KUBURAN WANGI
KUBURAN
WANGI, PERNAH MENCIUM? PADAHAL TAK AFDA BUNGA? INI PERTANDA BAIK BAGI
PENGHUNINYA....
Perang
melawan preman bengis, mendorong aku
untuk terjun mempelajari ilmu kebal bacok. Hanya dengan ilmu gaib warisan
leluhurku inilah, maka aku punya peluang untuk memenangkan setiap pertarungan melawan
mereka. Jika tidak, pastilah aku kalah dan mati berkalang tanah seperti
Bardi, Dorman dan Anung, temanku yang sudah dihabisi preman-preman
mumpuni Pasar Bengli, Sukaraja, Kutaraja, Tugumulya, Ogan Komering Ilir (OKI),
Sumatera Selatan ini, beberapa bulan lalu.
Tiga
temanku itu dibacok bagian kepalanya hingga kesemuanya mati di tempat. Anehnya,
polisi tidak menemukan siapa pembunuh mereka. Caranya sangat halus dan sulit
tercium aparat. Tapi aku tahu pasti, preman-preman pasar itulah yang membunuh
Bardi, Dorman dan Anung. Aku mendengar rencana pembunuhan itu, yang pada
akhirnya mereka lakukan eksekusi itu di pesta dangdut Kampung Nagasakti, tengah malam pukul 23.45 WIB. Aku tidak
berani melaparkan hal itu karena resikonya sangat berat. Aku juga pasti dibunuh
oleh mereka, preman-preman yang tak punyak prikemanusiaan itu.
“Dari pada kau bersusah payah mempelajari ilmu
mistik seperti itu hanya untuk melawan preman Pasar Bangli, mendingan kau lari saja dari kota ini, Nak,
lalu pergilah ke kota lain, ke Jakarta misalnya?” desis ibuku, saat mengetahui
aku benar-benar terjun berguru kepada Uwak
Item, abang tertua ibu yang bermukim di
kampung Pasirrame, Tugumulya, perbatasan Lampung-Sumatera Selatan di kabupaten
OKI.
Ibuku
memang sangat resah mensiasati kiprahku sebagai pedagang emas di Pasar Bangli.
Tokoku memang sangat laku, paling ramai di pusat perbelanjaan itu. Tapi, di
tokoku pula, paling sering sering rebut dan terbanyak masalah. Sebab premen-preman Pasar Bangli yang bertato dan bertampang
seram, setiap hari sebanyak dua kali minta uang yang katanya “jatah preman”
kepadaku. Sementara ke toko yang lain,
hanya satu kali satu hari, Rp 10 ribu per-toko. Sedangkan di tokoku, aku
dipaksa memberi Rp 30 ribu per-hari dan
diminta dua kali, jadi besarnya pungutan liar itu Rp 60 ribu. Pernah aku member
hanya Rp 10 ribu seperti yang lain, tapi uangku itu disobek di depan mataku dan
aku ditempeleng hingga berdarah-darah.
Karena
aku takut kepada keberingasan mereka, maka, walau terhitung sangat besar uang
jatah preman ini, maka aku terpaksa memberi. Padahal dalam hatiku, aku
sangat tidak ikhlas dan jengkel dengan
pemerasan yang semena-mena ini. Pikirku, aku harus melawan mereka dan
perlawanan itu haruslah aku menangkan. Aku ingin mereka kapok dan tidak lagi
menjalankan praktek pemerasan yang sangat meresahkan warga pedagang Pasar
Bangli tersebut.
“Bu,
perlakukan preman-preman itu sudah melebihi batas kewajaran, Bu, mereka harus
dilawan, tidak boleh dibiarkan semena-mena terus seperti ini,” kataku, pada
ibuku. “Sabarlah,Nak, hadapi dengan sabar mereka itu, lambat atau cepat Allah
akan menunjukkan keadilan-Nya, mereka akan menerima azab yang pebih di dunia
ini, karena kejahatan mereka. Atau, mendingan kau laporkan mereka kepada
polisi, biar polisi yang menindak mereka. Pemerasan itu sutau kejahatan kan,
maka itu setiap tindak kejahatan haruslah dihukum. Yang menghukum adalah parat
kepolisian, kejaksaan dan hakim pengadilan,” desis ibuku.
Dengan
cara yang sangat santun aku menyampaikan pendapatku kepada ibu. Kukatakan
kepada ibu, bahwa preman-preman itu tidak takut sama polisi. Bahkan saya melihat,
bahwa polisi-polisi, terutama polisi kepolisian sektor, justru yang sangat
takut kepada mereka. “Preman-preman itu punya ilmu mistik yang banyak Bu,
sampai polisi pun, kalau datang ke pasar, seperti melihat hantu kepada mereka.
Polisi sangat ketakutan kepada mereka,” ungkapku.
“jadi,
dengan mahirnya nanti kau berilmu mistik warisan Uwak Item, kau akan melawan
mereka?” tanya ibu kepadaku. “Iya bu, aku akan melawan mereka, bahkan tekadku
untuk menghalau mereka, mengenyahkan
mereka dari Pasar Bangli, tidak melakukan pemerasan lagi kepada siapapun,”
jawabku.
Ibu
manggut-manggut saja mendengar tekadku ini. Setelah itu, ibu lalu mengijinkan
aku berguru kepada Uwak Item dan dia menitip salam kepada Uwak Item. Tapi ingat, kata ibu, bila aku mau
belajar ilmu hitam, belajarlah dengan sungguh-sungguh dan tekun, karena bila
belajar separuh-separuh, akibatnya akan sangat berbahaya, bisa gila dan bisa
menjadi stress.
Setelah
mencium tangan dan mencium kaki ibuku, aku berangkat ke rumah Uwak Item,
berguru selama tiga bulan di sana. Sedangkan toko emasku, dijaga oleh ibuku
bersama adik misanku, Anggito. Omzet took emasku cukup besar, per-bulan, kami
mendapat pemasukan sebesar Rp 100 juta. Dari toko emas itu aku bisa membeli tanah, membangun rumah,
punya mobil bagus dan bisa merenovasi rumah ibu. Ayahku, sudah sebelas tahun
meninggal dunia dan ibu tidak mau menikah lagi. Sebagai anak tunggal, aku
memang menjadi pusat perhatian ibu dan ibuku, satu-satunya orang yang sangat
aku perhatikan dalam kehidiupan ini.
Pelajaran
pertamaku yang diberikan Uwak Item adalah melakukan tapa-tapa. Pertama aku
melakukan tapa ngebleng, lalu tapa patigeni dan terakhir tapa edan. Semua tapa
itu dilakukan selama satu bulan, yang kesemuanya aku selesaikan selama tiga
bulan. Pada bulan ke empat, tubuhku mulai diisi dengan mantra-mantra sakti amndraguna oleh Uwak Item. Mantra-mantra
yang diambilkan dari catatan Buku Jayabaya itu diucapkan Uwak Item ke punggung
dan kepalaku. Setelah itu aku diperintahkan oleh Uwak Item untuk memakan gotri dan beberapa butir padi.
Jumlah gotri dan padi itu sudah ditentukan Uwak Item, yang katanya, jumlah
benda tersebut di sesuaikan dengan neptu
dan tanggal lahirku.
Sungguh
ajaib ilmu itu aku dapatkan. Setelah diisi mantra dan benda-benda, Uwak Item
lalu mengetes menyiramkan air keras ke tubuhku. Puji Tuhan, air keras yang
harusnya menghancurkan kulit dan daging ku itu, tiba-tiba jadi air putih biasa
saja, tidak menghanguskan tubuhku sama sekali. “Kau sudah kebal terhadap air
keras. Sekarang kau akan menjalani tes bacok!” kata Uwak, sambil mengambil
golok dan mengasa golok itu hingga tajam sekali. Golok itu, lalu ditest kepada
pohon kelapa, dan pohon kepala langsung putus saking 5tajamnya. Pohon kelapa
kecil itu lalu tumbang karena sabetan golok Uwak Item yang tajam. “Ayo sekarang
pasang punggu mu, Uwak akan bacok sekencang-kencang, sudah kebalkah engkau
terhadap senajat tajam?” ungkap Uwak Item, serius.
Karena
dipetintah guru, maka aku memasang punggungku sesuai permintaan Uwak Item.
Begitu punggungku kupasang, Uwak Item lalu mengayunkan golok dan dengan kencang
menyambar punggungku. Alhamdulillah, golok tajam itu tidak mempan membacokku.
Golok itu seperti menyambar ban mobil yang membal, lalu golok itu terpental
sepanjang 5 meter dari tubuhku. “Kau
sudah kebal, ilmu mistik mandraguna sudah masuk ke badanmu dan kau boleh
bertarung dengan preman-preman jahat itu. Ingat, ilmu ini Uwak berikan untuk
tindakan kebaikan, bukan kejahatan. Tidak boleh sombong, tidak boleh takabur
dan tidak boleh menantang siapapun. Artinya, tidak menjual, tapi bila ada orang
yang memaksa menjual, wajib untuk dibeli. Jika orang menantang kau, maka kau
dilarang untuk mengelak,”pesan Uwak Item, padaku.
Akhir
bulan aku sudah boleh memasuki pasar. Aku mulai berjualan lagi, bahkan membuka
toko satu lagi. Bardan, pimpinan preman dan dikenal paling sadis, mendekati menjelang
siang hari.”Wau, tumben nih berani muncul lagi berdagang di Bangli ini, saya
kira sudah mundur total karena takut,” pancing Bardan, dengan gayanya berkacak
pinggang.
“Saya
kan butuh hidup, Bang. Di pasar inilah saya berniaga mencari uang untuk
keluarga. Kalau tidak, dari mana saya bisa dapat makan?” jawabku, merendah.
“Oke,
situ cari uang ya cari uang dong? Tapi situ mesti ingat kan, bahwa di pasar ini
ada penguasanya, ada pemimpinnya, ada yang mengatur keamanannya. Tahu kan itu?”
tekan Bardan, datar, dengan mata yang dipicing-picingkan ke arah mataku.
“Ya,
tentunya saya tahu hal itu, Bang. Kan ada Pak Sugardi, kepala pasar, beliaulah
yang mengelola pasar ini dan kepadanyalah saya menyewa kios. Beliau pula yang
mengatur tata tertib dan keamanan wilayah ini,” kataku, ringan.
“Goblok
kamu, bukan Sugardi kepala PD.Pasar Jaya yang dimaksud pengelola keamanan, tapi
kelompok kami, kelompok pam swakarsa organisasi DPPKP, yang dipimpin oleh
Bardan. Bardan ini, pam swakarsa yang paling ngetop di daerah Ogan Komering
Ilir, mengerti kamu? Siapa itu Sugardi, sekali saya pites, dia semaput. Dia
tidak ada apa-apanya di sini, hanya penyewa kios dan pengurus pasar. Tapi saya,
Bardas Suryadi, adalah penguasa pasar, penguasa keamanan dan semua pedagang
harus tunduk kepada Bardan cs!” bentaknya, dengan mata menyala-nyala.
“Jadi
maksud Abang dengan keterangan ini, tujuannya apa?” tanyaku, datar. “Bagus kamu
tanya begitu, hal itulah yang aku tunggu-tunggu. Dengan toko barumu ini, kau
setpa hari harus stor dana keamanan kepadaku sebesar Rp 100 ribu untuk dua
toko. Mengerti kamu?” tekan Bardan.
“Waduh,
maaf Bang, kalau soal itu, uang sebesar itu sangat berat aku dapatkan untuk
pungutan keamanan. Omset toko saya kecil sekali Bang, belum tentu masuk senilai
itu, bahkan sering sekali nihil, tidak ada uang masuk sama sekali,” desisku.
“Hal
itu sudah menjadi ketentuan kami. Mau ada uang masuk kek, tidak ada uang masuk
kek, kamu harus bayar ke saya setiap hari Rp 100 ribu. Jika tidak, toko kamu
kami obrak abrik, faham kamu?” sergah Bardan.
“Kalau
saya tidak mau bayar, dan menerima diobrak abrik, apa yang akan terjadi Bang?”
pancingku, tenang tapi mulai sangat jengkel melihat arogansi Bardan yang
tubuhnya tinggi besar penuh tato ini.
“OH
jadi kamu mau menantang saya? Kamu mengajak berkelahi saya? Mau mau mati di
siang hari yang pansa ini. Ini golok tajam, sekali sabet, darah lehermu akan
mengucur di pasar ini, mau coba. Mau kamu? Saya, Bardan tidak pernah main-main
dengan golok, sekali keluar, harus memakan korban!” sesumbarnya, sambil
memegang gagang golok di punggungnya.
“Saya
tidak menjual, tapi kalau Abang menjual, saya akan beli cash!” imbuhku, tenang.
Hari itu, aku sendiri merasa aneh, mengapa nyaliku begitu kuat, tegar dan
mantap. Tidak ada rasa takut sedikitpun bergelayut di dalam diriku. Padahal,
selama ini, aku santgat penakut. Jangankan melihat golok yang terhunus,
dibentak preman-preman saja, aku sudah terkencing-kencing. Bahkan dengkulku
sampai gemetaran berhari-hari.
Kini,
aku berhadapan dengan preman biang, bos preman di Tugumulyo yang dikenal paling
sadis. Dia pernah membunuh tentara sampai dipotong-potong. Dia pernah membunuh
polisi sampai terbelah dua. Hal itu dilakukannya saat dia berumur 15 tahun.
Setelah keluar dari penjara, saat umurnya sudah tua, dia kembali ke pasar untuk
memeras dan ditakuti oleh tentara dan polisi.
Sementara
anak buahnya, telah membunuh beberapa orang pedagang pasar. Mereka yang enggan
menyetor dana keamanan, dibacok oleh anak buah Bardan dan sebagian meninggal
dunia.
Dengan
membalik badan separuh, Bardan mencabut golok dari punggungnya. Golok itu
bersinar-sinar karena ketajamannya dan diayunkan ke leherku. “Syett!” suara
golok itu menghujam kencang di leherku. Alhamdulillah, benda tajam itu tidak
melukai leherku, kulitku jadi membal seperti karet.
“Wau,
kau sudah punya ilmu kebal rupanya, pantas saja kau berani kepada ku?”
tanyanya, tak menuntut jawab.
Bardan
berulang kali membacokkan besi baja tajam itu ke bagian tubuhku. Dia terus
mencari kemungkinan ada bagian tubuhku
yang tidak kebal. Dia membabi buta membacokkan golok itu dan semua kulitku
tidak ada yang mempan bacok. Semua pedagang pasar berkerubun, berteriak
memisahkan kami, mereka memanggil polisi agar Bardan tidak lagi membabi buta.
“Saya
baru menerima serangan kamu Bardan, saya belum menyerang. Sekarang, saya sudah
kehilangan kesabaran, maka giliran saya untuk menyerang kamu. Oke?” tanyaku.
Dengan
secepat kilat tanganku meraih golok yang dipegang Bardan dan menguasai golok
itu. Pada saat aku mengayunkan untuk menebas lehernya, Bardan tiba-tiba
tersungkur di kakiku dan bersujud memohon ampun.
“Ampun
adikku, ampuni aku. Sekarang aku mengakui kau sudah sangat hebat dan aku
menyerah. Keamanan pasar ini aku serahkan kepadamu dan ambillah semua anak
buahku, atur mereka sesuai dengan keinginanmu,” tutur Bardan, setengah
menangis.
Karena
dia sudah minta maaf, bahkan menganggap aku adiknya, maka aku menghentikan niat
untuk menebas lehernya itu. Uwak Item memang berpesan, bila musuh sudah
menyerah, jangan diteruskan perlawanan, jangan diteruskan penyiksaan dan
ampunilah musuh itu. Sebab kata Uwak, Allah Maha Pengampun dan manusia harus
bisa mengampuni orang lain seperti juga sifat Allah Azaza Wajalla.
Hari
itu aku berpelukan dengan Bardan. Bardan menyesali semua perbuatannya dan dia
berjanji tidak akan menjadi pemeras lagi. Bahkan dia kertekad untuk berhenti
sebagai preman. Semua anak buah Bardan bertekuk lutut kepadaku dan meminta
maaf. Hari itu, aku memutuskan kepada semua anak buah Bardan untuk ikut aku dan
berkerja sebagai pedagang. Tidak memeras dan mengutip uang pungli lagi di pasar
Bangli.
Seminggu
kemudian, aku mendengar Bardan melakukan pertobatan nasuha. Dia ke rumah kiyai
Mursid dan minta dibimbing keagamaan. Setelah itu Bardan meminta maaf dan
meminta ampun kepada seluruh keluarga dan orang-orang yang pernah disakitinya.
Hampir semua orang yang didatangi Bardan memberinya ampun dan maaf. Hari ke
delapan, di luar dugaan, tiba-tiba Bardan meninggal dunia karena serangan
jantung. Bardan mati mendadak dan tertelungkup di depan empat istri dan 23
anaknya. Saat dikubur, dua hari kemudian, di atas tanah makam Bardan tumbuh kembang
berwarna putih jenis bunga kurial yang
indah dan harum. Kata Kiyai Mursid, dosa Bardan sudah dimaafkan Tuhan dan insya
Allah di amsuk surga.
Pada
tahun 2011 lalu, aku kembali ke Uwak Item dan minta ilmu kebalku diambil lagi.
Aku sudah tidak membutuhkan ilmu mistik itu lagi karena Bardan yang jadi target
operasional supramistikku sudah bertobat. Sekarang ini, keadaan pasar aman
tenteram dan semua pedagang tidak ada yang terganggu lagi oleh ulah preman
pemeras sadis yang dulunya sangat merajalela. Semua orang di Ogan Komering Ilir
menganggap akulah pahlawan penyelamatan pasar Bangli itu, tapi aku merasa
bukanlah aku, tapi Allah Azza Wajalla, yang memberikan ilmu kebal bacok
kepadaku lewat Uwak Item, yang membuat Bardan ketakutan lalu bertobat. ***
Yudhistira
Manaf
Komentar
Posting Komentar