Nyai Sakti Di Pulau Dili Banten Selatan...
Misteri Sejati
NYAI SAKTI DI PULAU DILI
Bisikan itu selalu datang mengganggu tidurku. Wisik
yang menggetarkan batinku. Takut? Ya, terkadang aku menjadi takut. Suara-suara
seram mengitari kepalaku. Terlalu sering bersuara bariton. Artinya nada bawah
mirip suara singa jantan yang lapar.
“Ya, Allah ya Tuhanku, suara
apa itu dan apa maunya datang?” tanyaku, tanpa terjawabkan. “Pergilah ke
selatan. Nyai Ratu Kunta Dewi menunggumu di Samudera Hindia. Pergilah
secepatnya, ayo, bangun, pergilah!” perintah suara itu, berkali-kali.
Jika sudah
begitu aku segera ke kamar mandi dan ambil wudhu. Aku sembahyang tahajut jika
di malam hari. Saat sepi sunyi di sekitar rumahku. Aku bersilah dan berserah
diri pada Allah Yang Maha Agung. “Ya Allah, Engkau penguasa alam semesta,
jkagat raya dan semua makhluk yang Engkau ciptakan. Termasuk aku yang hina dina
ini, fakir, lemah dan tak berarti apa-apa. Engkau jadikan semua manusia lemah,
tak berdaya dan papah. Namun, atas restu-Mu, atas kehendak-Mu ya Rab, maka ada
orang yang jadi presiden, jadi menteri, jadi ketua MPR dan menjadi pengusaha
kaya raya.
“Aku
tidak tau aku di barisan yang mana, ya, aku tak tau. Namun, aku percaya bahwa
aku takkan Engkau buat mati karena kelaparan. Engkau tebarkan rejeki-Mu di
permukaan bumi, di langit, di dasar laut untuk semua ciptaan-Mu. Aku dapat
bisikan, disuruh ke Nyai Punda Dewi di Samudera Hindia, di laut selatan Jawa,
untuk apa dan suara siapa itu?” tanyaku, kepada Rab ku.
“Itu
suara iblis, setan, jin, kuntilanak, malaikat atau siapa? Ya Allah, berikan aku
petunjuk dan tanda tanda, siapa pembisik misterius itu,” desisku, serius,
bahkan sangat serius.
Pertanyaan
ini tentu tak terjawabkan. Rab ku wujud namun takkan dapat aku lihat. Ada
tetapi tak bisa aku lihat dan aku dengar suara-Nya. Rab ku sangat besar, sangat
berkuasa, sangat murah kasih, sangat pemberi rejeki dan super hebat. Namun,
terlalu kecil aku untuk dapat melihat-Nya, untuk dapat berkomunikasi aktif
dengan-Nya sebagaimana nabi-nabi jaman dulu. Sebagaimana rasul-rasul ku yang
terpilih.
Tengah
malam, jam 24.00 WIB, hari Selasa Kliwon, April 2015 tiba-tiba aku yakin, bahwa
aku memang dipanggil oleh Nyai Punta Dewi di laut selatan. Bahkan lokasinya aku
ditentukan di Pulau Tinjil, tengah Samudera Hindia di Ujung Kulon, barat Jawa
yang anggun. Sebuah pulau kosong yang angker. Dihuni binatang melata dan
binatang karnipora yang sadis, namun tunduk kepadaku. Aku melihat gambar-gambar
gaib tentang pulau itu. Besok, hari Rabu, April 2015 adalah hari istimewa aku
untuk berangkat ke daerah itu. Bagimana pun caranya.
Hingga
subuh mataku tak dapat terpejamkan. Tubuhku tidur tapi pikiranku melayang ke
pulau itu. Sebuah pulau yang belum pernah aku datangi namun aku telah
melihatnya. Aku telah menyaksikan pohon pohon, batu batuan, ombak dan semua
hewan di pulau kosong itu. Luas wilayah pulau juga kutahu ukurannya dan aku
tahu ada beberapa dukun yang telah menjalani lelaku di pulau itu.
Hari
Rabu pagi aku berangkat dengan sepeda motor honda supra fit tuaku ke sana. Aku
melintasi Kota Tangerang melalui jalan raya Tangerang-Serang. Dengan mulut
berkumat kamit lakukan zikrullah dan sebut Esa Tunggal, Allah yang maha mencipta
dan pencipta aku. Dengan kecepatan rata-rata 60 kilometer per-jam aku merangsek
ke Pandeglang, lalu Malimping dan menuju kampung nelayan Muara Binuangeun.
Selama lima jam aku bermotor, sampailah aku di Muara Binuangeun, Banten
Selatan.
Pak
Engkus Suminta, 49 tahun, nelayan kampung Jengkol, yang kukenal di situ,
membantuku meminjami perahu kecil miliknya. Perahu itu sudah tidak dipakai
namun tidak bocor. “Pakailah perahu ini ke Pulau Dili, arahnya ke sana. Motormu
aman di rumahku,” kata Pak Engkus, yang mengenakan baju koko warna hitam dan
peci hitam serta celana gantung hitam di bawah dengkul. Pak Engkus aku kenal di
sebuah pos jaga dan terasa sudah kenal lama muka itu. Baru kutemui namun terasa
sudah pulahan tahun aku bersamanya. “Engkus akan membantumu sampai di Pulau
Dili hingga menemukan Nyai Punta Dewi,” bisikan bariton itu muncul lagi di
telingaku.
Kubasuh
mukaku sdengan air laut Banten Selatan. Air itu kurasakan tidak asin dan tidak
lengket. “Kau minum air itu pun bakik untukmu, dan tidak akan asin dan lengket
sebagaimana air laut biasa,” biiskan itu meneruskan kata-katanya di telingaku.
Setelah aku minum, mataku tiba-tiba menjadi terang. Aku bisa melihat di dalam
gelap. Aku merasakan ada makhluk tak kasat mata di sekitar. Semua mendekat dan
bersamaku. Ramai sekali dan terasa berisik dengan suara-suara yang tak bisa aku
mengerti.
Setelah
diberi wejangan Pak Engkus perahu kukayuh menuju barat daya. Aku sudah mahir
bermain perahu sejak kecil, karena aku pernah ikut lomba kano di kampung di
Jawa Tengah. Kano Danau Maringgai saat kakak ku Karto Yuwono membuatkan aku
kano dari kayu meranti. Aku sangat disayang kakek dan mau apapun aku
diberikannya. Tanahnya banyak dan semua ditanam tembako dan temabako kala itu
sangat berjaya.
Kakekku
kaya, ayahku kaya raya karena perkebunan tembako. Namun, saat tembako jatuh
semua keluarga kami terjatuh. Aku hidup melanglang buana ke Jakarta dan hidup
mengelandang beratapkan langit dan berselimut debu. Kekejaman ibukota membuat
aku menjadi pedagang kaki lima yang miskin. Yang selalu terusir dan hidup
berpindah-pindah dari satu gubuk ke gubuk lain. Saat hujan aku kebasahan, saat
panas tubuhku kekeringan.
Namun
aku berkenalan dengan seorang ahli gigi dan aku diajarinya membuat gigi. Dari
situlah aku mulai bisa hidup layak. Aku menjadi asisten pembuat gigi dan
akhirnya aku menjadi ahli gigi. Tuhan telah pertontonkan secara nyata kepadaku,
bahwa rejeki-Nya ditebarkan ke bumi tinggal kita yang harus menemukan dan
menjalani agar rejeki itu datang dengan sebab. Jika tanpa bekerja, tak akan
mungkin Tuhan berikan. Harus bekerja menyongsong hadirnya rejeki dari Allah
Yang Maha Pemurah ini. Allah, Tuhanku yang maha sempurna, yang maha pemberi
rejeki tapi juga, maha penyiksa jika kita tidak menemukan caranya. Bersyukur
dan pasrah diri kepada-Nya, adalah langkah terbaik dan tak ada yang lebih baik
dari itu. Maka, dengan bersykur dan memohon ridha-Nya, maka aku melanglang
menelusuri dunia gaib setelah kehidupan ekonominya sangat mapan sebagai pembuat
gigi.
Hari
Kamis Malam Jumat April 2015 aku sandar di Pulau Dili. Sebuah pulau kecil yang
tak berpenghuni dan hijau sebagaimana dalam pandangan mistikku sebelum ke sini.
Banyak buaya, kadal, biawak besar menyambutku dan bersahabat. Bahkan beberapa
di antara biawak mengiringiku menuju sebuah gubuk kayu mahoni buatan nelayan.
Belakangan baru kutahu, bahwa gubuk dengan atap pelepah kelapa itu tak pernah
ada di situ. Gubuk gaib yang ditentukan Sang Maha Gaib untukku, untuk pertapaan
yang lamanya tidak pernah tertentukan itu.
Aku tak
pernah makan dan tidak membawa makanan. Aku benar-benar tapa puasa, tanpa minum
dan tanpa makan. Namun, karena kasih sayang Rab ku, maka aku tidak pernah harus
dan tidak pernah kelaparan.
Seminggu
di Pulau Dili, barulah Nyai Punta Dewi datang kepadaku. Dia sangat cantik
sekali dengan tubuh yang wangi Elizabeth Arden yang anggun. Busananya dengan
kemben, dada terbuka dan rambut terurat panjang dengan bunga melati terselip di
telinganya yang caping. Bentuk telinga yang menbunjukkan wanita cerdas, pintar
dan sakti.
“Namamu
aku ganti dengan nama linuwih, kanjeng Sulton Arsalim Samudera Rembulan!”
desisnya, bersuara merdu dan lantang. “Bisa tidak bisa menerima, engkau harus
menerimanya,” tambahnya, sambil melipat rambutnya yang harum semerbak, bagaikan
baru disampo dengan Arkayan Tarsyama. Sampo super wangi dari Amerika Latin.
“Aku
yang memanggilmu untuk datang. Suara yang selalu mengiang di telingamu ada
suara Aerkam Harjaga, intelejen alam jin Ratu Samudera. Dan akulah Ratu
Samudera itu,” katanya. “Kau kembali ke rumahmu dengan ribuan jin laut selatan
ini yang harus kau bawa ke jalan kebaikan,” terangnya.
Singkat
cerita, aku diutus oleh pengusaha gaib laut Samudera Hindia untuk menolong
bangsa jin laut yang kepanasan. Jin-jin itu membutuhkan manusia seperti aku
yang memberinya bantuan. Memberinya ruang hidup agar dapat menurunkan rasa
panas yang menggelayut di tubuh mereka.
Lama
aku berfikir dan melamun, apa yang dimaksudkan Nyai Ratu Samudera alias Nyai
Kunta Dewi. Namun, dalam impianku, jelas, bahwa aku harus mengajak ribuan jin
laut yang kini ikut denganku, masuk ke agam islam dan mengucapkan dua kalimah
syahadat.
Secara
perlahan dan bertahap, aku bina ribuan jin perempuan yang kini semuanya menjadi
istriku, untuk menjadi jin muslimah, beragama Islam dan telah mengakui Allah
sebagai Tuhan mereka dan Kanjeng Rasul Nabi Muhamad sebagai rasul utusan Allah.
Kini
dengan kekyuatan bolo jin perempuan dan restu Allah, Tuhanku yang Maha Rahman
dan Rahim, aku bisa membantu sesama. Orang yang kesulitan hidup, punya penyakit
berat, punya problem keuangan, dapat aku
bantu dan ditolong serta selesaikan tuntas. Semua ini berkat kasih
sayang, pertolongan dan cinta yang aku dapatkan dari Rab ku. Allah yang maha
suci. Tanpa pertolongan dan bantuan Allah, aku tetap tak berarti apa-apa,
fakir, hina dina dan papah. Kini, walau hidup miskin secara ekonomi, namun aku
sangat kaya di alam mistik. Aku sangat populer di lama supranatural dan
alhamdulillah, bisa mengendalikan ribuan jin. Jin yang kepanasan selama ini
lalu menjadi dingin. Kini semua jin itu tunduk kepadaku dan membantuku bila aku
minta. Terutama dalam hal mempertimbangkan pertolongan sesama. Terima kasih
Tuhan, atas kasih sayang-Mu dan pengendalin hal musykil yang terduga naum ada
dan nyata. Terima kasih ya Allah Yang Maha Mendengar. ****
(Kisah nyata yang dialami Kanjeng Sulton Arsalim yang
dicatat Tia Aweni D.Paramitha untuk online Portal-Mystery.Blogspot.Com
-Red) 
Komentar
Posting Komentar