Jangan Hanya Ngomong: Wiranto Harus Tangkap Kutu Busuk Demokrasi..
JANGAN HANYA NGOMONG: WIRANTO
HARUS TANGKAP KUTU BUSUK DEMOKRASI
Oleh: Dimas
Supriyanto
Pernyataan Menko Polhukam Jendral TNI. Purn. Wiranto
menuai reaksi keras berbagai kalangan. Terutama tokoh tokoh oposisi dan juga
kalangan pers.
Senior senior yang saya hormati, tak terkecuali: Goenawan
Mohammad, H. Ilham Bintang dan Wina Armada SA memberikan tanggapan dengan sudut
pandang dan gaya masing masing.
Selaku junior, saya mengamini saja. Tabik - menjura. Apalah saya
ini - dibanding beliau beliau yang memiliki pandangan jauh ke depan. Sedangkan
saya hanya bisa memandangi wajah wajah artis film saja.
Tapi - sebagai warga negara dan juru tulis fesbuk pinggiran,
saya ingin memberikan catatan. Hanya sedikit catatan.
Menko Polhukam Wiranto mengatakan pemerintah akan membentuk Tim
Hukum Nasional untuk mengkaji tokoh yang melanggar hukum pascapemilu.
Tim hukum nasional ini terdiri atas beberapa pakar. Saat ini dia pun mengaku sudah memanggil dan melakukan komunikasi dengan tim tersebut.
Tim hukum nasional ini terdiri atas beberapa pakar. Saat ini dia pun mengaku sudah memanggil dan melakukan komunikasi dengan tim tersebut.
"Tim Hukum Nasional yang akan mengkaji ucapan, tindakan,
pemikiran dari tokoh-tokoh tertentu, siapa pun dia, yang nyata-nyata melanggar
dan melawan hukum," ujar Wiranto, sebagaimana dikutip dari media online,
Senin (6/5/2019).
Menurut saya, dalam hal ini Pak Wiranto memang ada salahnya.
Kesalahan Pak Wiranto adalah dia masih bicara bicara saja di
hari ini. Itu seperti menyiram bensin di tengah percikan api - menabuh gendang
di antara penari yang ingin joged.
Kaum oposisi dan penyebar hoaks senang karena kejengkelan mereka
ditanggapi. Frustrasi mereka terlampiaskan.
Yang harus dilakukan Pak Wiranto, menurut saya adalah langsung
bertindak. Action!
Tangkap tokoh tokoh provokator yang dimaksud dan kandangkan -
yang penting ada pasalnya. Nanti rakyat akan lihat nyali mereka.
Pemanggilan terhadap Bactriar Nasir merupakan awal. Amankan 250
juta rakyat di NKRI dari kutu busuk demokrasi.
Sudah terbukti oposan yang berulah, melewati batas - dan menabur
bibit keresahan - ketika dikandangkan langsung menciut; jantungan, tekanan
darah naik, semua penyakitnya kumat, fisik akan merosot dan meraung. Memerlukan
kehadiran dokter dan tenaga medis.
Dalam kasus aksi 212 pada awal Desember 2016 lalu - penangkapan
pada 11 tokoh oposisi di Subuh hari langsung mencegah upaya makar yang
membahayakan negeri.
Tokoh tokoh oposisi yang ada sejauh ini adalah para "artis
panggung" yang mendapat energi lebih bila ada massa yang bertepuk tangan
atas pernyataan dan aksi mereka. Bila mereka diciduk dan disisihkan dari massa
pendukungnya - dan masuk sel - mereka akan mengkerut seperti tikus masuk got.
Ratna Sarumpaet dan Ahmad Dhani adalah contohnya. Keduanya
langsung kuyu layu begitu digiring dan dijebloskan ke tahanan untuk kemudian
diadili.
Saya dengar, dia yang dijuluki Imam Besar dan kesrempet kasus
chatting seks itu juga trauma dengan ruang sel. Makanya pilih kabur ke luar
negeri dan koar koar dari pelarian.
Media media besar dan independen saya yakin tidak dalam bidikan
Pak Wiranto - sebagainana dikhawatirkan tokoh pers. Yang dimaksudkannya adalah
media sosial. Akun akun buzzer memang harus dibrangus.
Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko meluruskan pernyataan
Pak Wiranto terkait penutupan media yang membantu melanggar hukum adalah
ditujukan kepada akun media sosial abal-abal.
"Yang akan dimatikan itu kalau media yang abal-abal itu,
dan yang sungguh tidak bertanggung jawab," kata Moeldoko di Gedung Bina
Graha, Jakarta dikutip antaranews, Selasa (7/5/2019).
Menurut Pak Moeldoko, terdapat sejumlah akun media sosial yang
meresahkan masyarakat melalui sebaran isu.
Dia mengimbau masyarakat untuk tidak salah mengartikan
pernyataan Menko Polhukam tersebut
Bukan rahasia lagi - di kalangan bawah, para pemegang hape dan
media sosial - tak tahu mana berita benar dan hoaks, sumbernya media kredibel
atau abal abal. Mereka main 'share' tanpa mikir dua kali.
Negeri ini terlalu besar dan mudah dibakar dengan hoaks. Banyak
kasus negeri hancur karena hoaks.
Yaman dan Suriah contohnya. Dan para provokator yang
meluluh-lantakan dua negeri itu sudah lari ke sini..
Belajar dari Arab dan China. Pemerintah mereka tegas menangkap
siapa pun yang ingin merongrong negeri. Tak peduli ulama yang dihormati.
Apalagi yang cuma ulama jadi jadian..
KUBU OPOSISI telah lama dijadikan persembunyian dan bungker bagi
tokoh bermasalah. Menteri menteri yang dipecat menyeberang ke kubu oposisi.
Direktur perusahan Lapindo yang punya tanggungan utang Rp.700 miliar dan gagal
bayar - mendadak jadi ulama dan masuk kubu oposisi.
Jendral jendral pensiunan yang tak punya saluran politik
mendadak jadi patriot dan masuk oposisi.
Mereka beroposisi bukan dengan konsep - tapi karena sakit hati,
ngemplang utang, kesal karena dipecat dan nganggur setelah pensiun: 'post power
syndrome'.
Oposisi minim gagasan; asal ganti presiden. Sekedar ingin
menggulingkan kekuasaan dan menikmati kekuasaan seperti sebelumnya.
Dalam wawancara di TV swasta semalam, Pak Wiranto kembali
meluruskan bahwa yang akan dibersihkan adalah media sosial yang menyebarkan
hoaks, bukan media cetak sebagaimana yang pernah dilakukan rezim Orde Baru.
Pakar penyusun UU ITE pun menegas.kan ada pasal untuk itu. Bahwa
pemerintah wajib meyetop peredaran informasi palsu, yang meresahkan masyarakat
dan membahayakan kepentingan umum.
Kiranya senior senior pun mahfum adanya.
Tabik Pak Wiranto. ***

Komentar
Posting Komentar