PARA PRIYAYI 
HEBAT DARI BLORA
- Untuk menyambut Hari Pers Nasional 2019 yang jatuh pada 9 Februari ini, izinkan saya bercerita tentang para priyayi dari Blora. Orang orang hebat Blora yang karyanya menasional bahkan internasional.
Kali ini, saya ingin mengenangkan RM Tirto Adhi Soerjo , pelopor pers pribumi. Namanya masyhur setelah mendirikan mingguan “Medan Priyayi” pada tahun 1909. Kini Beliau dimuliakan oleh insan pers, selain Adinegoro – yang namanya diabadikan sebagai piala prestisius lomba karya jurnalistik tingkat nasional.
Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo, nama lengkapnya. Lahir di Blora, Jawa Tengah, pada tahun 1875. Beliau merupakan anak dari Raden Ngabehi Muhammad Chan Tirtodipuro dan cucu dari Raden Mas Tumenggung Tirtonoto.
Sebagai seorang priyayi, Tirto Adi Soerjo seharusnya melanjutkan sekolah di bidang pemerintahan, namun Ia lebih memilih untuk melanjutkan sekolah dokter di Stovia - Batavia pada tahun 1893 – 1900. Tetapi Tirto muda juga asyik mendalami dunia penulisan dan penerbitan.
Karir jurnalistik Tirto Adhi Soerjo dimulai ketika saat memimpin surat kabarnya sendiri, “Soenda Berita” pada tahun 1901. “Soenda Berita” merupakan surat kabar pertama yang dibiayai, dikelola, disunting, dan diterbitkan oleh kaum pribumi.
Selepas “Soenda Berita” Tirto Adi Soerjo dan menerbitkan mingguan “Medan Prijaji”, sekaligus perusahaan penerbitan pertama di Indonesia, N.V Javaansche Boekhandelen Drukkerij pada tahun 1909 - yang melambungkan namanya - bersama Haji Mohammad Arsjad dan Pangeran Oesman.
Tirto Adhie Soerjo (TAS) kehilangan semua surat kabar setelah dikriminalisasi oleh pemerintah Belanda, sehingga kehilangan semangat hingga akhirnya meninggal dalam kesepian di sebuah kamar hotel di Jl Kramat, Jakarta, 7 Desember 1918. Ia dimakamkan di TPU Mangga Dua, Jakarta Utara. Makam itu dibongkar tahun 1973, jelang dibangun untuk mall. Jenazah RM Tirto pun dipindah ke TPU Belender di Tanah Sereal, Kota Bogor.
Nama Pahlawan Nasional dan penerima Bintang Mahaputra Adiprana ini belakangan ini dikaitkan dengan penyanyi Dewi Yull. Karena aktris film dan penyanyi kelahiran Cirebon itu merupakan cucunya. Bahkan makamnya di Bogor bersebelahan dengan Gisca, putri Dewi Yull yang meninggal beberapa waktu lalu.
Sepak terjang TAS di dunia pers pribumi melawan penjajah nyaris dilupakan seandainya tidak diabadikan dalam buku sejarah bertajuk “Sang Pemula” (Hasta Mitra, 1985) oleh sastrawan Pramoedya Ananta Toer.
PRAMOEDYA ANANTA TOER yang menulis buku “Sang Pemula” adalah seorang sastrawan kondang – asal Blora juga. Namanya melangit lewat Tetralogi Pulau Buru –‘ Bumi Manusia’, ‘Anak Semua Bangsa’, ‘Jejak Langkah’ dan ‘Rumah Kaca’. Tak terelakan lagi, dialah sastrawan terbesar Indonesia saat ini.
Janganlah Anda sekali kali mengaku seorang intelektual, kalau belum membaca karya Pram – nama panggilan Pramoedya Ananta Toer (PAT). Terutama Tetralogi-nya itu. Di Malaysia, buku buku Pram jadi bacaan wajib anak sekolah.
Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing, menjadi anggota berbagai organisasi penulis bergengsi kelas internasonal, mendapat 11 penghargan dunia, nominasi Piala Nobel dan banyak mempengaruhi pikiran dan benak para intelektual Indonesia.
Lahir dan besar di Blora, 6 Februari 1925, Pram punya beberapa adik yang mengikuti jejaknya sebagai penulis, bahkan lulus studi di Russia.
Sebagai penulis, Pram melewati kehidupan yang keras. Pada masa kolonial, pernah ditahan selama 3 tahun dan 1 tahun pada masa Orde Lama, sedangkan di masa Orde Baru Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan tanpa proses pengadilan, karena kedudukannya di Lekra, organisasi kebudayaan di bawah PKI.
Di Pulau Buru itulah, Pram menulis tentang sosok jurnalis yang kemudiannya dikenal sebagai Bapak Pers Indonesia dalam bentuk fiksi, yang berbentuk tetralogi. Sedangkan tokoh yang nyata ditulis dalam buku berjudul “Sang Pemula” yakni RM Tirto Adhi Soerjo.
“Karya-karya Pram telah memberikan pengaruh besar dalam cara saya memandang dan menjalani hidup," tutur Happy Salma, artis sinetron, film dan pegiat budaya yang mementaskan lakon “Bunga di Penutup Abad” di Gedung Kesenian Jakarta - PasarBaru, 24 Agustus 2016, menghadirkan sosok Minke, Annelies, Nyai Ontosoroh dan Jean Marais yang diangkat dari novel ‘Bumi Manusia’.
"Saya ingin lebih banyak lagi orang yang tahu tentang Pram dan membaca karya-karyanya. Bahwa karya sastra mampu menggerakkan hati banyak orang dan membangun karakter seseorang dan pada akhirnya karakter bangsa adalah benar," katanya saat membuka pameran 'Namaku Pram: Catatan dan Arsip' di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, April 2018 lalu.
Pameran itu diselenggarakan oleh merupakan bentuk rasa terima kasihnya untuk Pram yang secara tidak langsung menjadi guru hidupnya.
Ada banyak orang seperti Happy Salma di Indonesia, terutama di kalangan mahasiswa, pecinta sastra dan intelektual. Mereka menyebut diri sebagai “Pramis” atau pengikut Pram.
ORANG HEBAT lainnya dari Blora adalah Jenderal TNI (Purn.) Leonardus Benyamin Moerdani, atau L.B. Moerdani. Pak Benny lahir di Cepu, Blora, Jawa Tengah, 2 Oktober 1932 . LB Moerdani merupakan tokoh militer Indonesia yang terkenal pada masanya. Sebagai perwira TNI yang banyak berkecimpung di dunia intelijen, sosoknya banyak dianggap misterius.
LB Moerdani dikenangkan karena ikut terjun langsung di operasi militer penanganan pembajakan pesawat Garuda Indonesia Penerbangan 206 di Bandara Don Mueang, Bangkok, Maret 1981, peristiwa yang kemudian dicatat sebagai peristiwa pembajakan pesawat pertama dalam sejarah maskapai penerbangan Republik Indonesia dan terorisme bermotif jihad pertama di Indonesia.
Dalam posisi pemerintahan, selain sebagai Panglima ABRI, ia juga pernah menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan dan juga Pangkopkamtib.
LB Moerdani meninggal di Jakarta, 29 Agustus 2004 lalu pada usia 71 tahun.
Tokoh militer dari Blora lainnya adalah Letnan Jenderal TNI (Purn.) Ali Moertopo, yang lahir 23 September 1924 . Dikenal sebagai pemikir, tokoh intelijen, dan politikus yang berperan penting terutama pada masa Orde Baru di Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Asisten Pribadi Soeharto, Kepala Operasi Khusus, Menteri Penerangan Indonesia (1978 – 1983) serta Deputi Kepala (1969 – 1974) dan Wakil Kepala (1974 – 1978) Badan Koordinasi Intelijen Negara.
Ali Moertopo meninggal di Jakarta, 15 Mei 1984 pada umur 59 tahun saat masih menjadi Ketua DPA.
SELAIN sastrawan dan tokoh militer, politisi, kota Blora juga melahirkan perancang busana kondang. Dialah Iwan Tirta. Namanya termashur berkat desain desain adibusana batiknya – Batik Iwan Tirta. Beliau lahir di Blora, Jawa Tengah, 18 April 1935.
Iwan Tirta sebenarnya tidak memiliki latar belakang pendidikan desain. Pendidikan resminya School of Oriental and African Studies di London University dan dilanjutkan dengan meraih gelar Master of Laws dari Yale University, Amerika Serikat. Saat pulang ke Indonesia, Iwan Tirta mendapat tawaran dari temannya, John D. Rockefeller III, untuk mempelajari tarian Keraton Kesunanan Surakarta. Dari situ juga beliau mulai mendalami batik.
Nama Iwan Tirta kian kondang, ketika dipercaya untuk membuatkan batik bagi tamu-tamu kehormatan Indonesia. Karyanya dipakai oleh Presiden Amerika Serikat, Ronald Reagan dan istrinya, Nancy, saat melawat ke Indonesia, di tahun 1980-an. Iwan Tirta juga mendesain baju batik bagi para pemimpin negara yang hadir pada konferensi APEC di Indonesia tahun 1994.
Sepanjang karier desainernya, Iwan Tirta telah membuat sekitar 6.000 desain batik, meraih berbagai penghargaan atas jasa-jasanya mewariskan budaya batik sebagai kekayaan seni Indonesia, di antaranya penghargaan Anugerah Karya Cipta Putera Bangsa Bank Bumiputera tahun 2001. Presiden Joko Widodo atas nama negara memberikan Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma kepadanya tahun 2015 lalu.
Iwan Tirta meninggal di Jakarta, 31 Juli 2010 pada usia 75 tahun.
ADA LAGI artis kondang yang lahir dari Blora yakni Indra Utami Tamsir (IUT). Dia pejuang seni musik dan pelestari budaya Jawa dan masih aktif hingga kini. Beliau dikenal sebagai artis musik keroncong, penerus Waldjinah, penerima AMI Award 2013 lalu. Demi musik keroncong, IUT berjuang habis habisan.
Berkarir di dunia artis, tapi juga giat di dunia usaha, jadi pebisnis sukses, saat dunia musik diterjuninya, industri seni yang satu sedang masuk era pembajakan dan kegiatan rekaman sudah surut, penjualan kaset dan CD merosot, terlebih lagi irama keroncong - sehingga IUT harus membiayai sendiri album albumnya. Bahkan juga konsernya di berbagai kota. Demi pelestarian musik keroncong.
Secara pribadi saya kenal dengannya, dan sering ke rumahnya, di Jagakarsa, Jakarta Selatan, karena beliau sering menyelanggarakan kegiatan seni dan pelestarian budaya Jawa. Selain piawai menyanyi keroncong, IUT juga seorang waranggono (pesinden) yang handal. Suara nyinden artis kelahiran Blora 16 Juli 1974 ini sering lebih indah dibanding keroncong. Bikin "nglangut".
Saya kenal putri sulungnya juga, yang cantik jelita, Tara Adia Prawidaninggar, musisi, 24, yang menguasai banyak alat musik, vokalis, pencipta lagu, dan juga terjun ke film - meneruskan jejak Mamanya di dunia seni. Seperti Mamanya, Tara juga total di dunia seni, khususnya musik dan akting.
Tahun lalu Tara jadi pemeran utama film “Sara & Fei: Stadhuis Schandaal” (Sutradra Adisoerya Abdi) dan “Promoter in Paradise” (Dir. Joseph J.U. Taylor) dengan dialog bahasa Inggris untuk penonton internasional. Namanya langsung masuk imdb.com.
Pokoke hebat hebat para priyayi Blora itu! ***

























Bottom of Form


Komentar

Postingan populer dari blog ini

HAJI BULGANON HASBULLAH AMIR ORANG KAYA RAYA YANG DERMAWAN..

Pengalaman Abang Bulganon Amir Mursyid Spriritual Tangguh Yang Dapat Bisikan Masuk Neraka

Dunia Supramistika Tia Aweni D.Paramitha