Author: Fandy Hutari
Rabu, 26 September 2018 Jam: 12.00
NAFAS TERAKHIR MAJALAH MISTERI
Sebuah rumah berlantai dua di Jalan Kramat V, Jakarta Pusat,
tampak sepi. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Papan besar bertuliskan nama-nama
media terpampang di dinding rumah itu. Saya masuk ke halaman rumah, melalui
pintu besi yang sangat sulit digeser.
Ketukan
dan salam saya berkali-kali, tak ada yang membalas. Batang hidung penghuninya
tak pernah muncul dari dalam rumah tersebut. Lantai teras rumah itu pun berserak
daun-daun kering, yang rontok dari pohon rindang di sebelah rumah.
“Sudah
tutup, Mas. Sudah lama kayaknya,” kata penjaga warung nasi, persis di sebelah
rumah kosong tersebut.
Sejenak,
ingatan saya kembali ke akhir 1990-an, saat masih duduk di bangku SMA. Saya
sempat membaca majalah ini dari seorang teman.
Mudah
saja mendapatkannya di lapak-lapak koran dekat sekolah kami. Judul-judulnya
membuat bulu kuduk merinding. Ilustrasinya pun khas, gambar sosok hantu atau
wajah paranormal.
Kontennya
mengangkat laporan soal kejadian gaib, benda pusaka, atau kisah tempat keramat.
Menariknya, terdapat pula iklan paranormal yang menawarkan santet. Entah, mesti
tersenyum atau sedih melihat iklan itu.
Pengalaman
mistik
Misteri
berdiri pada 1974. Pendirinya tokoh
pers nasional Ibrahim Sinik. Majalah ini bernaung di bawah payung grup media
Medan Pos. Selain Misteri, dalam grup media ini terdapat Medan Pos,
Detektip Spionase, Sinar Reformasi, dan sebagainya.
Saya
kemudian menghubungi Yon Bayu Wahyono, redaktur pelaksana terakhir di Misteri.
Hampir setahun Yon tak lagi menggarap majalah berkonten mistik itu. Tak lagi
gajian.
Yon
saat ini sibuk menulis di blog pribadi dan buku. Dia sempat memegang kendali
redaksi selama enam tahun, dari 2011 hingga 2017. Sebelumnya, Yon bekerja
sebagai wartawan politik.
“Pimrednya
saat itu berhenti mendadak. Saya diminta bantu di sini,” katanya, saat saya
hubungi, Jumat (21/9).
Tentu
saja, pindah ke media dengan konten berbeda, Yon kembali harus belajar. Dia
mesti menyelami isu-isu tak kasatmata. Yon mengaku, di masa awal bergabung, dia
mendatangi hampir seluruh tempat keramat di Indonesia.
“Aku
pernah tidur di tempat keramat. Katanya angker, seperti di Gunung Sanggabuana
(Jawa Barat), Gunung Srandil (Jawa Tengah), hingga Gunung Kelam (Kalimantan
Barat),” kata Yon.
Yon
juga mendatangi makam Nyi Roro Kidul, serta makam-makam yang dianggap keramat
lainnya. Bekerja di majalah yang kerap menyajikan laporan supranatural, Yon pun
memiliki pengalaman mistis.
Suatu
hari, dia merasa benar-benar dibawa ke alam lain, ketika dirinya mencari
keberadaan Suku Bunian di Jambi dan berkunjung ke Gunung Srandil di Jawa
Tengah.
“Saat
itu mungkin aku nggak percaya,” katanya.
Peristiwa
itu terjadi saat awal dia bergabung dengan Misteri, antara 2011 hingga
2013. Seiring waktu, Yon percaya, dunia gaib itu benar-benar ada. Namun, memang
tidak mungkin bisa dimasuki, kecuali orang tersebut percaya.
“Itu
pun hanya ‘rasa’ dan ‘pikiran’ kita yang ke sana, bukan badan kita,” ujar Yon.
Kantor
majalah Misteri di Jalan Kramat V, Jakarta Pusat, tampak kosong. (Fandy
Hutari/Alinea).
Pembaca
loyal
Redaksi
Misteri memiliki tujuh redaktur di Jakarta. Mereka siap memasak dan
menggoreng laporan dari reporter di beberapa daerah. Para reporter daerah ini
melakukan reportase langsung di sejumlah tempat, seperti tempat keramat atau
mencari benda gaib.
Misteri
sempat mengalami masa jaya pada 2011
hingga 2015. Oplahnya luar biasa. Sebagai majalah yang terbit dua minggu
sekali, sebulan mereka mencapai oplah 280 ribu eksemplar.
“Kami
memiliki segmen pembaca yang loyal,” kata Yon.
Pelanggan
majalah ini bukan saja dari dalam negeri. Menurut Yon, pembacanya juga berasal
dari Hong Kong, Korea, dan kantung-kantung tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar
negeri. Mereka pun tak melulu menyasar pembaca dari kalangan menengah ke bawah.
Orang-orang kelas atas pun ada yang menjadi pembacanya.
“Tapi
bedanya, jika mereka beli majalah Tempo ditenteng dengan bangga. Namun,
kalau beli majalah Misteri digulung. Tidak berani membawanya secara
terbuka, karena malu,” ujar Yon.
Mereka
unggul dibandingkan banyak pesaingnya, seperti Posmo, Liberty,
Mantera, dan Histeri. Keunggulannya, kata Yon, konten Misteri
lebih beragam. Misteri tak hanya menawarkan hiburan dengan cerita-cerita
horor, tapi juga mengupas tentang berbagai masalah utama manusia dari sisi
gaib.
Banyak
persoalan hidup sehari-hari menyoal materi, seperti utang, cepat kaya, ingin
naik pangkat, dan sebagainya dikupas. Kemudian, mereka memberikan solusi dari
sisi gaib. Misteri menjadi referensi bagi mereka yang ingin
menyelesaikan persoalannya secara gaib, misalnya melalui pesugihan.
“Hal-hal
demikian hanya ada di majalah Misteri,” kata Yon.
Pemerhati
media Ignatius Haryanto mengatakan kepada saya, Misteri memiliki segmen
pembaca khusus, yakni sekelompok orang yang memang cukup merasa mistik
merupakan konten media yang mereka butuhkan. Hal ini terkait dengan keberadaan
orang-orang yang menjual jasa dalam bidang mistik.
“Dalam
terminologi jurnalisme, media seperti Misteri, sering dikategorikan
sebagai ‘koran kuning’, yakni koran yang menjual sensasionalisme kepada masyarakat,”
kata Ignatius Haryanto, Selasa (25/9).
Sensasionalisme
itu bisa berwujud berita kriminal, berita unik macam kambing berkepala dua,
ikan yang ditubuhnya tertulis kata ‘Allah’, dan sebagainya. Ignatius
melanjutkan, di Indonesia memang kaya khasanah mistik, terkait mitos-mitos
lokal, cerita-cerita rakyat, hikayat-hikayat, dan sebagainya.
“Dan,
entah mengapa ada sekelompok orang yang hobi berburu tempat-tempat mistik,
memelihara sejumlah benda tertentu, seperti keris. Saya simpulkan, dari faktor
ini semua yang membuat majalah Misteri bisa bertahan hidup,” ujar
Ignatius.
Saya
ingat betul, usai reformasi, media-media yang mengangkat dunia lain semacam Misteri
tumbuh subur. Liberty yang terbit pada 1950-an bahkan ikut-ikutan
mengarahkan laporan mereka ke konten sensasional, seperti dunia gaib hingga
seks. Sebelumnya, Liberty terkenal karena konten berita hiburannya.
Ignatius
memandang, hal ini tak lepas dari kebebasan jurnalisme setelah Orde Baru
tumbang pada 1998. Di masa Orde Baru, kata Ignatius, rezim perizinan dari
Departemen Penerangan secara langsung maupun tak langsung, menyeleksi media
seperti apa yang boleh terbit dan tak boleh terbit.
Usai
1999, keluar Undang-undang Pers Nomor 40/1999. Seiring keluarnya aturan itu,
tak ada lagi perizinan yang dikeluarkan pemerintah.
“Semua
orang boleh menerbitkan pers sendiri, dan secara umum jumlah pers yang sempat
muncul kala itu mencapai belasan ribu nama,” kata Ignatius.
Akan
tetapi, lantaran salah manajemen, tak laku di pasar, dan ruang kompetisi
terbatas, maka sejumlah media rontok. Pasar pula yang menjadi penyeleksi ilmiah
media-media itu. Hanya media tertentu saja yang kemudian bertahan hidup.
“Harus
diakui, ada banyak media yang sifatnya cuma ikut-ikutan peruntungan bisnis
media, tanpa pengetahuan dan pengalaman memadai untuk mengelola media. Media
yang seperti ini mudah rontok berhadapan dengan pasar,” ujarnya.
Beruntung,
Misteri memiliki merek yang sudah kuat di benak masyarakat sebagai media
yang menyajikan kisah-kisah mistik. Maka, media ini masih bisa bertahan hidup.
Sejumlah media yang membuntut Misteri malah mati duluan.
Tak
bisa beralih ke digital
Kalau
tak salah, pada 2013 lalu, saya sempat membuka situs majalah Misteri,
dengan alamat www.majalah-misteri.net. Namun, Yon membantah misteri pernah
beralih ke digital. Menurutnya, selama bekerja di majalah itu, tak pernah ada
wacana peralihan dari cetak ke digital.
“Nggak
pernah. Itu hanya ulah orang iseng saja,” katanya.
Yon
mengatakan, mustahil bila Misteri diubah ke format digital. Pertama, dia
melihat segmen pembacanya. Lebih dari 60% berasal dari lapisan menengah ke
bawah, yang belum terlalu familier membaca secara digital.
Kedua,
konten Misteri sangat spesifik, sehingga mudah dicuri media lain. Yon
mengatakan, berbeda dengan portal berita, konten Misteri tak bisa dibuat
mengikuti peristiwa. Siapapun, menurut Yon, tak akan bisa membuat media daring
dengan segmen misteri.
“Kontennya
sulit, karena bahannya terbatas,” katanya.
Sementara
itu, Ignatius mengaku tak memiliki survei mengapa majalah mistik macam Misteri
tak pindah ke digital. Namun, peneliti senior di Lembaga Studi Pers dan
Pembangunan (LSPP) Jakarta ini menduga, media mistik semacam Misteri memang
hanya akan hidup di ranah cetak, dan kemungkinan akan kesulitan berkembang
secara digital.
“Bagaimana
pun juga, media digital punya logika sendiri, baik dari sisi kapitalisme
pengelolaannya, kontennya, dan pengelolanya,” kata dia.
Akhir
2017, Misteri hanya terbit satu edisi, November-Desember 2017. Tak lagi
terbit sebulan dua kali. Mereka mengalami penurunan oplah secara drastis. Saat
itu, mereka hanya memiliki oplah 20 ribu eksemplar. Jumlah yang terlampau jauh
bila dibandingkan saat masa-masa jayanya.
Di
akhir-akhir riwayatnya, pemasang iklan sudah tak lagi bergairah menayangkan
dagangan mereka di halaman-halaman Misteri.
“Tapi
yang paling fatal adalah tidak adanya loper koran,” kata dia.
Loper
koran sangat berharga menyambung hidup majalah ini agar tak mati. Masalahnya,
mereka tak menjual Misteri dengan cara berlangganan. Seluruhnya langsung
dilepas ke pasar. Tanpa adanya kios dan loper koran di lapangan, muskil bisa
bergerak.
Empat
puluh empat tahun bertahan sebagai media cetak,
tentu saja sebuah hal yang sangat baik. Di tengah rontoknya media-media cetak
lain, Misteri megap-megap bertahan hidup.
Namun,
senggolan napasnya mesti berakhir pula. Dalam edisi pamungkas, mereka
menurunkan laporan utama “Perjanjian Keramat Madame Blavatsky.”
Menurut
Yon, masih terjadi pro-kontra di jajaran manajemen soal berhenti terbit Misteri.
Namun, Yon dan sejumlah koleganya di redaksi sudah tak yakin untuk bisa kembali
terbit seperti dahulu.
Bagaimana
pun, Misteri sudah membuat ingatan kolektif saya, dan barangkali Anda,
tentang sebuah media unik yang mengangkat soal mistik. Sejak 2018, kata Yon,
praktis majalah ini belum terbit lagi.
Mungkin
saatnya, sekarang harus bilang: Sayonara!
Komentar
Posting Komentar