Jin Cantik Menari Pada Purnama ke-14
JIN
CANTIK MENARI
DI
PURNAMA KE 14
Danau
Pancikong membentang luas. Permukaan airnya berwarna biru bersih dan bening.
Sejauh mata memandang, tak seorang pun terlihat di daerah perairan enam belas hektar itu. Hanya aku sendiri berperahu karet
menyusuri pepohonan angsana di tepi danau. Saat itu jam di tanganku sudah
menunjukkan angka 16.45 Waktu Indonesia Timur. Berbeda dua jam dengan Jakarta,
wilayah Indonesia bagian barat. Kala itu, Jakarta baru jam 14.45 WIB.
Mengapa
aku sampai di Danau Pancikong, Biak, Papua ini, aku sendiri tidak tahu. Namun
perintah gaib telah mendorong aku datang ke pulau di seberang utara Pulau Irian
Barat ini. Ayahku yang sudah lima tahun wafat, tengah malam hari Jumat Kliwon,
28 September 2012, datang dalam impianku. Ayahku meminta aku datang ke Danau
Pancikong di Pulau Biak, Papua. Di tepi danau indah itu, ada kerajaan gaib dan
kerajaan itu harus aku temukan. Juga dengan cara ginaib. Pintunya ada sebelah
timur danau dan aku diperintahkan ayahku masuk melalui pintu itu. Setelah bisa
masuk ke dalam keraton megah itu, harus harus menemui Raja Abdurrahman
Amrullah, jin penguasa kerajaan dan meminta batu mulia King Safir ukuran
sebesar kelapa dan dibawa keluar kerajaan. Bahkan disimpat di rumahku di
Jakarta Timur sebagai jimat keramat.
Tadinya
mimpi ini aku abaikan saja. Pikirku, mimpi adalah kembang tidur dan tetaplah
sebagai mimpi. Namun, besok malamnya, mimpi yang sama muncul lagi. Ayahku
datang lagi dan meminta aku segera ke Danau Pancikong di Biak. Malam itu adalah
malam Sabtu Legi, 29 September 2012. Pada tanggal 2 Oktober 2012, Malam Selasa
Wage, aku bermimpi lagi. Mimpi itu tetap sama, ayahku datang lagi dari alam
kubur untuk memerintahkan aku terbang ke Biak dan masuk ke Danau Pancikong.
Karena
mimpi ini selalu sama dan datang berulan
g kali, maka aku mendatangi guru
spiritualku Ning Cicih Gunung Muria di Jakarta Selatan. Kuungkapkan impianku
ini kepadanya dan aku meminta petunjuk dari pranormal mumpuni ini dalam persoalan mimpi itu. Ning Cicih Gunung Muri langsung
masuk kamar gelap sambil menarik tangan kiriku. “Ayo kita ritul, aku akan
berdialog dengan arwah ayahmu, menanyakan mengapa perintah ke Danau Pancikong
di Biak, Papua itu berulang kali dibisikkan kepada anak perempuannya. Bukan ke
anak lelakinya,” kata Nin g Cicih Gunung Muria, kepadaku, di rumahnya yang
wingit di dekat pemakaman Mahkota Dara
di Limo, Cinere, Jakarta Selatan.
Aku
mengikuti Ning Cicih Gunung Muria ke kamar gelapnya. Kamar tanpa lampu sedikitpun
dan hanya ada batu bara dupa yang menyala dan bau kemenyan Arab yang menyengat. Setelah
satu jam berkomat kamit dan aku berkonsentrasi membayangkan wajah ayahku di
saat datang dalam impian, tiba-tiba suara geburbrak mengejutkan aku. Sementara
aku mendengar suara lamat-lamat Ning Cicih Gunung Muria membaca mantra sakti
mandraguna pemanggil arwah.
Beberapa
saat setelah suara keras itu muncul, ayahku benar-benar datang di depan kami.
Ning Cicih langsung bertanya apa maksud perintahnya kepada anak perempuannya
pergi jauh ke timur, ke danau misterius di Pulau Biak, Papua itu. Ayahku menerangkan
bahwa di tepi danau aku harus menemukan pintu gaib dan aku disuruh menemui Raja
Jin Abdurrahman Amrullah, Sang Penguasa keraton
Biak dan meminta batu besar King Safir sebagai jimat keramat. Ayahku
juga menerangkan, bahwa semasa hidupnya di dunia sudah masuk ke keraton itu dan
mendapatkan King Safir indah dan diserhakan oleh ayahku ke presiden Suriname,
Amerika Selatan. Ayahku diberi dua buah batu mulia King Safir sebesar buah
kelapa, namun ayahku baru membawa satu. Satu lagi dititipkan dalam keraton dan
belum sempat diambil, ayahku keburu meninggal dunia. Kini, sebagai anak
perempuan yang berbakat paranormal, aku yang dipilih berangkat ke keraton gaib
itu dan meminta batu mulia King Safir milik ayahku yang tertinggal di Keraton
Biak.
“Engkau
harus segera berangkat ke Biak dan temukan keraton gaib Raja Abdurrahman
Amrullah itu,” perintah Ning Cicih Gunung Muria, kepadaku. Setelah berbicara
begitu, ayahku mencium keningku lalu raib ke lama antahberantah dan pergi jauh
meninggalkan kami dari ruang gelap tempat praktek paranormal Ning Cicih Gunung
Muria itu. Hatiku gundah gulana dan cemas, bagaimana seorang wanita lemah
seperti diriku terbang sendirian jauh ke ujung timur Indoensia itu. Pergi ke
Pulau Biak yang aku buta sama sekali dengan wilayah Papua. Tidak boleh ditemani
siapapun dan aku harus berangkat sendri dan bermalam di danau angker di pulau
Biak tersebut.
Haroi
Minggu Kliwon, 28 Oktober 2012 pukul 08.00 WIB aku berangkat dari bandara
Soekarno-Hatta Kota Tangerang menuju Biak, Papua. Aku mendarat di bandara Frans Kaisiepo dengan Lion Air Boeing
737-600 oukul 23.45 WIT. Aku segera naik taksi keluar bandara Frans Kaisiepo
menuju jalan Sudirman. Dari sudirman taksi masuk ke Jalan Sam Ratulangi menuju
Jalan Sisingamangaraja. Di depanm Pangkalan TNI Manuhua taksi aku berhentikan
dan aku mencari rumah Tante Linawati Dewi di dekat pan gkalan TNI Angkatan
Uadara Manuhua itu. Rumah Tante Linawati Dewi aku temukan dan taksi pun
kuselesaikan pembayaran ongkosnya.
Setelah
mengetuk pintu, Tante Linawati Dewi yang membukakan pintu. Sebelumnya dia mau
menjempout aku ke bandara Frans Kaisiepo, namun aku melarangnya. Kataku biar
aku naik taksi dan pergi meluncur ke Jalan Sisingamangaraja, rumah Tante
Linawati Dewi. Tante Linawati Dewi memeluk aku dan kami berpelukan. Tante
Linawati masih famili dengan ibuku, almarhumah, dan Tante Linawati Dewi adalah
penyanyi bar Mangga Besar Jakarta yang menikah dengan anggota TNI Angkatan
Udara lalu dibawa oleh suaminya, Om Dicky Sanjaya ke Biak, Papua.
Aku
beruntung pergi ke Biak masih ada famili yang bermukim di situ. Jadi aku bisa
dibantu oleh keluargaku, Tante Linawati Dewi untuk mencari di mana lokasi danau
yang dimaksud. Walaupun, Tante Linawati Dewi tifdak boleh menemani aku ke danau
itu. Perintah gaib ayahku, aku harus pergi ke sana sendiri dan menemukan pintu
keraton tersembunyi di Danau Pancikong.
Kerajaan Raja Jin, Abdurrahman Amrullah.
Tante
Linawati Dewi sangat hangat menyambut kedatanganku. Dia kagum karena aku berani
datang dari Jakarta jauh ke Papua terbang selama puluhan jam. Lalu dia mengajak aku ke meja makan. Kami ngopi bareng
dan memakan pisang goreng dan ubi rebut yang mulai dingin. Tante Linawti Dewi
dari dulu senang pisang goreng dan psang bakar. Dulu aku ingat sering mengajak
aku ikut ke mobilnya lalu makan pisang bakar keju, coklat dan susu di
Rawamangun. Tak jauh dari mal Arion Plaza.
Suara
Tante Linawatoi Dewi menyanyi dangdut bagus sekali. Desah dan oktaf yang
dirujuknya mirip sekali dengan Elvy Sukaesih. Sementara itu menyanyi pop barat, lagu-lagu dari Whitney
Houston dan Dionne Werwick, dia juga persis. Ketika menyanyikan lagi Power of
Love, Celine Dion, dia mendapatkan sambutan yang sangat hangat di Graha Bhakti,
Taman Ismail Marzuki. Kala itu Tante Linawati Dewi menyanyi untuk membuka festival Film Misteri
di TIM dengan pembawa acara Permadi SH.
Di
meja makan rumahnya Tante Linawti Dewi tanya kepadaku dari hati ke hati.
“Sebenarnya tujuanmu datang ke Biak ini untuk apa sayang?” desis Tante Linawati
Dewi, bertanya dengan lembut dan lunak. “Ayo, jujur, apa yang kau cari di sini.
Tante senang sekali kau datang, Cuma Tante penasaraqn, ada apa di Pulau Biak
ini? Apa yang kau cari sebenarnya di tempat yang jauh ini?” ungkap Tante
Linawati lagi, bertanya kepadaku.
Karena
Tante Linawati penasaran ini, maka aku ceritakan sesungguh apa yang akan aku
lakukan di Biak, Papua ini. Tante Linawati mula-mula mengernyit, dia nyaris
tajk percaya tentang perintah mimpi-mimpi dari almarhum ayahku, juga petunjuk
gaib dari Ning Cicih Gunung Muria, yang dia juga kenal ketika masih tinggal di
Tebet Utara, Jakarta Selatan. Bahkan tante Linawati Dewi pernah beberapa kali
datang ke tempat praktek Ningh Cicih di Tebet Utara. Bahkan suaranya pun dirawat oleh Ning Cicih Gunung
Muria hingga bening dan bagus serta selalu menarik saat tampil di panggung.
Setelah
aku menerangkan dengan detail rencana ku
menemukan Kerajaan gaib Pulau Biak itu, Tante Linawati Dewi akhirnya memahami
dan hanya mendoakan agar aku sukses masuk ke alam misterius di Danau Pancikong.
“Yang penting berhati-hatilah, Nak!” desis Tante Linawati Dewi. Aku juga
memberi tahu Tante Linawati Dewi tentang kapan, tanggal berapa dan hari apa aku
mulai berpetualangan ke alam maya di Pulau Biak itu.
Setelah
istirahat tiga hari di rumah tante Linawati Dewi, juga diajak jalan-jalan
keliling kota Biak, aku mulai mencari lokasi gaib Danau Pancikong pada pagi
hari Rabu Pon, tanggal 31 Oktober 2012. Aku menyewa sepeda motor tetangga Tante
Linawati Dewi untuk tiga hari dan aku pergi ke utara Pulau Biak. Aku melintasi
Majelis Taklim Jamiatul Muslimin lalu melesdat ke Tanjung Praisbari. Danau yang dimaksud tidak akmu temukan pagi
itu. Namun setelh keliling ke mana-mana, aku menemukan danau supramistika Danau Pancikong yang anggun. Danau itu sepi,
sunyi dan jernih. Tidak ada seorang pun ada di danau itu. Aku menyewa perahu
karet dan meletakkan motor sewaan ke rumah pemilik perahu karet itu,
Damiangus Tagorang. Perahu itu aku bawa
memutar di senja yang teduh, damai dan tenang di permukaan air yang tenang
tanpa gelombang. Angin sangat tenang senja itu, datar dan wangi. Kucium bau
melati di sekitar danau padahal tidak ada pohon melati di sana. Aku mencium bau
mawar merah di sekitar itu, namun aku tidak melihat pohon mawar yang ada.
Aku
terus berzikir, wiridan dan berserah kepada Allah Azza Wajalla, agar aku dapat
menemukan di mana pintu gaib untuk masuk ke Keraton Kanjeng Raja Abdurrahman
Amrullah, Raja Jin penguasa keraton mistik Danau Pancikong. Di tengah senja yang anggun dan damai, aku
terus berkomat kamit, menengadahkan kepalaku ke langit, meminta kepada Tuhan
ku, agar aku segera menemukan pintu yang supramistik itu. Alhamdulillah, pada pukul 17.56 menjelang magrib, pintu itu
terbuka. Sebuah pohon mahoni tua dengan akar yanag banyak bersimpang siur,
tiba-tiba bergerak dan membuka seukuran manusia. Aku melihat akar mahoni umur
ribuan tahun itu terkuak dan aku masuk ke dalamnya. Perahu karet aku tambatkan
di akar kayu mahoni itu dan aku masuk melalui lubanmg seukuiran diriku di
anatara akan yang rimbun. Benar saja, aku terjun ke dalam lobang sumur yang ada
di sela sela akar dan masuk ke istana mewah di bawah pohon mahoni tua.
Istana
itu penuh kristal yang indah, lampu emas dan satin intan yang begitu mewah. Aku
lan gsung berjalan di antara track koridor menuju singgasana Sang Raja.
Beberapa jin cantik menyambutku. Rambut mereka terurai panjang semua dan wangi melati yang menyengat
dan harum sekali dari tubuh mereka. Aku dibimping menuju pelataran dan berjalan
di karpet merah menuju singgasana Sang Raja. Sang Raja Anbdurrahman Amrullah
menyambutku dan mengusap kan tangannya
sebagai tanda menerimaku sebagai
tetamu istimewa senja itu.
Yang
membuat aku tersentak, ayahku ada di sebelahnya. Ayahku tersenyum manis dan
menganggukkan kepalanya sebagai tanda mendukungku untuk berbicara dengan
Kanjeng Raja Andurrahman Amrullah. Aku diajak bicara dengan bahasa yang sulit
aku mengerti, tapi ayahku menterjemahkan bahasa itu dana akhirnya aku
memahaminya. Beberapa saat kemudian, setelah bicara, batu mulia King Safvir
sebesar buah kelapa diberikan kepadaku. Aku menerimanya dengan baik dan
mengucapkan terima kasih kepada Tuan Raja.
Beberapa
saat kemujdian, tubuhku terbang melayang dan langsung masuk ke perahu karet.
Perahu karet aku bawa ke rumah Damiangus dan membayar sewa poerahu itu. Sementara
batu mul,ia King Safir terbungkus dalam kertas tebal dan aku bawa dengan motor
ke rumah Tante Linawati Dewi.
Kini
batu berwarna biru indah itu ada tgersimpan di rumahku. Batu itu bisa diajak bicara dan bisa menolongku bila aku
membutuhkan apapun. Sebab dalam batu
mulia King Safir itu ada seratus jin perempaun yang cantik-cantik, dari
kerajaan keraton gaib Raja Abdurrahman Amrullah dan sertaus jin itu mengabdi
untukku. Batu King Safir ini menjaid
batu yang sakti mandraguna. Bila aku butuh uang, aku cukup memerintahkannya untuk mencari.
Bila aku butuh makan enak, aku cukup merintahkannya dan jin cantik pengabdiku,
mencarikan makanan enak dan tau-tau sudah ada di meja makan. Hingga tahun 2017
ini, sudah lima tahun batu mulia King Safir bersamaku dan seratus jin cantik
muncul tiap malam purnama ke 14. Saat terang bulan mereka keluar semua
berjumlah seratus dan menari di bawah
bulan purnama ke 14. Tarian mereka
begitu indah dan musik yang keluar pun, sangat enak didengar telinga. Irama
pentatonik Timur tengah dengan suara perkusi yang ristmis dan dinamis. ****
(Petualangan gaib Nyimas Nilamsari
yang diwawancari Yudhistira Manaf untuk majalah online MysterY -Red)

Komentar
Posting Komentar