Misteri Sejati: Tia Aweni D. Paramitha
HANTU JELITA.....
Seorang
pria tak dikenal telpon aku. Dia minta bertemu. Karena baru kenal, aku tanya detil padanya. Siapa dia, dari mana, tinggal di
mana. Bertemu
dengan ku untuk apa? Dan urusan apa?
“Saya akan memperagakan kepada Anda bagaimana
menyantet seseorang dengan kekuatan suara. Saya akan membuktikan mampu
menyantet orang lewat handphone!” ujarnya, mantap. Lha, apa apaan
ini?
“Siapa yang akan Anda santet?” tanyaku,
penasaran. Sebab, kataku, bila mempraktekkan santet suara itu, berdemo,
pastilah ada sasaran santetnya. Dan kalau benar ampuh, orang tersebut akan mati
langsung. Menurutnya, mati dalam hitungan detik, bukan lagi menit atau jam. Ah,
apa iya sih?
Jujur saja, aku agak takut bertemu
dengan penelpon ini. Untuk itu aku meminta waktu berfikir, menimbang-nimbang sebelum memutuskan untuk
bertemu. Jangan-jangan, pikirku, penelpon ini benar-benar penyantet ulung dan
aku sendiri bisa dihabisinya lewat keilmuan gaibnya itu. Atau, bisa juga,
penelpon ini seorang psikopat. Orang stress, gila atau mengalami gangguan jiwa.
“Jangan takut, saya orang waras. Jangan
kuatir bahwa saya akan mencederai Anda. Saya pengagum artikel-artikel Anda dan
saya mau bersahabat dengan Anda sampai kapanpun,” imbuhnya, datar.
Setelah berulang kali dia menelpon dan
serius akan berlaku baik kepada saya, saya tertarik juga untuk bertemu
dengannya. Tapi, pikirku, pertemuan itu haruslah di tempat yang aman dan terbuka.
Artinya pertemuan itu rahasia namun di tengah banyak orang. Dengan begitu, aku
merasa aman dan nyaman, tidak kuatir akan dianiaya atau diperdayai oleh
penelpon ini. Maka itu, restoran, menjadi satu-satunya tempat yang layak untuk
dipilih.
“Baik, saya mau bertemu dengan Anda,
tapi di restoran Padang, rumah makan Sedeshana di Bumi Serpong Damai!” kataku.
Penelpon yang mengaku bernama Kanjeng
Gusti Anggodo ini tidak keberatan lokasi pertemuan yang aku ajukan. Dia
langsung setuju dan jam serta tanggal pertemuan pun, sudah diatur.
“Anda akan menggunakan baju apa nanti
dan cirri-ciri khusus apa dari diri Anda sehingga saya mudah mengenali. Sebab
kita belum pernah bertemu selama ini,” pancingku.
“Tenang saja adinda, saya sudah
mengenal Anda walau Anda sebenarnya tidak tahu bahwa saya sudah tahu wajah
Anda,” ungkapnya. “Bagaimana Anda bisa mengetahui wajah saya, sementara saya
paling tidak mau dan tidak pernah publikasi diri,” sorongku.
“Wajah Anda tirus, mata Anda bulat,
tubuh Anda jangkung, langsing dan rambut Anda pendek model youngen skop. Anda
berpenampilan tomboy, selalu menggunakan celana jean hitam dan kaos singlet
ketat. Ya kan?” tebaknya.
Semua yang dikatakannya adalah benar.
Ciri-ciriku sudah diketahuinya persis dan dia pastilah pernah jumpa denganku
sebelum ini. “Di mana Anda bertemu saya Pak?” desakku.
“Maaf,
saya tidak pernah bertemu secara fisik dengan Anda, tapi saya melihat Anda di
mana-mana, termasuk saat Anda meliput kasus mistik di Pasar Itaewon, Seoul,
Korea Selatan bulan lalu,” tukasnya.
Batinku, penelpon ini bukan orang sembarangan.
Dia pastilah orang yang memiliki ilmu kesaktian yang tinggi. Sebab sampai hal
detil pun, saat aku berada di Itaewon, Seoul, Korsel, dia melihatku. Baju apa
yang aku gunakan saat liputan itu, celana apa dan kamera apa yang aku tenteng.
Semua dia bukan dan dia ketahui dengan pasti. Sementara bila dia berada di
sana, hal itu tidak mungkin terjadi, karena perjalananku ke Korea itu sangat
tertutup dan rahasia.
Pertemuan itu terjadi pada hari jumat,
pukul 13.40 di restoran Sederhana BSD, kota Tangerang Selatan, Banten. Dia dating
lebih awal dari pada aku dan aku tidak tahu dia memilih duduk di mana. Aku
melenggang masuk rumah makan dengan perasaan galau, cemas dan sedikit tegang.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi dan siapa sebenarnya pria penelpon ini,
satu-satunya penelpon yang pernah aku temui. Selama ini, ribuan penelpon, tapi
aku tidak pernah mau menjumpainya. Tertarik tentang kesaktian orang ini untuk
bahan liputan, akupun rela keluar rumah untuk menjumpainya.
Namun otakku membayangkan sosok pria ini.
Dia pastilah bermur tua, berjenggot, pakai baju hitam lusuh dan rambut beruban.
Pikirku, orangnya pastilah terlihat jorok, kodoi dan peot. Sebab semua dukun
santet selama ini bentuk gambarannya seperti itu. Bahkan berjalan emnduduk,
bermata merah dan tangan selalu dilipat ke bawah punggung.
Mataku berputar mencari sosok itu dan aku
menelpon. Sebelum sempat nada tersambung, seseorang menepuk bahuku. “Kita duduk
di ruang AC itu dan di sudut kanan, sepi tapi aman untuk kita,” kejut seorang
pria di belakangku, sambil melaju ke daerah yang akan dituju. Jantungku
berdetak cepat dan rasa kaget bergelayut akrab dalam batinku. “Siapa Anda?”
tanyaku. “Akulah Gusti Kanjeng Anggodo, tukang santet suara yang tidak ada
duanya di dunia!” hentaknya, tenang.
Rasa terkejutku menjadi belipat ganda.
Terkejut karena ditepuk dari belakang dan terkejut melihat sosok pria yang
kuduga tua dan jorok itu. Pria yang bernama Gusti Kanjeng Anggodo ini masih
sangat muda, berumur 39 tahun, tampan sekali, berpakaian necis dan berdasi
perlente. “Tidak masuk akal!” batinku.
Gusti megajak aku duduk di truang AC dan
tidak banyak orang makan siang itu. Atau, mungkin karena sudah lewat jam makan
siang, maka ruang AC dan terlarang merokok itu, hanya terisi dua meja, tiga
meja terhitung meja kami.
“Saya tahu Anda perokok sejati. Bila mau
merokok, silakan saja, sebab tidak ada seorang pun yang bisa melihat rkok kita
dan asap yang mengepul dai rokok itu. Coba saja, biar Anda bisa membuktikan
keajaiban itu!” tukasnya.
Dengan didorong oleh rasa penasaran, juga
ingin menguji kebenaran omongannya, maka aku mengeluarkan rokok dan
menyulutnya. Benar saja, tidak ada seorang pun yang menegur aku merokok dan
tidak ada asap yang terlihat di ruang AC itu. Aku sendiri, tidak menyaksikan
asap yang muncul, tapi tenggorokanku merasakan adanya beban asap sebagaimana
apa yang kurasakan seperti biasanya.
“Kita tidak perlu berlama-lama berbincang,
intinya sudah Anda ketahui by phone. Sekarang, beri nomor orang yang ingin Anda
jadikan sebagai contoh, siapa yang akan disantet dan Anda ingin agar dia mati?”
bujuk Kanjeng Gusti, dengan suara khas yang besar dan tebal. Suaranya bariton
dan bass, mirip suara dubber ternama Nugraha yang pelanggan pengisi suara film
nasional.
Lam aku berfikir tentang siapa yang akan
dijadikan contoh. Tapi ada sorangf wanita tetanggaku yang nyinyir, jahat,
mulutnya kotor dan sering menyakiti hatiku. Nama ibu itu Nyonya Srikiti,
sebutlah begitu, tetangga yang dipisahkan dua rumah sebelah barat rumahku. Aku
sangat dibenci oleh wanita itu dan berulang kali dia menyakiti hatiku, hingga
aku jadi stress kaena gossip-gosipnya yang diada-ada tentang aku. Bahkan, suami
dan anak-anaknya juga ikutan memusuhi aku dan aku sering diludahi bila melewati
rumahnya yang jorok.
“Nyonya Srikiti yang akan jadi contoh.
Perempuan ini sangat jahat dan sebaiknya dia mati saja karena sifatnya yang
dibenci banyak warga. Dia jahat kepada banyak orang dan paling menjadi musuhnya
adalah aku,” ungkapku.
“Saat ini dia dalam keadaan sehat walafiat
kan? Segar dan tidak kurang suatu apa? Jika dia sedang sakit, maka wajar kalau
dia mati. Anda akan berkata bahwa dia mati karena penyakitnya, bukan karena
santet suara yang aku buat,” desisnya.
Setelah mencatat nomor di handphone black
berry nya, dia segera memencet nomor itu dan menghubungi Srikiti. “Tapi tunggu
dulu!” kataku. “Apa konpesasi yang ingin Anda dapatkan dari saya bila santet
ini berhasil?” tekanku. Arkian, pria itu ternayata tidak menuntut apa-apa,
hanya dia ingin dibuatkan artikel dengan missi memperingatkan kepada manusia,
semua pengguna HP, untuk tidak mudah menerima telpon secara serampangan. Sebab
ilmu yang dia punai, sudah dibagi-bagi pada ratusan muridnya yang menyebar di
antero jagat. Muridnya itu sudah praktek mencari uang dari santet suara dan
sebentar lagi akan banyak orang mati karena ditelpon.
“Baik, kalau begitiu silakan diteruskan!”
katanya. Kanjeng Gusti kembali menekan nomor handphone Srikiti dan diangkat.
Dengan mengucapkan kata-kata santun dan penuh hormat, Kanjeng Gusti menjalankan
aksinya. Beberapa kata-kata kunci rahasia diucapkannya setelah itu dan
kata-kata berbau mantra ini dilarangnya untuk dikutip di sini. Dia menelpon
tidak sampai dua menit, lalu dia menutup
telponnya dan BB nya dimatikan cepat. Beberapa detik setelah itu, dia merenung
dan menundukkan kepalanya secara seksama. Setelah itu, kepala nya terangkat tiba-tiba
dan berkata kepadaku. “Srikiti itu sudah mati!” katanya.
Rasanya aku masih ragu tentang kematian
itu. Saat aku pergi melintasi rumah Srikiti, dia terlihat sedang berdiri di
pagar dengan mulut yang berkicau-kicau menyindir aku. Dia seolah bicara kepada
anaknya, tapi arahnya yang sesungguhnya kepadaku. Tubuhnya segar bugar kala itu
dan suaranya sangat langtang, menunjukkan bahwa dia tidak sedang sakit sama
sekali. “Setelah makan ini, pulanglah ke rumah dan lihatlah, Srikiti sudah
mati!” serunya.
Usai makan siang itu, aku segera pamit
kepadanya. Dia lalu memasukkan uang untuk bayar taksi ke dalam tasku yang
sedang terbuka. Sebuah amplop putih yang kuambil lagi untuk dikembalikan
kepadanya. Kataku, aku punya cukup uang untuk taksi, bahkan naik pesawatpun,
aku masih banyak uang. Gajiku cukup besar sebagai reporter dan aku tidak
kekurangan uang hingga terpaksa untuk minta-minta ke narasumber. “Jangan
ditolak, berbahaya. Ini rejekih, walau kita tidak tahu rejekih ini halal atau
tidak!” cetusnya.
Kami berpamitan dan sama-sama ke halaman
restoran. Aku dicarikan taksi olehnya dan aku pun naik taksi. Tapi sebelum
taksi berangkat, aku minta sopir taksi untuk behenti lalu mundur beberapa
meter. Oh Tuhan, pria ganteng itu memang kaya raya. Mobilnya ternyata jaguar
warna perak dan dia menyetir sendiri mobil berharga delapan milyar itu.
Taksi segera berangkat dan aku penasaran
ingin melihat keadaan Srikiti. Duh Gusti, jantungku berdetak hebat, di mana di
rumah Srikiti sudah penuh orang dan Srikiti sudah mati. Kata tetanggaku, dia
tekena serangan jantung setelah menerima telpon dan mati mendadak.
Kalau dikacai, mungkin muka terlihat pucat
dan aku ketakutan. Jantungku berdebar-benar dan perasaan bersalah tiba-tiba
begelayut hebat dalam batinku. Kanjeng Gusti memang jagoan dan ilmunya
sangatlah tinggi. Ilmu Santet Suara dan Ilmu gendam via handphone yang
megahebat yang mematikan dalam hitungan detik.
Polisi segera melacak kasus kematian
Srikiti. Rasa takut menyerangku dan aku segera minta tugas liputan ke
Australia. Boss ku menyetujui ususlku untuk membuat laporang Peta Mistik kaum
aborigin di hutan Pareakiang di dekat Darwin. Sekalian meliput ilmu pawang
buaya di daerah itu.
Sebelum terbang malam ke Australia di
bandara Soekarno-Hatta, tiga hari setelah kematian Srikiti, aku menelpon
Kanjeng Gusti Anggodo. Kanjeng Gusti terpingkal-pingkal begitu kusebut bahwa
aku ketakutan akan tertangkap polisi. Sebab, kataku, santet sekarang ini sudah
masuk hokum pidana dan bisa diperkarakan bila terdapat bukti-bukti penting.
Siapa yang menyantet dan siapa yang megorder santet, akan dipenjarakan bila
terdapat bukti material yang mengarah kea rah itu.
“Bila polisi dapat membuktikan santet itu,
saya akan memotong kedua kaki saya. Tidak mungkin, tidak mungkin polisi dapat
menangkap tukang santet. Apalagi santet suara yang yang akau lakukan pada
Srikiti itu,” kata Kanjeng Gusti, sekali lagi tertawa terbahak-bahak.
Batinku mulai tenang. Jantungku berhenti
berebar dan aku lebih nyaman meliput kalangan aborogin di Darwin. Sebelum
terbang, tapi sudah di dalam pesawat, aku membuka amplop pemberian Kanjeng
Gusti yang benar-benar lupa aku buka. Oh Tuhan, isi amplop itu ternyata uang
pecahan dolar Amerika seratusan dan berjumlah 20 lembar. Dengan begitu uang
taksi itu begitu besar, jika dirupiahkan benilai 18 juta rupiah. Pikirku,
lumayan untuk menampah uang saku ku selam seminggu di Australia.
Selesai tugas, aku segera pulang ke
Jakarta. Sesampainya di Jakarta, aku langsung ke kantor, tidak pulang ke rumah.
Bu Tania, tetangga menelponku, bahwa aku dicari-cari polisi Polsek. Aku
dijadikan sebagai terperiksa kasus kematian Srikiti. Polisi sudah memastikan
bahwa Srikiti disantet dan aku sebagai musuhnya, termasuk salah seorang yang
dicurigai menyantet.
Telpon Bu Sania ini membuat aku panik. Apa
yang dikatakannya pastilah benar. Dia tidak pernah bebohong dan polisi itu
benar-benar mencari aku. Aku segera menelpon Gusti Kanjeng. Tapi telponnya
tidak aktif dan beberapa kali aku telpon dalam waktu seharian, telponnya mati
total. Jantungku berguncang hebat dan aku benar-benar diselimuti rasa takut.
Penjara, penjara, aku pastilah terpenjara oleh kematian Srikiti. Sementara
penyantetnya, Kanjeng Gusti, tidak dapat lagi dihubungi. Rumahnya aku tidak
tahu di mana dan tempar prakteknya pun, aku tidak tahu di kota apa.
Karena panic dicari polisi, aku minta tugas
lagi ke luar negeri. Aku berangkat ke Amerika Lain, meliput gain pegunungan
Andes di Chili dan Peru. Sementara telpon polisi, masuk ke kantor. Orang kantorku
menghubungiku, menyebut bahwa aku dicari polisi.
Bos memerintahakn aku pulang, dikatakannya
bahwa aku harus kooporatif kepada polisi. Apa yang disangkakan kepadaku, tidak
akan menjadikan aku terpenjara bila aku tidak melakukannya. Aku bersumpah,
bahwa aku tidak melakukannya. Sumpah ini benar, karena yang menyantet bukanlah
aku, tapi Kanjeng Gusti, pria ganteng misterius yang aku sendiri tidak tahu
identitas lengkapnya.
Karena bujukan bos, aku pulang ke Indonesia
dan menghadapi kasus itu. Aku dipanggil Polsek dan di BAP. Dalam berita acara
pemeriksaan yang dibuat polisi, aku menyatakan
bahwa aku tidak tahu menahu kasus kematian Srikiti. Kepada polisi aku
katakana bahwa srikiti memang tidak punya hubungan baik padaku. Bahkan kunyatakan
bahwa dia adalah musuhku. Tapi, untuk membunuhnya, aku tidak punya kemampuan
apa-apa. Bahkan kukatakan bahwa aku tidak pernah berniat untuk membunuhnya.
Batinku, santet yang aku lakukan hanyalah untuk tast cas, uji keampuhan ilmu kanjeng
Gusti yang sombong itu. Ilmu itu ternyata benar dan Kanjeng Gusti betul-betul
saktimandraguna,
Karena tidak cukup bukti aku membunuh, aku
akhirnya dibebaskan tanpa ditahan seharipun. Kasus kematian itu pun akhirnya
tidak diusut lebih lanjut. Pelapor utama, suami Srikiti, hanya mampu gigit jari
melihat kenyataan bahwa aku bukanlah pembunuh istrinya itu. Sementara dia,
ingin aku dipenjarakan dan aku mati dibunuh dalam tahanan oleh yteman-teman
premannya. Semua uapayanya itu gagal dan aku bebas meredka hingga sekarang.
Setelah beberapa beberapa lama, di luar
dugaan, tiag hari lalu Kanjeng Gusti telpon aku. Kami bertemu lagi, kali ini
Kanjeng Gusti mengundang aku ke rumahnya. Rumahnya sunguh mewah dan besar.
Memiliki kebun durian montong dan kolam ryang besar. Di garasinya semua
terlihat mobil mewah miliknya, ada jaguar, porche, mercy sport dan audi pintu
dua. Mobil berharga puluhan miluar itu tidak
ada apa-apanya jika dianding dengan emas batangannya berjumlah ribuan
batang di gudangnya. Beberapa saat kami ngobrol di taman, Kanjeng Gusti
memaggilnya istrinya dan memperkenalkan aku. Oh Tuhan, istrinya sangat cantik
seperti bintang film India Heema Malini. Tubuhnya jangkung, langsing, mancung,
kuning langsat dan matanya seperti mata bidadari dari kayangan. Aku yang selama
ini dianggap cantik, jadi tidak ada apa-apanya disbanding dia. Aku tiba-tiba
menjadi kecil di hadapan wanita secantik itu, ramah lagi, tutur kata-katanya
lembut dan mendesah seperti artis Syahrini.
Setelah istrinya pamit, tinggallah aku
berdua Kanjeng Gusti di taman dekat kolam renang. Kanjeng menyatakan bahwa aku tidak akan
terkena kasus peradilan. Nomor HP yang masuk ke Srikiti sudah hilang secara gaib dan usutan polisi
tidak akan sampai kepadanya. Jangankan ditangkap, dilihat saja dia tidak akan
bisa. Bahkan hari itu, aku dipagari gaib olehnya dengan aji-aji halimun jagat.
Ilmu menghilang dan tidak bisa terlihat oleh lawan maupun kawan.
Secara pribadi, Kanjeng Gusti menggambarkan
bahwa ilmu yang aku dapat darinya itu, tidak boleh disalahgunakan. Artinya
tidak boleh untuk mencuri atau merapok harta orang dan harta negara. Tidak
boleh pula memberikannya kepada orang lain. Ilmu atu tidak diperkenankan untuk
diijazahkan untuk oran-orang yang meminta.Walaupun untuk saudara dekat dan
teman-teman baik. “Jadikan ilmu ini rahasia pribadimu. Dan hanya engkau dan aku
yang tahu. Namun yang paling tahu lagi adalah Allah, Sang Pencipta yang Maha
Kuasa, penguasa alam semesta termasuk ilmu-ilmu gaib yang menyebar di antero
bumi ini,” tutur Kanjeng.
Di luar dugaanku, istri Kenjeng Gusti,
ternyata bukanlah manusia biasa. Istrinya yang jelita itu, ternyata dari bangsa
Kuntilanak, yang dinikahinya di hutan Pagarnusa di Sumatera Selatan. Setiap
satu tahun sekali, istrinya yang bernama Ratu Anfina itu raib dan pulang ke
Hutan Pagarnusa menemui orangtuanya. Di sana hanya tiga hari tiga malam dan
berubah wujud menjadi ular sanca. Setelah itu, dia akan kembali ke Jawa dan
cantik jelita seperti apa adanya. Hari itu juga, aku diperlihatkan oleh Kanjeng
Gusti tentang siapa istrinya itu. Aku dibawanya masuk ke rumah dan di ruang
music room nya, aku melihat ular sanca besar sekali melilit di sofa. “Itulah
Ratu Safina istriku, yang ujud aslinya adalah ular sanca berkepala dua,” ungkap
Gusti.
Jantungku berdebar hebat dan hatiku
tiba-tiba menjadi miris. Pikirku, Tuhan memberikan banyak hal di dunia ini kepada ciptaan-Nya.
Ada yang nyata dan jelas-jelas terlihat, ada yang halus dan gaib yang tidak
pernah terjamah oleh akal. Hari itu, mata kepalaku menyaksikan dengan nyata-nyata,
bahwa ad perempuan yang begitu cantik yang sebenarnya bukan manusia biasa. Tapi
dia bangsa jin, ular gaib dari kaum Kuntilanak. Bangsa Kuntilanak yang terkenal
di sitana gaib Hutan Pagarnusa Sumatera Selatan. Oh Tuhan!****
(Cerita
ini dialami oleh Dita Anggia. Tia Aweni D. Paramitha menulis kisah itu untuk
Misteri Sejati-Red)
Komentar
Posting Komentar