Pengakuan Menggegerkan Seorang Teroris Kelas Kakap
Tidak bisa mengelak lagi. Aku tertangkap polisi. Hari itu, Selasa Kliwon,
pukul 23.00 WIB, menjelang tengah malam, hari yang sama dengan hari kelahiranku. Jam yang sama dengan jam kelahiranku. Kata
ayahku, dulu, ketika aku remaja, aku akan menemui hari apes pada hari Selasa
Kliwon, hari yang sama dan jam yang sama dengan kelahiranku. Tapi, betulkah?
Eentahlah....
Empat orang aparat Densus 88
memberondongku. Aku digeruduk di tempat persembunyianku, di Desa Jambe Wetan,
Temanggung, Jawa Tengah. Katakanlah begitu. Tim densus yang datang, dari Polda
Daerah Istimewa Yogyakarta, DIY, daerah
yang terdekat dengan persembunyianku kala itu di daerah eks karesidenan Kedu.
Pada
mulanya, para polisi yang terlatih itu melepas tembakan ke udara. Karena aku berusaha
melarikan diri dari jendela belakang, maka empat polisi itu menembak langsung
ke arahku. Kaki ku terkena timah panas. Lima butir hulu peluru bersarang di
kaki dan pahaku. Dan, akhirnya, aku pun tak bisa berlari lagi. Aku terjatuh, ambruk bersimba
darah.
Hari
itu, adalah hari nahasku. Ya, hari itu, hari pertama kali aku dapat tertangkap
aparat. Padahal selama bertahun-tahun aku selalu lolos dari kejaran polisi.
Arkian,
maka saat seperti itu lah, ya, menjadi saat terakhir kali nya kisah pelarianku
sebagai teroris. Aku diringkus dan tidak
bisa berkutik lagi. Batinku berbisik, ya, tamatlah riwayatku hari itu. Semua
selesai dan aku harus menyerah.
“Berhenti,
jangan mencoba lari lagi. Lari lagi, kamu akan mati,” teriak seorang anggota,
kepadaku. Katakanlah anggota itu bernama Naim Somad, anggota Densus 88 Anti Teror. Satuan khusus divisi
antiteror bentukan Mabes Polri yang luar biasa canggih dan terlatih dalam menangkap
teroris seperti aku. Bahkan, puluhan teman-temanku, termasuk gembong teror Abu
Jahal. sebutlah begitu, mati bersimba darah di peluru Densus 88 Anti Teror.
Aku menyerah. Kuangkat kedua
tanganku sebagai tanda aku menyerah. Lain dari itu, aku memberi sinyal kepada
mereka bahwa aku tidak akan melakukan perlawanan. Aku lemparkan pestol kaliber
38 ku ke depan polisi yang siap menembak lagi. Seseorang memungut senjata itu
dan aku dibekuk. Aku digiring ke mobil polisi dan dibawa ke markas mereka.
Aku ditahan dan diperiksa secara maraton. Aku
di BAP dan siap diadili di pengadilan negara. Aku terancam hukuman mati dan
hukuman seumur hidup.
Berbeda
dengan Kanjeng Sulton, otak teror yang menguasi ragam ilmu lnuwih, aku tak dapat raib masuk ke dinding, ke tembok atau ke dalam
pohon seperti Kanjeng Sulton. Ilmu panglimunan yang dipunyai Kanjeng Sulton, sangat luar biasa,
dan ilmu itulah yang menyelamatkan dirinya.
Kanjeng Sulton mampu menghilangkan dirinya.
Dia berubah menjadi nyamuk, lalat atau semut hitam kecil yang tak terlihat. Lain
dari itu, tubuhnya juga tidak mempan ditembak dengan senjata apapun.
Memang, Kanjeng Sulton adalah orang sakti mandraguna
dan linuwih. Dia juga seorang yang waskita. Seharusnya, aku bisa belajar ilmu
itu pada Kanjeng Sulton dengan mendatangi Kanjeng Sulton Rajasa di Bukit
Pargiat, Raja Ampat, Papua Barat, tempat meditasinya.
Namun
karena ketidaktahuanku, maka semuanya menjadi terlambat. Aku keburu ditangkap
setelah diburu beberapa saat. Lain dari itu, komandan Densus 88, pemimpin
penangkapanku, sebutlah AKBP Naim Padamaran, adalah seorang yang punya ilmu mistik tinggi. Seorang
yang mumpuni karena dia membawa bekal dari kampung halamannya tatkala dia mau
Akademi Kepolisian Semarang puluhan
tahun yang lalu. AKBP Naim Padamaran mempunyai ilmu pemecah panglimunan dan
peluntur ilmu kebal. Sedahsyat apapun ilmu kebal seseorang, maka dengan peluru
AKBP Naim Padamaran, maka tubuh si kebal akan terkoyak dan tembus peluru.
Peluru AKBP Naim, ternyata selain dimantrai, juga dikencingi dengan air seni
dirinya, sebelum dipendam di tanah kuburan beberapa waktu. Maka itu, AKBP Naim
menjadi polisi yang paling ditakuti para pemilik ilmu kebal dan ilmu
panglimunan yang beraktifitas di dunia kejahatan. Baik rampok maupun teroris.
Kini aku ditahan di kantor polisi resort.
besok aku akan dibawa ke tahanan Densus 88 di Markas Komando (Mako) Brimob di Cirasas,
Jakarta Timur. Namun, berkat bantuan Kanjeng Sulton, aku dapat melepaskan diri
dari kawalan polisi dan lari. Aku melarikan diri dan dilindungi oleh Kanjeng
Sulton, gembong teroris yang sangat licin dan lihai menyelamatkan diri dari
polisi. Kini, aku dalam kawalannya dan diselamatkannya. Jika tidak, aku akan
dihukum mati dan dieksekusi di depan puluhan senjata laras panjang eksekutor
hukuman mati.
Tiga tahun aku dalam pelarian. Tiga
tahun aku menjadi orang yang sakti mandraguna. Tidak bisa dilihat oleh aparat
dan tidak bisa ditangkap oleh polisi manapun. Kanjeng Sulton menurunkan ilmu
panglimunan dan ilmu kebal tembak kepadaku.
Namun,
hanya tiga tahun ilmu itu bertahan. Setelah itu aku harus men-charge lagi diriku, memperbarui dan
diasah ulang. Aku harus mendatangi Kanjeng Sulton di tempat persembunyiannya di
Raja Ampat, Papua Barat.
Sejak aku berhenti kuliah di Fakultas Tarbiyah
Universitas Islam Nusantara Jaya, aku berangkat ke Filipina Selatan. Di negara
Corazon Aquino itu aku menjadi serdadu. Perang melawan polisi dan tentara
Manila yang menyerbu ke Mindanau. Aku membela kelompok muslim Moro yang
diuber-uber oleh tentara Manila.
Sejak tahun 1997, aku menjadi salah seorang mujahidin Indonesia.
Kami semua berjumlah 58 orang dan membantu Noor Misouri, pemimpin Islam Moro
untuk melawan pemerintah Manila.
Pada masa awal aku tinggal di
Mindanau, aku memegang senjata. Senjata yang aku pegang pun, senjata organik
otomastik M 16. Aku berlatih tempur di
hutan, bukit dan tepi laut. Semua tehnik tempur aku lakukan dan aku pelajari. Namun, sejauh itu,
aku masih bisa dilihat dan ditemukan oleh musuh. Aku belum punya ilmu gaib
apapun dan tak ada ilmu apapun di dalam diriku kecuali ilmu tempur.
Setelah pulang ke Indonesia dan
tertangkap setelah melakukan peledakan bom di sebuah kedutaan negara
asing, barulah aku menyadari tentang
pentingnya ilmu gaib Aku datang pada malam
tahun baru, 31 Desember dan mengebom
beberapa tempat ibadah secara bersamaan. Namun, usaha itu banyak yang gagal.
Upaya kami diketahui dan dicegah oleh beberapa fihak, terutama pihak kepolisian
Republik Indonesia.
Agar selamat dari penangkapan polisi
anti teror, aku dimandikan air sendang Narmada Lombok Barat yang dingin.
Dibakar dengan asap kenyenyan. Disiram dengan parfum Elizabeth Arden dan
Possesion oleh Kanjeng Sulton. Aku
dimantrai dengan mantra Kanjeng Nabi Chaidir Alaihis Salam. Manra sakti untuk
keselamatan diri. Besoknya, habis diritual, aku langsung berhasil mebom
beberapa tempat dan beberapa daerah. Namun, kesuksesan itu, tidak membuat aku
sukses menyelamatkan diri, karena hari itu aku terkena tembakan dan kakiku
pincang.
Aku diperintahkan
ustad ku untuk belajar ilmu misktik dengan Kanjeng Sulton. Namun aku menolak.
Kala itu aku tidak begitu yakin dengan ilmu panglimunan dan ilmu kebal itu.
Maka itu, aku dikembalikan ke Mindanau untuk
kembali membantu Muslim Moro. Aku berangkat ke Manado lalu ke Bitung dan naik
kapal ferry ke Sangir Talaud. Lama aku di Sangir dan tidak melakukan aktifitas
teror di apapun di daerah ini.
Selama di Indonesia, aku
diuber-uber. Aku divonis sebagai teroris besar yang harus ditangkap.
Mereka menduga aku akan meledakkan gedung pencakar langit di
beberapa kota besar. Dan namaku masuk dalam daftar DPO, orang yang paling dicari-cari
polisi.
Padahal,
demi Tuhan, aku tidak terlibat dan tidak
merencanakan menghancurkan gedung pencakar langit. Aku tidak mau bom -bom ku
memakan banyak korban nyawa orang tak bersalah. Maka itu, aku membom yang
kira-kira korban hanya sedikit dan korban itu adalah orang-orang yang bersanti lah,
orang yang anti pada agamaku.
Arkian, aku dicari ke mana-mana. Nyawaku terancam dan
aku ditarget untuk dibunuh. Namun aku
tetap ada di tempat. Aku bersembunyi di bawah tanah. Semacam lobang bunker yang
aku buat sendiri untuk bersembunyi.
Aku melihat para polisi dan polisi tidak dapat
menemukan aku. Aku dapat melihat orang
lalu lalang si balik bunker yang kibuat. Bila aku melakukan kesalahan sedikit pun, maka aku akan tertembak dan mati.
Aku diuber bukan hanya di rumah
orangtuaku di Jakarta Timur, tapi juga diuber di rumah orangtua istriku di
Cibadak, Sukabumi. Aku juga diuber ketika aku ke Palembang, Medan dan Aceh.
Aku melihat
mereka bahkan terkadang aku berada sangat dekat dengan mereka. Namun aku pintar
bersembunyi. Tapi, bila mereka dapat melihat dan menemukan aku, maka matilah aku. Maka itu, sebenarnya,
aku butuh sekali Ilmu raib, ilmu
menghilang, ilmu panglimunan. Ilmu yang sangat ampuh dan mumpuni hingga aku selamat dari
penangkapan di mana pun aku berada.
Sebelum
aku berlayar ke Filipina Selatan kedua kalinya, aku ditangkap lagi. Namun,
Allah menyelamatkanku akan aku terjun ke laut Sangir Talaud dan mentelam di
antara karang-karang laut. Dalam penangkapan itu, aku berhasil melarikan diri
dari speedboat Densus 88 dan kabur
terjun ke laut dan keluar di Pulau
Miangas.
Tentang mengapa aku menjadi teroris,
dan apa sebab musababnya, di sini aku ceritakan. Ketika aku tamat sekolah menengah atas, aku
aktif di pengajian Nurul Hidayah, Jakarta Timur. Guru ngajiku, Ustad Abubakar
Bahmidin, 67 tahun, seorang yang ekstrim dan menginginkan Indonesia menjadi
negara agama. Otakku dicuci, dipatrikan dalam memoriku bahwa Indonesia haruslah
menjadi negara agama. Aku tidak boleh berpaling dari pembelaanku terhadap
agama, jika ingin masuk surga. Aku tidak boleh menolak melakukan jihat
memerangi kafir jika aku menginginkan surga.
Ustad menggambarkan bahwa negara
Amerika Serikat itu jahat. Mereka memerangi umat Islam dan aku harus membela.
Menghancurkan semua aset Amerika di Indonesia dan bila aku mati, aku akan
menjadi syuhada. Sahid. Akan mati sebagai sahid dan langsung masuk surga. Demikian doktrin yang merasuk ke otakku dan
aku meyakini itu. Untuk itulah, maka aku nekad menjadi teroris. Semua itu di luar pengetahuan
ayah, ibu dan semua familiku.
Syahdan,
maka aku belajar membuat bom, merancang bom dan merakit bom-bom itu lalu
meledakkannya.
Pada tanggal 12 November, aku
diberangkatkan ke Filipina Selatan. Aku masuk ke Mindanau via Sangir Talaud dan
Pulau Miangas, pulau yang paling utara Indonesia. Aku diperkenalkan dengan ragam senjata api dan
ilmu merakit bom. Aku juga belajar menembak tepat, menjadi sniper selama dua
bulan. Pelatihku, adalah tentara Moro di
Filipina Selatan.
Sebagaimana yang diketahui,
masyarakat Filipina Selatan, khususnya Suku Moro adalah, masyarakat yang
beragama islam. Semua Suku Moro adalah muslim. Karena Morodizolimi oleh
pemerintah yang bukan islam, maka Moro melakukan perlawanan gerilya. Dan, aku
masuk dalam kelompok perlawanan itu. Kami berperang melawan orang-orang yang
kami anggap kafir dan aku berhasil membunuh banyak polisi dan tentara negara
itu.
Perang melawan tentara yang
bersenjata moderen, ternyata bukanlah hal yang muda. Selain bersenjata canggih,
tentara juga semuanya ahli menembak jitu. Aku ahli, mereka ternyata jauh lebih ahli daripadaku.
Untuk melawan tentara bersenjata
moderen dan jago menembak, aku diajari Kanjeng Sulton yang sengaja datangh dari
Papua Barat untuk mengajarkan Ilmu Panglimunan dan ilmu kebal tembak kepada
tiga mujahidin asal Indonesia termasuk aku. Setelah itu, aku mendapatkan ilmu
sakti mandraguna dari Kanjeng Sulton. Baik ditembak dengan senjata canggih
maupun ditusuk dengan senjata tajam, aku tidak mempan lagi. Semuanya sudah aku
coba dan teruji dengan tepat.
Selama dua bulan, aku belajar ilmu
itu. Aku lalu dimasukkan ke dalam laut dan tidur di atas pohon-pohon lebat.
Setelah itu, aku diberi mantra-mantra dan jimat sakti mandraguna. Khususnya
untuk kekebalan dan panglimunan. Panglimunan itu artinya ilmu raib, ilmu
menghilang dan ilmu merubah diri. Malih rupa dari manusia menjadi hewan, unggas dan ikan.
Bila di darat, aku akan menjadi kambing. Bila di laut, aku berubah menjadi
ikan. Bila dekat tembok, aku akan menjadi cicak. Dan semua itu sudah terbukti
setelah aku diberi oleh ijazah oleh maha guru, guru linuwih Kanjeng Sulton yang
juga pakar teror asal Indonesia yang ngamandito
Raja Ampat, Papua Barat.
Ketika terjadi pertempuran antara
kami, Moro melawan tentara Manila di Blok Lima Mindanau Ujung, aku terkena
tembakan beruntun. Alhamdulillah, karena ilmu linuwih warisan maha guru, maka
tubuhku menjadi karet. Membal dan tak mempan tembak. Peluru memantul dan
tubuhku tidak terluka sedikitpun.
Sementara tentang ilmu menghilang,
raib, aku juga telah membuktikan dengan gemilang. Ketika rombongan tentara
Manila menggeruduk markas kami, aku ada di dalam rumah tapi mereka tidak
melihat. Aku menjadi angin dan menempel di dinding beton markas kami menjadi
cicak. Setelah itu, bertemu pula mereka
di pelabuhan laut di Mirasang Bay, mereka berjumlah 134 orang, namun semuanya
tidak melihat aku. Yang mereka lihat hanya ikan lumba-lumba yang bermain di
dekat pelabuhan, sedang memakan anak anak ikan seluwang laut di sisi kiri dermaga.
Yang sedang makan anak-anak ikan itu,
adalah aku, bukan ikan lumba-lumba sebagai mana yang mereka lihat.
Ketika aku ditugaskan masuk kota
Manila dan merancang bom, tak satu pun tentara dan polisi setempat melihat aku.
Ilmu panglimunanku telah membuat aku menjadi makhluk halus, menjadi sejenis jin
yang ada tapi tiada. Artinya ada tapi tak bisa terlihat oleh siapapun. Kecuali
orang yang berlimu supramistika tinggi, barulah bisa melihat aku. Tapi, tentara
dan polisi Filipina, tidak ada satupun yang memiliki ilmu mistik. Mereka sangat
rasionalis dan tidak percaya kepada ilmu supramistik. Maka, hal itu, justru
menguntungkan kami yang memiliki ilmu panglimunan dan ilmu kebal tembak
tersebut.
Setelah perang membantu muslim Moro,
aku dipanggil ustad kembali ke tanah air. Ada tugas teror di Jakarta dan Bali.
Aku kembali pada tanggal 11 Februari dan terbang ke Bali. Tugasku banyak
sekali, yaitu merakit bom, membuat bom dan meledakkan bom itu. Jangan sebut
lokasi bom yang aku buat, tapi semua bom itu meledak dan mencapai sasaran.
Selama setahun, aku menjadi boronan
dan buruan polisi Densus 88. Aku pindah dari satu kota ke kota lain. Pindah
dari satu kontrakan ke kontrakan lain. Selama itu, beberapa kali Densus 88
mendatangi rumah kost ku. Tapi mereka tidak melihat aku karena aku menjadi
ayam. Pas di tepi laut, aku masuk ke air dan menjadi ikan. Aku lari ke tembok,
merubah diriku menjadi cicak. Jika polisi tahu ilmu ku yang berubah menjadi
ayam, cicak, kambing atau ikan, pastilah dia akan menembak cicak itu. Sebab
cicak yang mereka lihat itu sebenarnya adalah aku. Bersamaan dengan pencarian
diriku, aku masih melakukan serangan-serangan. Baik tembakan maupun meledakkan
bom pada sasaran yang sudah dirancang sebagai teror. Teror yang melahirkan
dampak positif sebagai publisitas.
Kini, pada tahun 2014 bulan Agustus,
aku bertobat. Aku memilih tinggal di Pulau Chrismast, Australia dan menjadi
manusia biasa. Aku mengurus mesjid di pulau ini dan bertobat. Aku memohon maaf
kepada semua korban, keluarga korban dan aku bersujud, bertobat nasuhah kepada
Allah Azza Wajalla. Kini aku sudah merubah identitas diriku. Baik nama maupun
wajahku. Wajahku sudah berubah 100 persen agar aku terbebas dari penangkapan
polisi. Baik polisi Australia maupun polisi Indonesia. Namun, ilmu panglimunan
dan ilmu kebal, tetap aku pegang dan aku kuasai. Semua itu bukan lagi untuk
melakukan teror, tapi sekedar untuk membentengi diri dari setiap ancaman.
Termasuk, ancaman pembunuhan dari polisi anti teror. xxxxxxx
(Kisah Mukron Aljihad kepada Yudhistira Manaf untuk ditulis di MYsterY)
Komentar
Posting Komentar