Misteri Kuburan Berdarah Pada Malam Jumat Kliwon Yang Angker....
MISTERI
KUBURAN BERDARAH DI MALAM JUMAT
KLIWON…..
Aku
agak ketar ketir ketakutan saat memasuki areal kuburan China di Bukit Kemuning,
Kota Palembang, Malam Jumat Kliwon, 7 November 2014. Sebuah kisah lama yang tersimpan dan terungkap
kembali, Malam Jumat Kliwon, 5 April 2019, pas malam ulang tahun Kanjeng Gusti
Al Palimbani alias Kanjeng Sulton Mahmud Syamsudin Al Barakbah Palimbani….
Maklumlah saat itu pukul 24.00 tengah
malam, sementara di kuburan itu tidak ada lampu sama sekali dan jauh dari penduduk.
Sementara aku seorang wanita lajang, sendirian dan tidak punya pengalaman
melakukan ritual ke makam keramat China Hokkian untuk kekayaan. Karena aku
orang Palembang dan tempat pesugihan itu dekat, hanya berbeda kecamatan, maka
aku memilih Bukit Kemuning ketimbang Alas Purwo di Banyuwangi, Jawa Timur. 1800
ke ara timur. Barat matahari terbit.
Kanjeng
Sulton Mahmud, guru spiritualku di Palembang, mengajak aku ke Goa Istana, Alas
Purwo. Beliau telah berhasil membuat kaya 134 orang yang diritualnya melakukan
pesugihan Kandang Bubrah di Jawa Timur itu. Namun, Kanjeng Sulton meminta aku
menyediakan uang Rp 25 juta untuk membeli alat-alat ritual, seperti Linggis
Bolivia, Madat Turki, kemenyan Arab dan parfum Chrisna Ferry. Alat itu mahal
dan semuanya diimport dari luar negeri. Karena uang itu belum cukup, hanya ada
Rp 15 juta, maka aku mengambil pesugihan di dekat rumahku saja. Yaitu, makam
Mbah Liem, orang China Hokkian yang pertama masuk ke Kota Palembang pada abad
VIII lalu setelah kejayaan kerajaan Sriwijaya jatuh.
Tidak
banyak paranormal tahu makam Mbah Liem. Namun karena Kanjeng Sulton Mahmud
orang sakti mandraguna yang berpengalaman mancanegara, maka dia tahu dan aku
dianjurkannya melakukan rotual di situ. Tapi, tidak boleh bersamanya, karena Mbah
Liem mau menerima satu orang dan harus perempuan belum menikah.
Sejak
kecil aku ditinggal mati keduaorangtuaku. Sementara aku anak tunggal, tidak
punya adik juga tidak punya kakak. Bahkan paman dan bibipun, tidak ada yang
tinggal di kotaku. Pamanku tinggal di Belanda dan beranakpinang di Amsterdam
karena menikah dengan wanita Suriname. Bibiku, Bibi Cek Tanti, tinggal di
Sydney, membangun rumah makan Indoenesia di daerah Kingcross Boulevard. Maka
itu, sejak kecil aku prihatin. berjualan pempek keliling dengan keranjang,
masuk kampung ke luar kampung untuk biaya sekolah dan biaya makanku
sehari-hari. Sementara rumah, aku menempati rumah gubuk warisan ayahku di Bukit
Sehuntang, Bukit Besar, Palembang Barat.
Berdagang
pempek dan godo-godo setiap pagi hingga pukul 11 siang. Setelah itu, aku pergi
ke sekolah di Talangsemut. Aku naik sepeda onthel peninggalan ibuku. Dulu,
ketika ibu masih hidup, ibuku juga berjualan dengan mengendarai sepeda onthel
merek religh itu. Aku, ketika kecil, sering dibonceng ibu yang bersepeda
berjualan pempek dan tekwan. Ayahku hanya bekerja sebagai buruh pabrik es.
Ayahku bekerja di perusahaan es milik orang Arab di seberang ulu. Setiap hari
ayahku berangkat juga dengan speda onthel, padahal jarak dari rumah kami sangat
jauh ke seberang ulu, yatiu 12 kilometer.
Tadinya
aku merasa menjadi orang miskin keturunan. Ayah ibuku miskin, lalu gen ku gen
miskin, hingga aku menjadi dewasa, tetap dalam keadaan miskin sebagaimana ayah
dan ibuku yang miskin, serba kekuarangan. Maka itu, ketika kedua orangtuaku
wafat, aku meneruskan profesi berjualan pempek keliling dan aku ikhlas
menjalani hal itu tanpa beban. Aku selalu bersyukur kepada Allah Azza Wajalla,
yang memberiku kesehatan, hingga aku aku mampu berjalan kaki jauh, atau naik
sepeda onthel untuk mengais rejeki dari berjualan pempek. Makanan khas
masyarakat Palembang, warga kotaku.
Hingga
aku berumur 21 tahun, tamat SMA Negeri Satu Bukit Besar, Palembang, aku tetap
berjualan pempek dan tetap miskin. Pada suatu hari, berkenalan dengan pelanggan
pempekku, sebuah rumah mewah di Jalan Kapten Rivai, yaitu Kanjeng Sulton
Mahmud. Kanjeng Sulton seorang duda tanpa anak yang berprofesi sebagai
paranormal. Dia sedang pempek buatanku dan setiap pagi dia membeli pempek
buatanku. Dia suka cuka bikinanku dan minta tiap pagi diantarkan ke rumahnya.
Suatu
pagi, Minggu Pon, 23 Februari 2014, Kanjeng Sulton Mahmud mengajak saya
berbicara di beranda rumahnya yang mewah. Saat itu dia baru aja mencuci mobil
BMW Sport 234 miliknya. Kanjeng Sulton prihatin melihat aku dan menawarkan
kepadaku, maukah aku menjadi orang kaya raya. Dengan cepat aku menjawab.
Kukatakan kepadanya, bahwa semua orang pasti mau jadi kaya raya. Apalagi saya,
ya pasti maulah, kataku. Sebab aku sejak lahir miskin, hingga dewasa, ya tetap
miskin. Maka itu aku ingin merubah nasib, aku ingin kaya raya sperti Kanjeng
Sulton Mahmud yang sederhana itu.
“Kamu
tahu pesugihan?” desis Kanjeng Sulton, kepadaku, serius. Karena aku buta akan
lelaku atau ritual pesugihan, maka aku katakana kepada Kanjeng Sulton Mahmud
bahwa aku tidak tahu sama sekali hal itu. “Memang jarang orang Palembang tahu
soal pesugihan. Pesugihan itu budaya Pulau Jawa dan banyak orang sukses setelah
melakukan pesugihan. Liem Sioe Kiong, bukan nama sebenarnya, itu orang yang
sangat miskin tadinya. Tapi dia melakukan pesgihan di Gunung Kawi, ke makam
Mbah Yugo. Setelah itu, dia jadi dekat dengan kekuasaan, Pak Hart, disayang Pak
Harto, maka dia jadi konglomerat, orang terkaya di Asia Tenggara. Sebenarnya
bukan karena dia pintar usaha, tapi pesugihannya berhasil.Gaib selalu
mendampingi dia hingga akhir hayatnya, sampai kekayaannya mampu menghidui tujuh
keturunannya,” ungkap Kanjeng Sulton Mahmud, kepadaku. KIamat suadh dekat, kamu
belum pernah kaya raya, maka itu, lakukan ritual itu dan kamu akan kaya raya.
Pesugihan
yang ditawarkan Kanjeng Sulton Mahmud itu harus mandiri. Artinya, walau dia
banyak uang, namun dia tidak boleh membantuku. Bila uang dari dirinya untukku,
maka pesugihan dipastikan gagal. Maka itu aku dituntut untuk memiliki uang
sendiri. Modal sendiri puluhan juta, hingga aku bisa membeli alat ritual dan
Kanjeng Sulton Mahmud akan mengawalku hingga aku berhasil secara gilang gemilang.
Aku
berminat sekali lalu mengumpulkan uang. Langkah petamaku adalah mengajukan
kredit ke Bank Sumsel dengan agunan rumah peninggalan ayahku. Rumah itu ada
sertifikat dan surat-surat aku sertakan sebagai pengajuan kredit uasaha kecil.
Sayang, uang yang bisa aku dapat hanya Rp 15 juta. Senemtara kebutuhan untuk
ritual di Goa Istana, Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur itu, Rp 25 Juta.
“Kau
harus mencari lagi Rp 10 juta, hingga genap Rp 25 Juta. Dari uang Rp 25 juta
yang tidak seberapa ini, kau akan jadi kaya raya dan akan punya kekayaan
trilyunan, bukan hanya milyar,” desis Kanjeng Sulton Mahmud, dengan mimic muka
tajam. Dia benar-benar ingin aku jadi kaya raya, maka itu dia anjurkan aku cari
pinjaman uang Rp 10 juta lagi. Cukup Rp 25 Juta, dia langsung ajak aku naik
pesawat, terbang ke Surabaya lalu sewa mobil ke Alas Purwo, 70 kilometer ke
tenggara kota Banyuwangi. Tempat pesugihan paling mumpuni se Asia Tenggara.
Semua Raja Jin ada di situ, semua dewi berdomisili di situ dan membantu
siapapun yang mau minta kekayaan cepat.
Setelah
berjuang cari pinjaman berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan tidak
dapat, maka akhirnya aku menyerah. Kukatakan kepada Kanjeng Sulton Mahmud,
bahwa aku tidak sanggup lagi mencari tambahan dari Rp 15 Juta yang ada. Uang
dari pinjaman Kredit Usaha Kecil di Bank Sumatera Selatan dengan jaminan rumah
kecil peninggal orangtuaku yang sudah wafat.
Kanjeng
Sulton Mahmud lama termenung. Beberapa saat kemudian, kepalanya diangkat ke
atas dan menghela nafas. “Kamu mau enggak kalau mencoba tempat pesugihan di
Bukit Kemuning. Di sana ada makam Mbah Liem Hokkian, China kaya dan penduduk
China pertama di daerah Palembang
Barat,” kata Kanjeng Sulton Mahmud, kepadaku. Aku terdiam, merenung sejenak,
berfikir panjang, lalu menganggukkan kepala kepada Kanjeng Sulton Mahmud dengan
mantap.
“Baik,
bila kamu siapa melakukannya, lakukan sendiri, tidak boleh saya temani dan
tidak ada seorang pun yang boleh menemanimu. Kamu datang Malam Jumat Kliwon,
tengah malam di sebuah makam di tengah Kuburan China itu, makam warna merah,
dana hanya satu makam warna merah, kamu diam di situ dan akan menemukan sesuatu
yang tak terduga, misterius. Tapi harus diam dan bersabar. Bila bertemu apapun
yang menakutkan, kamu harus kuat dan sabar,” tutur Kanjeng Sulton Mahmud,
mengungkapkan semua saran, aturan dan cara kerjaku saat melakukan ritual pesugihan
Bukit Kemuning nanti.
Banyak
nasehat penting dan tata laku ritual itu yang disebutkan Kanjeng Sulton Mahmud
kepadaku. Bahkan soal pesugihan Goa Istana Alas Purwo, dibatalkan. Karena
uangku tidak cukup hingga Rp 25 Juta sebagai syarat dan peraturan di Alas
Purwo.
Dengan
membaca bismillah, aku bertekad untuk melakukan pesugihan Bukit Kemuning itu,
agar aku bisa merubah nasib. Dari terpuruk miskin lalu menjadi orang kaya raya.
“Berangkatlam pada malam jumat kliwondepan ini, setelah siap betul mau berangkat,
telpon dan saya akan mengawalmu dari rumah, tengah malam saat engkau sudah di
kuburan itu,” pesan Kanjeng Sulton Mahmud, kepadaku.
Saat
berangkat dari rumahku pukul 23.45 WIB, Malam Jumat Kliwon, 7 November 2014,
hujan deras turun. Kilat menyambar pepohonan dan rumah-rumah penduduk yang
sudah terlelap. Aku naik sepeda onthelku menuju Kuburan China, makam di atas
bukit yang timbun oleh pohon mahoni dan angsana tua. Setelah melewati jalan
besar, aku menikung ke utara, menanjak di Tebing Kermunting lalu terus melau
melewati pagar kawat bolong, Bukit Kemuning. Dinamakan Bukit Kemuning karena di
situ banyak pohon kemuning yang harum sekali pada malam itu. Semua bunga
kemuning mekar dan sebagian berjatuhan dihantam air hujan yang sangat deras.
Malam itu banyak bunga berguguran karena air hujan namun bunga itu semakin
semerbak, bertambah wangi saat berjatuhan di tanah.
Pukul
24.00 WIB, pas tengah malam pukul 12.00, aku menemukan kuburan warna merah
darah di tengah ratusan kuburan China itu. Di batu alam, tertulis nama Mbah
Liem Hokkian, manusia yang mati di abad VIII lalu, pada masa keemesan Sriwijaya
memudar. Yaitu tahun 899 Masehi. Orang China pertama yang datang ke Palembang,
bahkan orang China pertama yang masuk nusantara.
Sesuai
petunjuk Kanjeng Sulton Mahmud, aku duduk melipat kakiku di bawah makam.
Sementara petir menggelegar di pekuburan itu. Bahkan, kilat setiap bebera
detik, menyinar pemakaman dan rasanya, hatiku makin gamang dan otakku menjadi
galau. Gundah gulana.
Berbarengan
dengan petir ke sepuluh kali, aku dikagetkan oleh pandanganku, di mana kuburan
mengeluarkan asap. Asap itu sangat tebal warna putih, seperti asap gunung
merapi yang sedang beraksi memuntahkan lahar panas.
Sosok
manusia bertubuh besar tinggi, keluar dari makam Mbah Liem. Semua itu aku dapat
lihat dengan kasat mata karena disinari oleh kilat dari langit yang terang
benderang. Badanku yang basah kuyup tenggelam oleh besar dan tingginya makhluk
itu. Yang belakangan, aku ketahui bahwa dia adalah jin pendamping Mbah Liem
yang ikut ke kuburan sejak abad delapan yang lalu.
Bebarapa
saat kemudian, suara menggelegar dari makhluk aneh itu. Dia memegang kepalaku
dan tangananya besar sekali sebesar mobil sedan, kuasai kepalaku, tubuhku,
namun kurasa sangat dingin sekali tangannya jatuh di kepalaku. Suaranya
bergemuruh seperti suara kereta api uap dan kata-katanya tidak jelas. Namun
sesuai petunjuk Kanjeng Sulton Mahmud, saat begitu, mintalah sesuatu, walau aku
tidak mengerti bicaranya apa.
Aku
langsung minta kaya raya, kaya uang dan banyak harta berharga. Dia mengangguk
dan minta aku selalu mendoakannya seusai sembahyang. Maka itu, belakangan baru
kutahu dari Kanjeng Sulton Mahmud, bahwa makhluk gaib, jin pendamping Mbah Liem
Hokkian itu, minta dikirimi Al Fatihah dan Surat Yassin setiap Malam Jumat. Hal
itu tetap aku lakukan hingga saat ini.
Kurang
lebih dua jam di pemakaman, aku merangkak pulang. Sepeda onthelku yang kuparkir
di bawah pohon mahoni aku ambil dan aku merangsek pulang. Sementara jin itu,
sbelum aku beranjak pergi, telah masuk ke dalam kuburan Mbah Liem.
Alhamdulillah,
setelah setahun lebih aku melakukan pesugihan Bukit Kemuning itu, aku berubah
nasib. Jika tadinya aku dagang pemoek keliling, tahun 2016 awal ini, aku sudah
punya empat restoran Palembang yang menyebar di beberapa kota. Semua restoranku
laku keras, omzetnya besar, tidak kurang Rp 50 juta sehari dari empat rumah
makan besar. Belum lagi warung warung
pempek, menyebar hingga ke Hongkong, Singapura, Thailand dan Taiwan.
Kini,
pada awal 2016 ini aku sudah mempunyai tabungan Rp 56 milyar di rekeningku.
Bahkan, kata Kanjeng Sulton Mahmud, yang jadi guru spritualku, akan berjumlah
trilyun. Kanjeng Sulton menganjurkan aku membuka usaha di luar restoran, yaitu
usaha angkutan umum. Maka itu, aku ambil kredit 50 bus antar kota. Bis yang
mengangkut penumpang umum dari Palembang ke Jakarta dan Palembang-Surakarta.
Hasil angkutan itu sudah kelihatan bagus. Kanjeng Sulton katakana, bahwa aku
akan menjadi pengusaha angutan umum dan restoran terkaya di Indonesia.
Setelah
usaha maju dan kelihatan kaya, banyak pria melamarku. Sementara dulu, tidak ada
satupun pemuda melirikku. Jangankan melamarkan untuk dijadikan isteri, dilirik
pun, tidak. Kini aku melakukan operasi kecantikan dan aku menjadi cantik.
Kulitku kuning dan hidungkiu menjadi mancung dan estetik. Banyak pria
melamarku, namun perjanjian keramatku dengan Jin Mbah Liem, aku tidak boleh
kawin. Jangankan menikah, untuk berpacaranpun, aku dilarang. Bila hal itu aku
langgar, maka pesugihan itu akan hancur dengan sendirinya dan aku jatuh miskin
lagi seperti dulu. Akan dagang pempek keliling kampung dengan cara bersusah
payah. ****
(Kisah Cek Ratna Juwita,
Tia Aweni D.Paramitha menulis cerita itu untuk Portal-Mystery.Blogspot.Com-Red)
Komentar
Posting Komentar