Model Pilpres Amerika Serikat 2016, Indoensia Pilpres 2019


TENTANG “FIREHOSE OF FALSEHOOD” ATAU “FIREHOSING” – Melalui saluran WhatsApp, seorang teman, meminta saya menulis tentang “Firehose of falsehood” atau “firehosing” yang sedang “in”. Sebagai jurutulis pinggiran, saya mencoba memenuhi permintaannya. Kebetulan teman yang minta memang cantik. Saya selalu luluh kalau diminta sama si dia yang berwajah cantik.
“Firehose of falsehood” atau “firehosing” arti terjemahan bebasnya adalah “selang pemadam kebakaran untuk kekeliruan”. Suatu kebakaran sengaja dibuat, dan sesudahnya pura pura ada yang memadamkan, tapi sebenarnya tidak. Duet capres Prabowo & Sandiaga Uno – mengadopsi metode ini - yang sebelumnya digunakan oleh konsultan politik Donald Trump, saat bertarung untuk masuk Gedung Putih di negeri Paman Sam.
“Firehose of falsehood” atau “firehosing”, adalah menyebarkan informasi dan pernyataan bohong - atau membingungkan – berulang ulang, dengan tekanan pada kuantitas (jumlah) bukan kualitas (kebenaran) fakta dan argumen yang disebarkan. Pernyataan bohong itu dengan cepat disebar oleh tim pendukung ke komunitas awam, yang mudah menelan apa saja yang lewat di layar HP / gadgetnya.
Kampanye model “Firehosing” juga terus menerus menyebarkan kebohongan yang kentara (“obvious lies”) yang memang dirancang untuk membangun ketakutan. Contoh; “Indonesia bubar”, “Indonesia jatuh ke tangan asing”, “Indonesia kebanjiran jutaan tenaga asing”, “utang luar negeri tak terbayar” dst.
Sebagaimana diketahui, dalam kampanye yang mengantarnya ke Gedung Putih, Donald Trump menggunakan jurus ‘Big Lie’ (bohong besar), berbohong begitu terang-terangan. Sejumlah koran ternama Amerika mencatat, Donald Trump berbohong rata rata lima kali dalam sehari.
Di belakang pernyataan kebohongannya itu, satu perusahaan Rusia mendukung dengan sebagian besar tweet yang dirilis. Dukungan lainnya diduga dari Iran.
Twitter mengumumkan bahwa semua tweet yang dirilis berasal dari “3.841 akun yang berafiliasi dengan IRA (Internet Research Agency), yang berasal dari Rusia, dan 770 akun lainnya, yang berpotensi berasal dari Iran." Tumpukan Twitter mencakup 10 juta tweets sejak 2009 - 9 juta dari mereka dari IRA, sisanya terutama dari rekening Iran yang dicurigai.
IRA adalah pabrik troll Rusia yang dikenal dan bertanggung jawab atas sebagian besar banjir konten troll (para pemancing) yang disebarkan di media sosial dalam beberapa tahun terakhir - serta sejumlah besar kampanye langsung dalam pemilihan AS 2016. Kampanye yang dilakukan oleh IRA cenderung berisi propaganda anti-Hillary Clinton (saingannya), serta proses infiltrasi dan polarisasi lebih lanjut komunitas internet yang sudah terpolarisasi di media sosial.
Donald Trump berhasil memenangkan Pilpres di AS berkat dukungan dan “tsunami informasi” dari komentator anonim yang dikirim oleh perusahaan “peternakan informasi” yang berbasis di Russia itu. Setelah menang, Trump lebih dikenal sebagai presiden dengan bohong besarnya alias “Big Lie”.
Pada puncak pemilihan tahun 2016 itulah, para peneliti di RAND Corporation merilis sebuah laporan yang
mendokumentasikan model propaganda yang tidak biasa dijuluki "firehose of falsehood." Dalam laporan tersebut ditemukan bahwa “kebohongan tidak harus dapat dipercaya” - bahkan kepalsuan yang jelas, yang diulangi secara luas dan cukup sering, bisa efektif dalam membelokkan opini publik demi kepentingan propagandis.
Teknik "kebohongan besar" (Big Lie) - yang semakin besar, semakin banyak yang mempercayainya – sebenarnya bukan baru. Adolf Hitler menuliskannya dalam bukunya yang mashur "Mein Kampf." Dalam wawasan yang satu ini, Hitler tahu apa yang ia bicarakan. Klaimnya telah dikonfirmasikan para psikolog yang telah mempelajari mengapa orang percaya apa yang mereka lakukan, bahkan dalam menghadapi banyak bukti yang bertentangan.
Hitler mengetahuinya lebih dari 90 tahun yang lalu. Dia menulis, “Semua ini terinspirasi oleh prinsip - yang memang benar dalam dirinya sendiri - bahwa dalam kebohongan besar selalu ada kekuatan kredibilitas tertentu, ” katanya. Massa yang luas di suatu negara lebih mudah dirusak secara emosional karena secara sadar atau sukarela menyederhanakan pikiran primitif pikiran mereka, sehingga mereka lebih siap menjadi korban kebohongan besar daripada kebohongan kecil. Mereka sendiri sering melakukan kebohongan kecil dalam masalah-masalah kecil - tetapi akan malu untuk menggunakan kepalsuan skala besar.
“Tidak akan pernah terlintas dalam benak mereka untuk mengarang kebohongan yang sangat besar, dan mereka tidak akan percaya bahwa orang lain bisa memiliki kelalaian untuk mendistorsi kebenaran sedemikian kejamnya. Meskipun fakta-fakta yang membuktikan hal ini dapat dibawa dengan jelas ke pikiran mereka, mereka masih ragu dan goyah dan akan terus berpikir bahwa mungkin ada beberapa penjelasan lain”.
POLA itulah yang dipakai pasangan capres Prabowo Sandi. Dari aksi aksi sandiwara, kebohongan Ratna Sarumpaet, mobil Neno Warisman yang terbakar, pernyataan pernyataan ngawur Prabowo Sandi, merupakan jejak dari praktik kampanye “Firehose of the Falsehood” alias “Firehosing”.
Di warung makanan langganan, pekan lalu, saya diperlihatkan video oleh seseorang perempuan setengah baya yang disebut ‘bu haji’ menampilkan demo buruh di Morowali yang menuntut kenaikan upah, tapi dia memanipulasinya sebagai “demo anti TKA Cina”, karena “mereka digaji 25 - 50 juta sebulan”, dan membunuh tenaga lokal. “Gimana nih Pak, negara lama lama bisa rusak kalau begini, “ dengan mimik prihatin. Saya tersenyum, dan menyatakan dia dibohongi, sembari menunjukkan link berita yang benar. Dia nampak malu dan kecewa.
Publik dibohongi terang terangan, dengan menampilkan sedikit fakta - hingga kaum awam dan emak emak percaya, dan kemudian mereka terlambat ketika menyadarinya. Sebab yang penting rebut kekuasan lebih dulu, soal meluruskan kebohohongan, ya, bagaiman nanti saja. Contohnya yang terjadi di DKI Jakarta sekarang.
METODE kampanye model “Firehosing” memiliki empat fitur: (1) Volume tinggi dan multichannel, (2) Cepat, terus menerus, dan berulang (3) Tidak memiliki komitmen untuk realitas objektif (4) Tidak memiliki komitmen untuk konsistensi. Alias ngawur.
Contoh : “10 juta TKA Cina membanjiri Indonesia”, “Indonesia negara miskin sama seperti Rwanda dan Haiti di Afrika”, “99 persen rakyat hidup sangat pas pasan”, “Menteri Pencetak Utang”, “Satu selang cuci darah di RSCM digunakan untuk 40 orang”, “Garuda bangkrut”, “Cadangan beras nasional hanya cukup 3 minggu”, “Tempe kini setipis ATM”, “Uang seratus ribu hanya cukup untuk beli bawang dan cabe”, “Harga nasi ayam di Jakarta lebih mahal ketimbang di Singapura”, dan seterusnya.
Dalam kampanye yang memukau warga bule Amerika, Donald Trump juga menyebarkan ketakutan dan kebencian pada kaum imigran, warga Islam di AS, dan janji kebangkitan Amerika kembali – “Make America Great Again”. Dan dia berhasil.
STUDI menunjukkan bahwa orang akan lebih cenderung mempercayai fakta, cerita atau argumen berdasarkan volume tinggi: semakin sering mereka mendengarnya, semakin percaya dan meyakini sebagai kebenaran - begitulah cara kerja media iklan.
Selain itu, ‘multichannel’: semakin banyak sumber (berbagai saluran media – kini media sosial di internet) yang mereka dengar, semakin mengenai sasaran. Dan yang penting ‘cepat’: Jika itu adalah hal pertama yang mereka dengar (semuanya akan diadili olehnya). Ketika konfirmasi memerlukan cek data dan konfirmasi dari pihak kompeten, informasi palsu sudah terlanjur menyebar .
Andalkan ‘Emosi’: membuat mereka merasakan emosi yang kuat (marah, takut, kasihan, dll). Hampir semua informasi yang disebarkan Prabowo - Sandi, bernuansa agitasi, memanaskan suasana, membangkitkan kemarahan.
“Firehose of falsehood” atau “Firehosing” berfungsi paling baik ketika audiens Anda kelebihan informasi, seperti di era internet saat ini.
Jadi - tidak perlu untuk menjadi benar, untuk memiliki "komitmen terhadap realitas objektif". Yang penting adalah menyampaikan pesan Anda terlebih dahulu dengan sebanyak mungkin cara, dari sebanyak mungkin sumber, dengan orang-orang yang tampaknya seperti audiens target Anda - bahkan jika Anda harus mengarang atau berbohong.
Atau terutama jika Anda harus mengarang atau berbohong.
Kuantitas lebih penting daripada kualitas, karena “pengulangan lebih dari kebenaran”. Atau seperti yang dikatakan oleh penelitian RAND : "Jangan berharap untuk melawan api kepalsuan dengan pistol kebenaran."
Para peneliti di RAND Coporation lalu merekomendasikan “jas hujan”.
Kuantitas sangat penting sehingga “lima argumen buruk seringkali mengalahkan satu argumen yang bagus” - terutama jika lima argumen tersebut berasal dari lima sumber yang berbeda. Bahkan mereka yang mencari tahu argumen mana yang buruk pada waktunya akan melupakan argumen mana, jadi kelima argumen buruk itu masih bisa menang pada akhirnya (kecuali itu adalah topik yang sangat mereka pedulikan).
Kesimpulannya, “menjadi yang pertama” jauh lebih penting daripada “menjadi benar”.
Ketika jurnalis yang kredibel dan profesional masih memeriksa fakta-fakta mereka, kebohongan kebohongan Russia sudah mulai mengalir. “Dibutuhkan lebih sedikit waktu untuk mengarang fakta daripada untuk memverifikasi mereka," demikian menurut RAND:
Kita sama sama tahu teknik propaganda ala Rusia yang dikenal sebagai “firehose of the falsehood” tidak berhenti dengan terbongkarnya kasus Ratna Sarumpaet. Mereka terus melakukannya dengan cara lain dengan korban lain - tanpa rasa malu, tanpa rasa bersalah.
Propaganda jenis ini juga disertai dengan teknik “playing victim” untuk menimbulkan kesan pada publik bahwa pelaku pembohongan adalah korban yang teraniaya oleh satu pihak yang diasosiasikan dengan kelompok penguasa.
Agar efektif, kebohongan-kebohongan memang dilakukan secara berulang ulang (repetitive) dan terus menerus.
Propaganda seperti ini sangat kental dengan Orde Baru dan PKI pada zamannya. PKI terus digembar emborkan tengah bangkit lagi, jadi hantu selama puluhan tahun. Padahal sudah bangkrut di selutuh dunia.
Anda yakin Rizal Ramli Drajat Wibowo dan Kwik Kian Gie lebih hebat dari DR. Sri Mulyani? Menteri Keuangan kita itu sudah diuji dan digodok oleh lembaga Internasional (IMF), mengelola uang ribuan triliun - sedangkan nama nama pengritiknya belum.
DAMPAK yang paling mengerikan dari “Firehose of falsehood” atau “Firehosing” adalah orang akan menilai kebenaran sesuatu lebih dari seberapa sering mereka mendengarnya, bukan dari mana mereka mendengarnya - atau apakah itu terbukti benar atau salah.
Maka, tampaknya kita akan menyaksikan model Pilpres Amerika Serikat 2016 di Indonesia pada Pilpres Indonesia 2019 ini.
Semoga si mbak cantik yang kirim WA membaca risalah ini. ***



Komentar

Postingan populer dari blog ini

HAJI BULGANON HASBULLAH AMIR ORANG KAYA RAYA YANG DERMAWAN..

Pengalaman Abang Bulganon Amir Mursyid Spriritual Tangguh Yang Dapat Bisikan Masuk Neraka

Dunia Supramistika Tia Aweni D.Paramitha