Bukan Setan Gundul Tapi Lima Jin Tak Berkepala Datang Dari Laut Utara Jawa



LIMA JIN BERKEPALA BUNTUNG DARI LAUT UTARA JAWA
            Asap dupa mengepul di halaman rumah.  Jam menunjuk pukul 03.45 WIB, Jumat Pahing 10 Desember 2010, dinihari.
  Pagi itu akan datang lima jin dari laut  utara. “Mereka adalah jin yang membawa uang. Uang akan banyak kita dapatkan.Tapi jangan takut, bentuk lima jin itu semuanya bertubuh pendek tapi tidak berkepala. Buntung. Saya menamakan mereka jin Laut Utara tanpa kepala.  Ada tangan, ada tubuh, ada kaki dan ada leher, lengkap, hanya tidak berkepala saja.  Kepala mereka dopotong oleh Raja Maranggabala.  Tapi mereka hidup, bisa bernafas dan bisa melihat dan terbang dengan kecepatan tinggi. Siapa Raja Pemenggal Kepala bernama Maranggabala yang dimaksud? Dialah Raja Jin, makhluk gaib pertama yang  datang ke Tanah Jawa menempati Laut Utara sebelum masehi. Kurang lebih seratus tahun sebelum masehi, saat Tanah Jawa masih kosong dan hanya dihuni binatang buas dan unggas  unggas,” kata Yai  Ali  Al Banteni kepada saya.
            Saya beruntung diajak orang sakti ini ikut dalam acara ritual pagi itu. Acara prosesi supramistika menyambut fajar dan matahari pagi.  Suatu upacara gaib mengundang uang dan benda-benda berharga sejenis  emas, intan, mutiara dan berlian dari laut utara Pulau Jawa. Tidak semua murid Yai diajak. Aku berkesempatan ikut karena Yai mendapat petunjuk gaib bahwa di antara rutasan murid, hanya aku yang boleh ikut.
            Kesempatan yang langka itu aku manfaatkan dengan baik. Aku tidak mau menyia-nyiakan peluang emas ikut Yai yang linuwih, yang mampu secara kasat mata mendatangkan jin dan memanggil para makhluk halus laut yang membawa keberuntungan.
            Namun sayang, setelah lima jin buntung itu datang, ternyata mereka tidak membawa apapun. Tak membawa satu rupiah pun uang. Tidak juga membawa intan, mutiara dan berlian secuilpun. Yang mereka bawa di dalam karung  gandum putih lima buah, adalah kayu-kayu warna hitam mengkilat. Bentuknya seperti ranting-ranting kecil yang melekat pada  bebatuan karang ukuran diameter  tiga  senti.  Namun Yai Ali Al Banteni tertawa senang melihat benda-benda unik itu.  “Inilah jimat sakti dari laut utara. Terima kasih kalian telah datang dan berkenan membawakan kayu-kayu dan batu ini untuk kami,” kata Yai Ali Al Banteni kepada Romahurrahim, salah seorang jin buntung dari lima yang ada. Dia adalah jin paling senior dan tua. Umurnya ribuan tahun karena dia datang ke tanah Jawa delapan puluh tahun sebelum masehi yang  lalu.
            Setelah duduk  bersimpuh di depan Yai Ali Al Banteni,  lima makhluk astral itu terbang lagi ke udara lalu melayang ke arah laut utara. “Mereka bermukim di  Pulau Soang di gugusan kepulauan seribu. Pulau Soang ini adalah nama lain dari pulau pemberian para nelayan, yaitu  Pulau Rambut. Kenapa dinamakan nelayan Pulau Rambut? Karena dulu ditemukan  rambut-rambut manusia di pulau itu. Setelah dipegang, ternyata bukan rambut orang, tetapi rambut gaib dari rumput kecil berwarna pirang, mirip rambut-rambut bangsa Eropa Barat yang banyak membawa kapal sandar di dekat situ. Kini tetumbuhan itu sudah punah dan tak mau tumbuh lagi setelah perubahan iklim yang  ekstrim di Teluk Jakarta.
            Terlepas dari hanya kayu yang mereka bawa, namun saya bahagia sekali dapat membuktikan kemampuan dan keampuhan mantra-mantra pemanggil  jin yang dimiliki Yai Ali Al Banteni. Batinku berbisik, bahwa aku akan belajar total ilmu sakti mandraguna Yai Ali Al Banteni. Aku akan gali semua sumber ilmu  karuhun yang dimilikinya. Bodoh jika aku tidak memanfaatkan kesempatan emas ini. Mantra yang dimiliki Yai, akuy dengar dari Umi Kalsum, istrinya, ada 1200 mantra. Mantra Jawa, Mantra Sumatera, Mantra Dayak, Mantra Bugis, Mantra Sunda Wiwitan, Mantra Tapanulia, Mantra Maluku, Mantra Asmat, Papua sudah dipelajarinya. Dia bertualang dan langlang buana saat masih bujangan ke daerah nusantara untuk mengumpulkan semua mantra sakti se-nusantara. Bahkan mantra Laos, Kamboja dan Vietnam pun, dia pelajari.
            “Yai mu itu seorang pemburu Ilmu Mistik tulen tak ada duanya di dunia ini,” puji Umi Kalsum tentang suaminya, kepadaku. Aku diminta Umi mendekati Yai dengan wacana untuk membukukan mantra mantra yang dikuasainya. “Katakan kepada Yai bahwa kamu akan mengumpulkan semua mantra yang tercecer dan ditulis ulang sebagai perpustakaan pribadi. Bukan untuk diserbarkan ke publik, kepada umum. Mantra-mantra  itu dirapihkan lalu tertulis  di sebuah catatan khusus dan disimpan yang baik. Agar tidak terputus kepada generasi selanjutnya. Kami kan tidak punya anak, hanya ada anak-anak angkat seperti para murid semua. Tentang siapa yang akan meneruskan ilmu Yai, belum kelihatan sampai sekarang. Cuma Umi melihat hanya kamulah yang berbakat dan tekun serta serius belajar pada Yai hal mantra nusantara itu. Kamulah yang paling pantas Umi lihat untuk dapat  meneruskan dan membukukan mantra mantra Yai yang berserakan,” desis Umi Kalsum, kepadaku.
            Pikirku gagasan Umi Kalsum ini sejalan sekali kepada rencanaku untuk mempelajari ribuan mantra sakti nusantara yang dimilik Yai Ali Al Banteni. Harus sesegera mungkin aku bertindak dan melakukan hal itu. Jangan sampai terlambat. Maksudnya aku kuatir juga jika Yai Ali Al banteni akan buru-buru mukswa ke Gunung Karang, Pandeglang.  Sebab Umi cerita bahwa kelak Yai akan mukswa, pindah ke alam astral di pegunungan yang berbatasan dengan kabupaten Lebak itu.
            Ibarat pepatah sambil menyelam minum air, demikianlah diriku bila direstui Yai untuk mengumpulkan semua mantra-mantra yang tercecer. Kesempatan ini adalah kesempatan emas yang harus segera aku ajukan  dan usulkan kepada Yai Ali Al Banteni. “Sekarang harus dibuat atau tidak sama sekali,” batinku.
            Seminggu kemudian, pada Malam Jumat Wage, 17 Desember 2010, aku membicarakan hal itu kepada Yai Ali Imron. Lalu Yai berbicara kepadaku. “Jujur saja, kau benar-benar mau mengumpulkan mantra-mantra yang Yai miliki atau untuk mempelajari dan berilmu kepada mantra itu?” tanya Yai Ali Imron, menyentakku.
            “Maaf Yai, kalau dua-duanya bagaimana. Pertama memungut semua naskah mantra milik Yai yang tercecer, kedua belajar kepada Yai akan mantra mantra itu,” imbuhku. “Nah ini, kalau dua-duanya tidak bisa. Sebab masing-masing mantra itu Yai dapatkan setelah Yai melakukan tapa-tapa. Semua ada tapanya. Ada yang tapa negbleng, tapa mutih, tapa patigeni, tapa ngere, tapa ngerame, tapa edan, tapa goa dan banyak tapa-tapa lain. Sebab semua mantra nusantara itu akan sakti bila didapatkan dengan keseriusan dan kesungguhan hati. Jika tidak serius dan sungguh-sungguh, maka mantra mantra itu hanya sebagai tulisan biasa, tidak akan berarti apa-apa. Contoh, mantra pemanggil lima jin tanpa kepala dari Laut Jawa, teluk Jakarta seminggu lalu. Itu mantra Sohibul Astral, mantra pemanggil jin yang sakti manraguna, yang ampuh mengundang lima jin itu. Jika memanggil Al Jabir dari Gunung Krakatau, Selat Sunda, mantranya lain lagi. Nah, semua mantra itu didapat dan diampuhkan dengan tapa-tapa. Yai sudah bertapa sebulan tidak minum tidak makan di Gunung Rakata, Selat  Sunda, untuk mendatangkan Raja Jin Al Jabir ke rumah. Kamu mau melakaunan tapa-tapa itu jika mau mujarab dengan mantra-mantra yang akan dibukukan?” tanya Yai, sambil tersenyum bijaksana kepadaku.
            Aku tetap memutuskan ke dua hal yang ditawarkan Yai. Yaitu mengumpulkan semua mantra nusantara yang dipunyainya dan sekaligus melakukan tapa-tapa sebagai syarat untuk menjadikan mantra itu sakti mandraguna linuwih.
            Pertama aku melakukan tapa sederhana yaitu mutih. Mutih itu hanya puasa kecil, minum air putih dan makan nasi putih saja. Selanjutnya tapa pati geni dan ngebleng. Namun yang paling berat aku jalani adalah tapa ngere. Aku menyamar menjadi kere, pengemis dengan pakaian lusuh, makan dari bak sampah dan memungut sisa-sia makanan warung Tegal. Setelah tiga bulan tapa ngere, aku merubah tapa lain lagi yang tapa edan. Aku pura pura menjadi gila, tidur di emperan toko, rambut awut awutan dan nyeker tanpa alas kaki, keliling kota. Pada saat operasi penangkapan pengemis dan orang gila, anehnya aku selamat dari  kamtib. Mereka semua tidak melihat aku. “Kaua sudah menjadi debu saat engkau mau ditangkap. Semua kamtib dan polisi tidak melihat kamu lagi. Badanmu seperti abu saat mereka mengejarmu. Mula-mula engkau kelihatan, namun empat menit kemudian tubuhmu mengecil menjadi pasir. Padahal perasaan kamu, kamu masih tetap besar. Hanya orang yang akan menangkap kamu saja yang tidak melihat,” kata Yai, kepadaku.
            Pada tahun 2015 aku sudah diberi ijazah oleh Yai. Aku dinobatkan sebagai paranormal pewaris tunggal ilmu Yai Ali Al Banteni. Semua jimat-jimat yang berjumlah ribuan, yang semuanya sakti mandraguna, diserahkan kepadaku. Semua mantra nusantara yang berjumlah ribuan, aku cattakan dalam sebuah buku besar dan kusimpan rapi dalam lemari besi di rumahku. “Kau pewaris tunggal mantra nusantara dan pewaris jimat sakti mumpuni dari alam astral Laut Jawa,” ungkap Yai Ali Al banteni, sambil menyiramkan kepalaku dengan air dari mata air sakral Makam Keramat Mbah Garinting, air suci dan sakti dari sumur gaib di wilayah Gunung Rakata. Mata air tawar di dasar laut. Posisi air tawar sakti itu adanya di tengah Selat Sunda, Banten.
            Pada tahun 2017 ini tepatnya Malam Jumat Pon bulan Maret lalu, Yai Ali Al Banteni pindah alam. Beliau ngamandito, menyepi di Gunung Karang, Pandeglang, Banten. Yai bukan lagi sebagai manusia biasa, namun sudah masuk ke alam jin. Alam setengah dunia setengah barzah di puncak Gunung Karang. Hanya dua orang yang dapat bertemu Yai Ali Al Banteni di atas gunung itu. Yaitu Umi kalsum dan aku.  Setiap bulan purnama ke 14, aku dan Umi Kalsum naik ke Gunung Karang dan bertemu Yai Ali Al Banteni.
            Setiap kali bertemu Yai, Yai Ali memberikan jimat-jimat dari alam astral. Jimat itu berbentuk keong buntet, bambu pethuk, tasbeh magrobi dan daun musang. Semua benda itu digunakan untuk menyembuhkan pen yakit berat, untuk kerejekian dan kekayaan. Juga untuk kesuksesan pejabat, menang pilkada dan jimat percintaan. Daun musang yang diberikan kepada aku dan Umi kalsum, dapat menjadi “kundu” sakti, ilmu pelet tulen yang langsung berhasil digunakan untuk pria memelet janda kaya. Juga digunakan janda tua untuk mendapatkan berondong atau pemuda tampan.
            Alhamdulillah, karena ketekunanku, keseriusanku, setelah tujuh tahun menjalani tapa tapa, maka Yai Ali Al Banteni menurunkan ilmu linuwih dan kesaktiannya kepadaku dengan bantuan Umi kalsum yang juga belakangn aku ketahui sakti mandraguna. Kepada Allah Azza Wajalla aku bergantung, berserah diri dan meminta pertolongan. Yai hanya perantara, seorang pilihan gaib untuk membantuku. Namun semua itu berkat kasih sayang Allah, cinta Allah yang menciptakan aku, menjadikan aku hidup dan juga suatu saat, mematikan aku. Aku selalu pasrah kepada-Nya dan makin dalam menyerahkan diriku kepada-Nya. ****
(Kisah petualangan mencari ilmu gaib Iqbal Maulana yang ditulis Yudhistira Manaf untuk Portal-Mystery.Blogspot.Com-Red)
           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HAJI BULGANON HASBULLAH AMIR ORANG KAYA RAYA YANG DERMAWAN..

Pengalaman Abang Bulganon Amir Mursyid Spriritual Tangguh Yang Dapat Bisikan Masuk Neraka

Dunia Supramistika Tia Aweni D.Paramitha