CERITA NARKOTIKA SI ELITE










Top of Form
 · 
CERITA BUSUK SEORANG BANDIT
Oleh: Dimas Supriyanto
Mendung menggayut di langit tanah negeri, ketika hukum dijadikan permainan para elite. Kita jangan kaget lagi. Kita harus membayar ongkos ini atas apa yang terjadi, karena kita begitu percaya, bahwa penegak hukum kita yang bisa menangkap saja dan menahan siapa saja, tanpa pandang buru, memproses mereka sampai pengadilan.
Tapi ternyata tidak kali ini.
Kita punya presiden yang bekerja keras, menteri menteri yang piawai, giat membangun di seantero pelosok tanah air, punya TNI yang berperalatan lengkap dan siap mempertahankan kedaulatan negara. Punya Densus 88 yang menghabisi teroris mana pun di pelosok negeri ini.
Tapi harus diakui, sebagian dari penegak hukum lainnya ada yang telah terkontaminasi limbah beracun. Hukum dijadikan dagangan dan alat tawar menawar, dengan cara begitu telanjang. bebas atau ditahan dibui atau direhabiliasi, dinyatakan salah dan benar semua ada pasalnya, ada argumennya, karena mereka sangat menguasainya, dan kita hanya bisa menerima.
Ternyata AA lebih sakti dari yang kita duga. Kita mengira dia sekelas ADP yang akan teronggok di sel LP Madaeng dan dikentuti para temannya sesama tahanan dan meratapi nasibnya. Atau RS yang kini tak berdaya di ruang tahanan Polda Metro Jaya dan pasrah akan hukuman yang diterima. Sedangkan AA begitu sakti, sangat sakti, bahkan dengan bukti positif pemakaiannya, dia bisa bebas.
Pastilah ada deal / kesepakatan tertentu yang kita tidak tahu. Mari kita sama sama menitip pertanyaan pada politisi yang sungguh sungguh ingin membangun negeri ini, dan bersih narkoba. Kepada aparat yang masih masih ingin melahirkan generasi yang bersih dari pecandu yang menghancurkan negara ini dan sudah pasti akan jadi negara gagal bila kondisi ini terus berlangsung.
MARI KITA MENGHIBUR DIRI.
Membebaskan seorang politisi yang memakai narkoba bukanlah apa apa. Hitungannya gram dan dia hanya merusak diri sendiri. Mari kita kenangkan kegilaan yang terjadi belum lama ini. Sekedar untuk memalingkan wajah dari kepahitan yang kita rasakan hari ini.
Mari kita kenangkan Freddy Budiman, gembong narkoba, satu dari empat terpidana mati yang dihukum tembak di Nusakambangan pada Jumat dinihari, 29 Juli 2016 lalu.
Sebelum menjalani hukuman itu, Freddy pernah berkisah tentang petualangan kelam sebagai bandit narkoba kepada Haris Azhar, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Haris mengaku bertemu Freddy pada 2014. Dan mengunggah perbincangan mereka ke Facebook Kontras dengan judul “Cerita Busuk dari Seorang Bandit”, jelang pelaksanaan eksekusi mati terhadap Freddy, pada 29 Juli 2016 lalu.
"Cerita yang disusun ini adalah fakta peristiwa. Bertujuan untuk membuktikan bahwa pelaksanaan hukuman mati yang didukung dengan keterlibatan instansi-instansi negara dalam bisnis obat-obat terlarang adalah sesuatu yang benar, namun tidak pernah terusut," tulis Haris mengawali tulisan di laman Facebook Kontras.
Freddy mengaku selama menjalankan bisnisnya, dia mendapat dukungan dari pihak penegak hukum Indonesia. Sebab, dia mengaku sebagai anak buah jaringan narkotika internasional.
“Pak Haris, saya bukan orang yang takut mati, saya siap dihukum mati karena kejahatan saya, saya tahu, resiko kejahata yang saya lakukan. Tetapi saya juga kecewa dengan para pejabat dan penegak hukumnya,” katanya.
“Saya bukan bandar, saya adalah operator penyeludupan narkoba skala besar, saya memiliki bos yang tidak ada di Indonesia. Dia (Boss saya) ada di Cina. Kalau saya ingin menyeludupkan narkoba, saya tentunya acarain (atur) itu, saya telepon polisi, BNN, Bea Cukai dan orang-orang yang saya telpon itu semuanya nitip (menitip harga)”.
Freddy mengaku bisa mengatur agar barang terlarang itu bisa masuk tanpa hambatan. "Saya telepon polisi, BNN, dan Bea Cukai, dan orang‑orang yang saya telepon itu semuanya nitip (menitip harga)," kata Freddy seperti yang ditulis Haris.
Freddy menyatakan, harga pabrik pil ekstasi yang dijualnya adalah Rp 5.000 per butir. Setelah barang sampai di Jakarta, Freddy menjualnya seharga Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu.
"Makanya saya tidak pernah takut jika ada yang nitip harga ke saya. Ketika ada yang nitip Rp 10.000 per butir, ada yang nitip 30.000 per butir, saya tidak pernah bilang tidak. Selalu saya okekan. Kenapa Pak Haris?"
Lalu Freddy menjawab sendiri pertanyaan itu. "Karena saya bisa dapat (untung) per butir Rp 200.000. Jadi kalau hanya membagi rejeki 10.000‑30.000 ke masing‑masing pihak di dalam institusi tertentu, itu tidak ada masalah. Saya hanya butuh 10 miliar, barang saya datang. Dari keuntungan penjualan, saya bisa bagi‑bagi puluhan miliar ke sejumlah pejabat di institusi tertentu."
Freddy juga menyatakan, ketika polisi menangkap dirinya, polisi juga menyita narkoba untuk dijadikan barang bukti.
Namun, Freddy mendapat informasi bahwa barang bukti itu justru dijual.
"Saya tahu pak, setiap pabrik narkoba, punya ciri masing‑masing, mulai bentuk, warna, rasa. Jadi kalau barang saya dijual, saya tahu dan itu ditemukan oleh jaringan saya di lapangan," kata Freddy kepada Haris.
Freddy juga menyatakan menyuap aparat Badan Narkotika Nasional (BNN).
"Dalam hitungan saya, selama beberapa tahun menyelundupkan narkoba, saya sudah memberi uang 450 miliar ke BNN. Saya sudah kasih 90 miliar ke pejabat tertentu di Mabes Polri," katanya.
Tak sampai di situ, ia juga pernah "dikawal" jenderal saat membawa narkoba.
"Saya menggunakan fasilitas mobil TNI bintang dua, di mana si jenderal duduk di samping saya ketika saya menyetir mobil tersebut dari Medan sampai Jakarta dengan kondisi di bagian belakang penuh narkoba. Perjalanan saya aman tanpa gangguan apapun."
Dalam tulisan itu, Haris juga menceritakan pengalamannya bertemu Kepala LP Nusakambangan, Liberty Sitinjak, yang saat ini bertugas di Kanwil Kumham NTT.
Kepada Haris, Sitinjak menyatakan telah memasang CCTV di ruang tahanan Freddy.
Namun, pejabat BNN yang sering berkunjung ke Nusakambangan justru meminta Sitinjak mencopot CCTV itu.
"Saya menganggap ini aneh, hingga muncul pertanyaan, kenapa pihak BNN berkeberatan adanya kamera yang mengawasi Freddy Budiman? Bukankah status Freddy Budiman sebagai penjahat kelas 'kakap' justru harus diawasi secara ketat? Pertanyaan saya ini terjawab oleh cerita dan kesaksian Freddy Budiman sendiri," tulis Haris.
Haris mengaku telah menanyakan Freddy mengapa tak membuka cerita tersebut sejak awal.
"Saya sudah cerita ke lawyer saya, kalau saya mau bongkar, ke siapa? Makanya saya penting ketemu Pak Haris, biar Pak Haris bisa menceritakan ke publik luas. Saya siap dihukum mati, tapi saya prihatin dengan kondisi penegak hukum saat ini. Coba Pak Haris baca saja di pledoi saya di pengadilan," kata Freddy.
Haris mengaku sudah mencari pledoi Freddy Budiman tetapi tidak ada di website Mahkamah Agung (MA).
"Kontras juga mencoba mencari kontak pengacara Freddy, tetapi menariknya, dengan begitu kayanya informasi di internet, tidak ada satu pun informasi yang mencantumkan di mana dan siapa pengacara Freddy," tulis Haris.
Pengakuan Freddy yang ditulis Haris sontak membuat heboh jejaring sosial. tak kurang dari Kapolri dan Menko Polkam bereaksi karenanya. Namun sudah tiga tahun berlalu dan tak ada tanda follow up dari hasil lapoan itu.
MAKA, apa yang dilakukan AA tak ada apa apanya dianding dengan yang sudah dialami oleh Freddy Budiman.
Meski dia ternyata lebIh dimuliakan dan sakti dibanding misalnya ADP atau RS.
Kita hanya bisa ingat apa yang pernah disampaikan pakar hukum Prof DR. Mahfud MD di ILC beberapa waktu lalu : "Negara hancur karena ketidak-adilan. Hanya menunggu waktu negara hancur bila tidak diperintah adil"
"Yang penting negara ini adil kalau mau (bertahan selamanya)".***


Komentar

Postingan populer dari blog ini

HAJI BULGANON HASBULLAH AMIR ORANG KAYA RAYA YANG DERMAWAN..

Dunia Supramistika Tia Aweni D.Paramitha

Pengalaman Abang Bulganon Amir Mursyid Spriritual Tangguh Yang Dapat Bisikan Masuk Neraka