasyim itu, setelah aman dari air hujan. Untuk pekerjaan jasa itu, Burhan Madani menerima bayaran seadanya. Rata-rata pelanggannya memberi Rp 2000. Tapi jika bertemu pelanggan yang berjiwa sosial, Burhan Madani diberi uang Rp 10.000. “Banyak mobil mewah yang memberi uang recehan Mama, tapi ada mobil butut, hanya kendaraan tua merek carry yang sudah keropos dindingnya, malah memberi Rp 20.000, Ma!” cerita anakku, malam hari, di meja makan kami yang sederhana di Gang Koplo, Kebun Sirih Dalam, tidak jauh dari Mall Sarinah.
       Sejak papa Burhan, Bang Mahmud Badarudin, 56 tahun, wafat, kami semua terpaksa jungkir balik mencari uang. Aku mencuci pakaian tetangga, Burhan Madani ojek payung dan loper koran, Anita Anjani, 14, anakku yang duduk di bangku SMP, menjadi pelayan rumah makan. Sepulang sekolah, pukul 12.45 WIB, Anita Anjani langsung ke warung dan membantu Bunda Amalia berjualan makanan warung Tegal, hingga pukul 23.00 menjelang tengah malam. Pulang ke rumah, sebelum tidur, Anita Anjani buka buku pelajaran dan menyelesaikan pekerjaan rumah. Setelah satu jam belajar, tidur pukul 01.00 WIB dan bangun subuh. Usai sembahyang subuh, Anita berbenah di rumah, masak air untuk termos dan buat teh kami, berikut sarapan. Dia bisa bikin mie instan dan nasi goreng.
       Pukul tujuh kurang sepuluh menit, Anita Anjani berangkat, berjalan kaki ke sekolah di daerah Cikini Raya, Jakarta Pusat, tidak jauh dari Taman Ismail Marzuki, TIM.  Jarang ke sekolah cukup jauh. Karena ingin mengirit ongkos, Anita Anjani tidak naik ojek tetapi berjalan kaki. Begitu juga dengan adiknya, Burhan Madani yang masih duduk di kelas dua sekolah dasar negeri Menteng, juga berjalan kaki dari rumah kami Gang Koplo.
       Prihatin dan ikhlas, itulah hal yang kami jalani setelah suamiku meninggal dunia. Dulu, ketika Bang  Mahmud Badarudin masih ada dan bekerja di gedung milik Bambang Triatmojo, anak pak Harto di gedung Kebon Sirih, gaji Bang Mahmud besar sekali. Kami bisa beli rumah, beli mobil bagus dabn hidup layak. Namun berlimpah uang itu tidak berjalan lama. Lima tahun bekerja, Bang Mahmud sakit jantung akut dan meninggal di rumah sakit HarapanKita, Slipi, Jakarta Barat.
       Setelah Bang Mahmud meninggal, semua harta kami jual. Yang tersisa hanyalah rumah untuk berteduh. Sementara mobil, tanah di Tugumulyo, Belitang timur, Sumatera Selatan, kebun karet, juga kami jual. Semua itu terpaksa dilepaskan karena kami butuh biaya masuk sekolah anak-anak yang besar. Juga biaya rumah sakit suamiku yang menjalani operasi by pass, tapi gagal, juga sangatlah besar. Tetapi, kebun karet berjumlah 9000 meter di Tugumulyo, Belitang Timur itu, tidaj semuanya kami lego. Masih ada sisa 1000 meter dan dirawat oleh ponakanku, Firmansyah sahri, 38 tahun, penfuasaha perkebunan karet di Belitang Timur. Firmansyah jujur sekali. Tiap ada hasil karet kami, dia kirim uang ke Jakarta. Dia transfer ke rekening bank BCA ku dari Belitang Timur.
       Setiap kali hujan deras, anakkku Madani buru-buru ke Sarinah. Dia menenteng tiga payung sekalgus. Jika yang menggunakan payung itu tiga, Madani membiarkan tubuhnya basah kuyup, tanpa paying. Dia berlari ke Sarinah untuk  berteduh. Tapi satpam Sarinah mengusirnya dari halaman mall karena tubuhnya basah. Maka, jika sudah diusir begitu, Madani membiarkan dirinya basah kuyup hingga payungnya selesai disewa.
       Alhamdulillah, tubuh anakku satu ini sudah kebal. Dia tidak demam dan tidak sakit kepala lagi setelah sekian lama mengakrabi air hujan yang tajam. Tubuhnya malah sakit bila tidak bermain hujan. Ada saat musim kemarau, lama ngangur, tidak kena air hujan, Madani malah demam. Sementara Anita Anjani, tidak pernah mengeluh lelah melayani orang makan hingga tengah malam. Dia bekerja keras dan pemilik warung, Bunda Amalia sangat menyukainya. Selain betergantungan kepada anakku, Bu Amalia juga sangat mengharapkan ankku selalu sehat agar warung terus berjalan. Malah, jika demam sedikit saja, Bu Amalia buru-buru membelikan obat dan membawa Anita Anjani ke dokter Kam Sie Jin, dokter yang sangat senior di Jalan Kembang II, Kwitang, Senen, Jakarta Pusat. Karena disiplin dan pekerjaannya ran bagus, maka anakku sangat disukai oleh Bunda Amalia. Maka itu, setiap tiga bulan sekali, di luar ajinya, Anita Anjani diberi bonus uang. Uang tambahan di luar penghasilan tetapnya sebagai pekerja warteg.
       Anakku paling tua, Hendra Budiman, 34 tahun, tinggal di Bontang bersama istrinya yang asli Samarinda, Kalimantan Timur. Hendra Budiman belum bisa membantu kami karena gajinya masih pas-pasan di perusahaan swasta Bontang yang bergerak di bidang industri garmen. Pembuat pakaian seragam untuk LNG dan untuk seragam pabrik semen Bontang. Setiap dua tahun sekali, anakku sulung itu pulang dengan istrinya ke Jakarta. Karena tidak punya ongkos pesawat, mereka beranankpinak naik kapal laut ke Surabaya. Dari Surabaya ganti naik kereta ai menuju stasiun Senen, Jakarta Pusat.
       Aku sangat memahami kesulitan anakku dan mantuku. Namun Alhamdulillah, dua cucuku sehat walafiat, mereka tumbuih dengan baik dan cerdas. Keduanya pintar-pintar walau masih balita. Ketika masih hidup, Bang Mahmud Badarudin berpesan agar aku tidak membebabi ekonomi ke pundak anak sulungku itu. Sebab hidupnya pas-pasan dan cukup untuk menghidupi keluarga mereka sendiri. Pesan itu aku pegang teguh, hingga aku memutuskan menjadi babu cuci dan dua anakku menjadi ojek paying dan pelayan rumah makan kecil, warung tegal di Jalan Sabang, Jakarta Pusat.
       Sebagaimana kebiasaan dari dulu, sejak bang Mahmud Badardin masih ada, aku sellau sembahyang tahujut pada tiga perempat malam. Aku selalu meminta kepada Allah Azza Wajalla agar kami seklamat di dunia dan akhirat. ASgar kami senantiasa dalam lindungan dan kasih saying Allah yang Agung. Bukan kekayaan yang kami pinta, tapi rejeki yang cukup. Kami bisa makan yang sehat dan kami bisa membiayai sekolah anak-anak dengan tepat waktu. Alhamdulillah, sepanjang perjalanan setelah suami meninggal, biaya sekolah anak-anak tidak pernah menunggak dan kami tidak punya hutang piutang kepada siapapun. Aku paling takut hutang dan paling takut ditagih hutan. Apalagi sampai ditagih oleh debt collector yang memaksa dan sering melakukan kekerasan.
       Walau kami hidup miskin, alhamdlillah kami hidup tenang, damai, aman dan terkendali. Tidak ada hutang piutang dan tidak ada kredit yang memberatkan kami. Maka itu, ketika semua AC di rumah kami jual, kami ganti system pendingin dengan kipas angin. Jika kipas angin kurang kencang, kami akan menggunakan pendingin  dengan kipas kulit bambu, kipas alamiah yang biasa digunakan orang susah pada umumnya.
       Hidup miskin tapi kaya hati, demikianlah hal yang aku alami dan terapkan. Orang bisa saja prihatin dan kasihan melihat kehidupan kami, tapi Alhamdulillah, kami sangat berbahagia.
       Pada suatu senja di hari Jumat Kliwon, setelah sembhayang jumat, anakku kembali ke Sarinah. Senja itu hujan deras dan disertai Guntur dan gleduk. Aku wanti-wanti kepada anak priaku itu, agar hati-hati di tengah jalan. Jika banjir di Jalan Sabang, air akan meluap ke Gang Jakman, daerah yang menghubungkan rumah kami ke pusat perdagangan Jakarta Pusat itu. Anakku menganggung, lalu mencium tanganku dan pamitan untuk mencari pelanggan ojek paying.
       Di berjalan cepat menuju gedung Sarinah, ke parkiran mobil untuk menjemput orang yang tidak membawa paying dan dia yang mengantarkan dengan bayaran serelanya. Entah kenapa, hari itu aku punya firasat buruk, nampaknya aka nada sesuatu peristiwa buruk yang akan terjadi pada anakku itu. Maka diam-diam, aku membawa paying mengikutinya dari belakang. Berjalan menuju parkiran gedung sarinah di Jalan Thamrin, jalan utama ibukota Negara itu.
       Apa yang aku kuatrikan ternyata benar. Aku membuntuti anakku yang menuju ke Sarinah, tapi melenceng ke Jalan Tanjung, Menteng dan naik pohon mahoni besar di Jalan Tanjung itu. Pohon tua umur ribuan tahun yang dikenal banyak hantu yang menghuni pohon itu. Aku berteriak memanggil namanya, tapi suaraku tidak keluar. Aku memekik tapi tenggorokanku kaku tak bersuara. Tapi aku masih bisa berlari walau dengan dengkul gemetar. Aku sadari betul bahwa ankku dalam bahaya. Dia diculik genderuwo pohon tua itu. Dengan membaca suart Al Fatihah, surat An Nas dan surat Al Falaq, aku terus mengejar anakku yang makin tinggi naik ke atas pohon mahoni lebat.
       Anakku, Burhan Madani memang dari kecil iganya jarang. Seorang anak yang tulang iganya jarang, dapat berhubungan dengan genderuwo dan jin. Maka tak aneh juga ketika dia diajak oleh genderuwo Panggorong, hantu pohon tua yang menghuni daerah Menteng, dekat gedung Sarinah sejak ribuan tahun sebelum masehi lalu. Burhan Madani dicintai, disayang genderuwo dan bahkan diajak masuk ke alamanya. Diceritakan, setelah itu, bahwa Burhan bertemu ayahnya yang hidup lagi. Suamiku itu mengajak Burhan Madani jalan-jalan dan Burhan sangat kegirangan diajak jalan oleh ayahnya. Tetapi, tidak diduga olehnya, bahwa ayahnya itu adalah palsu. genderuwo Panggarong yang menyamar ayahnya. Untunglah, nyawa Burhan Madani selamat. Dia diculik hanya beberapa jam saja setelah dukun canggih, Ki Salim Muhamad, 68 tahun, mengeluarkan Burhan dari alam gaib wilayah elit Menteng, Jakarta Pusat itu.
       Alhamdulillah, genderuwo Panggarong memberikan cincin King Safir kepada Burhan Madani. King safir berwana biru laut itu telah diikat dengan emas 24 karat yang angggung. Setelah dijual ke ahli batu mulia, cincin emas King safir itu terjual Rp 100 juta. Dari situlah kami bisa membeli rumah di daerah Poris Plawad, Kota Tangerang, tidak jauh dari Batuceper, Jalan Daan Mogoot, Jakarta Barat.
       Rumah itu kami beli seharga Rp 80 juta. Sisanya, Rp 20 juta, kujadikan modal dagang warung makan di jalan Poris dan Alhamdulillah laku keras. Dua anakku membantu aku dan usaha dari modal pemberian genderuwo Panggarong itu bercabang menjadi tiga di Poris dan Cipondoh.
       Hingga tahun 2016 awal ini, Burhan Madani selalu berhubungan dengan genderuwo Panggarong. Bila kami membutuhkan banyak uang, Burhan Madani masuk ke pohon mahoni dan meminta benda-benar gaib dari Panggarong. Terakhir, di ujung tahun 2015 lalu, Burhan Madani mendapatkan keris sakti mandraguna buatan Mpu jaman Majapahir abad 14. Keris luk sembilan bekas Patih Gajahmada yang  bertangguh Majapahit dengan keistimewaan pendaringan kebak. Keri situ dijual dengan harga Rp 45 juta dan dikoleksi oleh seorang anggota DPR asal Jawa Timur yang pemburu keris keris tua. Keri situ diserahtermakan di kantor anggota dewan itu di Senayan dan kami langsung menerima uang cash.
       Hidup dan kehidupna kami berubah total.Kami sudah mampu membeli tanah, kebun dan lahan sawah di pinggir Kota Tangerang. Sementara itu, genderuwo Panggaron, tidak lagi di Menteng namun pindah ke pohon mahoni tua di Poris, tidak jauh dari hotel bintang tiga Allium.
       Kini, setiap kali kami membutuhkan uang besar, tinggal mendatangi Panggarong. Burhan yang menjadi anak angkat Panggarong, masuk kea lam gaib dan pulang dari alam gaib selama 24 jam, membawa benda-benda berharga dan tua, yang dibawa Panggarong dari abad lampau, puluhan tahun atau ratusan tahun  sebelum masehi.
       Seorang kiyai besar di Kota Tangerang kami datangi, kami bertanya apakah haram hukumnya mengambil benda berharga dari pemberian genderuwo. Dikatakannya, tidak haram, karena rejeki itu bukan dari mencuri, tapi dari kasih sayang Allah yang dititipkan kepada bangsa jin. Genderuwo itu adalah jin yang baik, jin Islam yang dulunya belum islam. Jin yang sudah berumur puluhan ribu tahun yang tetap hidup dan berinteraksi dengan manusia. Namun, kiyai haji Syukur Hamdi, 87 tahun, kiyai kami itu menyarankan, agar sebagian dari harta yang diambil dari alam jin itu, disumbangkan untuk membangun mesjid dan membantu anak yatim. Hal itu belakangan kami lakukan. Kami rutin membagi harta itu kepada anak yatim dan pembangunan mesjid, di manapun adanya. Bahkan terakhir membangun mesjid di Cikupa, kabupaten Tangerang. Rumah ibadah untuk para karyawan pabrik di daerah barat Kota Tangerang itu. *****
(Kisah Mama Burhan yang ditulis ulang Dewi Kalamukti untuk Portal MYSTERY-Red)
                                                                               
      
      
      
      
      
      
               
      

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HAJI BULGANON HASBULLAH AMIR ORANG KAYA RAYA YANG DERMAWAN..

Dunia Supramistika Tia Aweni D.Paramitha

Pengalaman Abang Bulganon Amir Mursyid Spriritual Tangguh Yang Dapat Bisikan Masuk Neraka