SAYA TIDAK JATUH CINTA PADA SYAHRINI
SAYA TIDAK JATUH CINTA PADA
SYAHRINI
Dimas Supriyanto dan Pupung T.Pribadi
Pada dasarnya saya laki laki yang mudah jatuh
cinta pada wanita cantik - dan juga pada artis artis Indonesia. Tapi tidak
kepada Syahrini. Saya tidak pernah jatuh cinta pada Syahrini. Dulu tidak -
kemarin tidak - sekarang pun tidak.
Itu
sebabnya saya tidak merasa patah hati, saat Syahrini menikah dengan Reino
Barack – apalagi ikut merasakan hari “patah hati nasional” – seperti ketika
Raisa Andriana dipersunting Hamish Daud, beberapa waktu lalu.
Bahwa
saya sering menyebutkan namanya, nama Syahrini - untuk isteri saya di rumah,
sebagai bahan untuk memujinya – semata mata asal sebut nama saja. Sebab dia
seleb ngetop dan fenomenal. Sering nongol di infotainment dan bikin heboh.
Isteri saya mengenalnya.
“Iya,
Sayangkuuu, iya Syahrini-ku...” teriak saya di telepon, jika isteri sedang
merepet panjang. Mengomel. Nagih ini dan itu. Kesal lantaran saya begini dan
begitu.
Dengan
menyebut “Syahrini-ku” dia langsung diam, senang, karena disamakan dengan
seleb. Seperti spontan ketularan ‘kece badai’, ‘cetar membahana’ – meski belum
mandi dan nyaman dengan daster antiknya.
Saya
mengikuti perkembangan karir dan berita tentangnya. Ya. Tentu saja. Itu bagian
dari tugas saya sebagai redaktur dan penjaga halaman hiburan yang terbit
harian. Dalam rapat sore, rapat ‘budgeting berita’ untuk penerbitan keesokan
harinya, Pemred dan Redaktur Pelaksana sering menyebut namanya, lantaran sering
saya mengabaikan dan pura pura gak dengar.
“Mas
Dimas jangan lupa Syahrini-nya, “ kata mereka mengingatkan. Saya mengangguk
saja. “Pasang di atas ya...fotonya yang gede, “ pesannya, lebih jelas. Saya
nurut. “Dia laku, banyak yang beli koran karena berita dia, “ jelas mereka.
Saya percaya saja.
Sangat
berbeda dengan Dian Sastro – atau dulu Desy Ratnasari, sesama artis asal
Sukabumi – dan Raisa Andriana - yang hanya dengan menyebutkan namanya saja
getarannya ke dada ini, sampai ke dalem dalem. Duh!
“Terus
kenapa? Emangnya elu siapaaa...?” begitulah nampaknya, protes yang akan saya
terima, seandainya fans berat ‘Inces’ Syahrini membaca tulisan ini. Ya, iya
juga. Saya ini apalah. Mudah mudahan tidak ada fans Syahrini di majelis ini -
yang membaca postingan ini.
Ada
hal yang membuat saya “ill-feel” pada Syahrini - yang juga dikeluhkan beberapa
teman laki laki dan perempuan juga. Yaitu gaya bicara dan penampilannya yang
lebay. Cantik manja, serba lebay. Malah bikin “itu” saya susah bangun. Apalagi
berdiri. Meski Oom oom lain jadi mabuk kepayang karenanya.
Tapi
saya tidak.
SYAHRINI
selalu mengingatkan saya pada gadis model era 1990-an orbitan saya, yang cantiknya
menyamai bahkan melebihi Syahrini masa itu. Serius. (Ngomong ngomong sudah
lihat foto aslinya Syahrini semasa masih sekolah menengah? Yang matanya ngantuk
itu? pen.)
Setelah
saya kenal, saya foto dan menjadi sampul majalah, model orbitan saya itu saya kirim
ke majalah lain - majalah bulanan bergengsi - dan dia pun langsung jadi
sampulnya di sana. Saya kenalkan juga ke produser film dan sinetron, langsung
main dan dapat peran juga. Namanya pun melesat. Dan sejak itu, dia semakin
lengket dengan saya.
Sebagaimana
Syahrini, dia cantik jelita, bening kulitnya dan terawat. Naik mobil mewah –
meski tak sampai pamer pose di jet pribadi. Barang barang ‘branded’ melekat di
sekujur tubuhnya. Sampai sekarang pun masih tampil di majalah majalah para
sosialita seperti ‘Indonesia Tatler’, ‘High End’ dan sekelasnya.
Tapi
dia juga tak bisa bikin ‘itu’ saya bangun. Berdekatan dengannya tidak
membangkitkan gairah kelelakian saya. Lantaran gayanya yang serba lebay.
Saya
menyayanginya sebagai ‘talent’ yang saya orbitkan, dan memastikan karir
artisnya lancar. Karena dia potensial.
Pada
awal kenal, dia memang malu malu. Dan sempat membikin saya hampir jatuh hati.
Tapi setelah terorbit dan jadi artis, semakin lengket, dia keluar aslinya.
Selalu merepet. Ceriwis abis. Serba manja.
“Aku
difoto gini deh, Mas, “ katanya sembari pasang pose, saat masih didandani di
studio, ketika saya jadikan cover kedua kalinya. “Kalau gini gimana, Mas? “ dia
pasang pose lagi, di depan lampu, sebelum saya sempat berkomentar. “Ini mau
diambil ‘medium’ atau ‘close up’, Mas? Kalau diambil ‘full’ bilang, ya..? ”
katanya merepet lagi.
Ya,
Tuhan. Rambutnya masih diroll ! Dan pose-pose yang ditawarkannya mirip sampul
kaset penyanyi dangdut.
Lalu
kepadanya, saya tunjukkan cover majalah luar negeri. “Oh bagusnyaaa..” pujinya.
“Dimulai dari sini ya, nanti berkembang. Kita akan eksplor dari sini, “ kata
saya, mengarahkan, setelah ngobrol dengan pengarah gaya.
“Iya
deh. Aku mau. Tapi ada ‘close up’-nya juga ‘kan?” dia masih menawar.
“Mas
wajahku ini bagus diambil dari kiri apa kanan ?” tanyanya lagi. Sementara saya
sedang memegang ‘light meter’, dan cek lampu di sekelilingnya, kuping rasanya
mulai panas. “Aku nggak keberatan foto sexy, yang penting artistik. Ada art.
Nggak vulgar..” dia terus merepet.
SAYA
PUN MENGENAL dia sampai dalem dalemnya. Setiap ketemu atau berpisah
menyorongkan dua pipinya – kadang kadang dia sengaja menyambar ke bibir –
sampai liptiknya terasa. Kalau jalan bareng dia ngelendot. Dia curhat untuk
semua urusan. Dari manager, mamanya, adik adiknya, sampai asisten dan sopirnya.
Bahkan juga anjing dan kucing piaraannya.
Sekali
waktu di studio, saat berdua saja, sembari membuka kancing bajunya dia
berbisik, “Mas jawab terus terang, aku perlu operasi nggak ?” katanya sambil
memamerkan ‘perangkat’nya.
“Operasi
apa?” tanya saya bloon.
“Digedein,
disuntik, dikasi silikon. Kan cowok suka yang gede-gede, “ tanyanya.
Saya
menggelengkan kepala. “Itu udah bagus, “ jawab saya pendek. Menurut saya bentuk
dan ukurannya sudah sempurna. Kecuali bibirnya itu - yang terus merepet tak
henti henti.
“Tapi
lembek juga, Mas. Pegang deh. Aku gak pede, “ katanya sembari menyambar tangan
saya dan memaksa memegangnya. Saya jadi senewen.
“Kamu
nggak tahu bersyukur ya, sama Tuhan. Sudah dikasi sebagus ini masih kurang aja.
Nanti ada silikon di dalem, pecah baru tahu rasa..” saya mengomel.
Wajahnya
langsung memerah. “Sadis iih, kalau Mas Dimas marah...” dia berbisik kecut.
Segera
saya usap usap rambutnya, menyesal bersikap keras padanya.
“Udah,
percaya diri saja. Gini aja kamu langsung jadi cover dua majalah, “ kata saya
pelan. Dia langsung memeluk saya – tapi dia lupa menutup kancing bajunya.
Astaga.
Begitulah.
Jadi tahu ‘kan kenapa saya tak jatuh cinta sama Syahrini? Soalnya pernah
digelendoti yang secantik Syahrini - dengan gayanya yang lebaay. Dan tak
membikin saya bangun. Tidak nyetrum.
Itulah.
Begitulah. ***
Komentar
Posting Komentar