Karena Terlambat Datang Remy Sylado Berantem Sama Dokter
REMY SYLADO RIBUT SAMA DOKTER
OLEH:DIMAS SUPRIYANTO
Sudah lama saya
ingin main ke rumah Remy Sylado. Beberapa kali ketemu di berbagai event formal
dan informal, di Kementrian Dikbud dan di gedung pameran, saya memintanya,
"Oom saya pengin ke rumah, " dan dia menjawab ramah, "Ayolah.
Kapan?" tantangnya. Tapi tak pernah kesampaian.
Remy punya arti penting dalam hidup saya. Selain
Ashadi Siregar, novelis dan dosen Univ. Gajah Mada itu. Mereka lah yang membawa
saya ke dunia tulis menulis dan menjadi wartawan seperti sekarang.
Tahun 1975 saya datang ke Jakarta. Dan tak lama
kemudian membaca novel "Orexas" - Organisasi Sex Bebas. Novel
pemberontakan generasi muda masa itu menginspirasi saya - juga generasi kami di
era 1970-80-an - untuk mempertanyakan jati diri.
Yapi Panda Abdiel Tambayong nama asli penulisnya - orang
Manado, lahir di Makassar, masa kecilnya di Semarang, berkarir seni di Bandung,
ngetop di Jakarta. Dan kini tinggal di Bogor.
Kita mengenalnya sebagai Remy Sylado - yang
mengingatkan pada not angka : ..re..mi..si..la.. do.. 2.3.7.6.1.. konon
menandai tanggal 23 Juli 61 ketika dia mengalami peristiwa tak terlupakan;
first kiss.. ciuman pertama.
Dia sosok serba bisa : penulis, pelukis, musisi,
aktor, pengajar, penceramah dan pengkaji agama, selain kritikus berbagai cabang
seni. Dia menguasai bahasa Latin, Arab dan China, selain Inggris dan Belanda .
Barang tentu juga fasih bahasa Manado, Jawa dan Sunda. Dan entah bahasa
apalagi.
Koran berbahasa Inggris 'The Jakarta Post' memberi
predikat padanya "walking encyclopedia of arts and humanities" -
alias "buku ensiklopedi berjalan untuk urusan seni dan budaya".
RABU siang lalu, saya menelepon Wina Armada SA,
jurnalis senior untuk suatu keperluan. Pengin kongkow di Senayan City atau PI
Mall, seperti biasa. "Nggak bisa, Dimas. Besok saya mau ke Bogor bezoek
Remy Sylado, " katanya.
"Lho sakit apa ?" tanya saya terkejut.
"Nggak tahu juga. Sudah dirawat lima hari tapi
lanjut di rumah. Besok saya dan kawan kawan mau ke sana, " jawabnya.
"Saya ikut, " spontan saya mengajukan diri.
Lalu janjian. Saya minta dikirimi alamat dan jalan sendiri. Yang penting ketemu
di sana. Soalnya Wina Cs berangkat dari BSD dan saya di Depok.
Abang GoJek menyebutnya sebagai artis film.
"Sering lihat di teve juga, " katanya, setelah saya menyebutkan
alamat yang dituju. Tapi belum pernah ke rumahnya. Saya juga baru pertama kali.
Tak sulit mencarinya. Rumahnya khas seniman. Di ruang
tamu ada gebyok Jawa, patung Bali, gitar dan lukisan lukisan ukuran besar,
karyanya. Juga buku buku karyanya di almari kaca.
Agatha, isterinya, menyambut ramah dan sudah siap
kedatangan tamu, karena Wina sudah menelpon.
Sosok Remy yang saya tuju, terbaring lemas di ranjang
kecil di ruang tamu. Wajahnya kusut masai dan pakai celana pendek. Beda dengan
penampilannya di berbagai event yang selalu perlente. Dandy.
"Apa yang dirasa? " tanya saya sambil
menyalaminya.
"Capek. Kepala pusing, " jawabnya.
Agatha menjelaskan, beberapa pekan terakhir Oom Remy
banyak menghadiri undangan. Capek sekali. Terakhir di Museum Macan di Meruya,
Jakarta Barat.
Selain itu masih harus melukis juga, di rumah,
lantaran dikejar tenggat (deadline) untuk pameran.
"Oom Remy melukisnya masih pakai cat minyak, ada
campuran kimia. Baunya menyengat. Terus kondisi nggak fit, ya, kayak keracunan
jadinya. Mendadak lemes, " begitulah Agatha bercerita.
Diungkapkan, waktu di museum Remy sempat limbung. Tapi
sepulangnya fit lagi. Terus lemes lagi. Sampai terkapar dan dilarikan ke rumah
sakit. "Kecapekan, " ringkas Remy.
Bukan Remy namanya kalau tidak bikin bingung.
"Kepalanya pusing?" Agatha bertanya.
"Nggak. Pening!" Jawabnya
Beberapa waktu kemudian ditanya lagi. "Masih
pening?"
"Penat!" jawab Remy. Dan begitulah
seterusnya; pusing, pening dan penat. Berganti ganti.
Ada cerita lucu. Karena khawatir, Agatha memutuskan
untuk membawa ke dokter syaraf. Praktek spesialis jam 07.00 tapi Remy minta
berangkat jam 06.00. Supaya dapat nomor awal. Benar saja, dia dapat nomor 02.
Tapi dokter yang ditungu tak kunjung datang. Jam 07.00, 08.00 berlalu. Baru
nongol 09.40.
Yang terjadi kemudian Remy bukan minta diperiksa tapi
menegur si dokter, karena menelantarkan pasien. Kesal juga dia melihat pasien
mengular dan kondisinya lebih parah dibanding dirinya.
Eh, si dokter "klotokan" juga. Bukannya
merasa bersalah dan minta maaf malah melawan dengan nada tinggi; "Bapak ke
sini mau diperiksa apa mau marah marah?" Omel di dokter.
Remy Sylado mengkelap sudah. Durasi ceramah pun
bertambah dengan sendirinya.
Agatha mengaku cuma bisa bengong, dan adu pandang
dengan suster asisten di ruang periksa dokter itu.
"Ya, gitu deh..niatnya mau periksa malah jadi
pada berantem. Saya sama susternya cuma lihat lihatan aja, " kata Agatha.
Obrolan makin ngalor ngidul. Remy menjawab dan
komentar sesekali sembari menyantap pisang dan kue yang saya bawa. Lahap dia.
"Kata dokter ngak ada pantangan, kok, " ujar Agatha.
SAYA sudah niatkan, kalau ada waktu ke rumah Remy
Sylado akan masuk ke ruang kerjanya. "Tuh, di situ, " Remy
menunjukkan arah. Saya minta izin ke sana, Remy mempersilakan, dan dia tetap
tiduran. Agatha yang mengantar.
Akhirnya kesampaian nazar saya. Meja kerja itu dan
lemari berisi berisi buku buku mengelilinginya. Saya di situ. Sesak dan agak
berantakan.
"Nggak boleh otak atik. Jadi ya biarin aja,
" kata Agatha. Diceritakan dia pernah mencoba bebenah, rapi rapi
membersihkan dan menata. Bukannya pujian yang didapat malah disemprot habis
habisan.
"Saya diomeli tiga hari, " katanya mengadu.
Remy menjelaskan, semua yang ada di ruang kerjanya sudah sesuai dengan
kebutuhan dan rancangannya. Ketika dirapikan justru merusak 'mood' dan ide
idenya.
Kawan saya, Benny Benke, dari koran "Suara
Merdeka" menyatakan, Remy Sylado masih menulis dengan mesin ketik manual
dan dia penulis yang bisa mengetik cerita bersambung atau ulasan sambil
melayani tamunya mengobrol.
Saya minta foto di situ sembari menyerahkan smartphone
ke Agatha. Dan kemudian bergaya. "Duduk saja di situ, " kata Agatha,
mengizinkan ke kursi Remy. Dan jadilah saya duduk di singgasana Sang Maestro
itu - kursi keramat, yang telah menghasilkan novel novel bergengsi. Pada
kunjungan pertama ke rumahnya! Wuihh...
Remy bukan penulis sembarangan.
Novelnya "Kerudung Merah Kirmizi" (2002) meraih "Khatulistiwa Award", penghargaan bergengsi di kalangan penulis sastra nasional.
Novelnya "Kerudung Merah Kirmizi" (2002) meraih "Khatulistiwa Award", penghargaan bergengsi di kalangan penulis sastra nasional.
Di dunia akting dia aktor terpuji Festival Film
Bandung (FFB) dan 3 kali nominasi di FFI.
Pada tahun 2004 Presiden Megawati memberikan dia
penghargaan Satya Lancana Kebudayaaan. Tahun 2018 lalu di Hari Pers Nasional di
Padang dapat penghargaan lagi.
Ketika kembali ke ruang tamu, Remy menuturkan dia
mendapat pesan dari Dahlan Iskan, boss 'Jawa Pos'. "Bung Remy jangan mati
dulu - saya masih perlu berguru, " kata Remy menirukan mantan menteri dan
dirut PLN itu. Sadis, euy.
Tak lama kemudian Wina Armada, dkk datang. Bawa
makanan juga. Sesuai pesanan Remy. Kudapan khas Manado. Pembicaraan makin
gayeng. Nostalgia bersama kawan lama di radio ARH mengalir.
Hari menjelang petang ketika kami semua pamit. Semua
menyemangati Remy agar sembuh dan berkarya lagi. "Semangat saya ! Sudah
dikunjungi kawan kawan seperti ini, " katanya riang.
Sebelum pamit, Remy memberi sangu wejangan.
"Tetaplah menulis. Dengan menulis bisa memperpanjang usia, " pesannya
kepada saya.
Dia menunjuk wartawan senior H. Rosihan Anwar dan
Jacob Utama. Juga sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Mereka semua mencapai usia
80an tahun. "Dan juga Harmoko, " katanya menyebut boss saya.
Remy sendiri masih menulis hingga kini. Di usianya
yang ke 73 dan 74 pada 12 Juli 2019 nanti.
Hari itu, saya mendapat tausiah penting dan
mencerahkan dari Al Mukarom Alif Danya Munsyi alias Dova Zila alias Yapi
Tambayong alias Remy Sylado;
Menulis - selain menyenangkan dan merawat ingatan -
juga menambah usia, katanya. Aamiin ***
dimas supriyanto wartawan pos kota

Komentar
Posting Komentar