ANAKKU, ANAK JIN....DUH GUSTI......
ANAKKU, ANAK JIN
Mendung
menggantung tebal di kaki langit. Matahari tertutup awan hitam dan mentari
bagaikan tidak mampu menerangi bumi lagi. Sementara kilat, geludug dan petir
bergemuruh di angkasa kelam. Mengeluarkan sinar terang bagaikan korsliting
listrik tegangan tinggi.
Aku
baru saja pindah ke Hutan Bangkari, Paser Penajam, Kalimantan Timur. Suatu
hutan belantara lebat, tempat suamiku, Kang Ebet Darussalam, yang akan membuka
lahan pertanian kelapa sawit seluar 3600 hektar. Sebelum proyek perkebunan
besar itu dimulai, kami membangun rumah tinggal di situ. Sebuah rumah semi
permanen bertiang tinggi dari kayu ulin dan dinding rumah dari kayu Kampar.
Sebenarnya
aku belum mau pindah ke Paser Penajam. Aku lebih suka tinggal di Jakarta. Sesekali
saja, aku ke Kalimantan Timur menemani suami. Namun Kang Ebet Darussalam
inginkan aku menadampiginya di lokasi perkebunan sawit yang sudah
dibebaskannya. Seratus orang karyawan sudah dibuatkan rumah dan semua yang
berkeluarga, membawa keluarga ke Hutan Bangkari. Kami membangun barak untuk
karyawan lajang dan membuat rumah permanent untuk pekerja yang membawa istri ke
sana.
Karena
kami tidak punya anak walau menikah sudah Sembilan tahun, maka aku menyetujui
untuk tinggal permanen di Hutan Bangkara. Kami membangun jalan kendaraan ke
dalam dari Kota Paser sepanjang sebelas kilometer. Jalan itu sudah dkeraskan
dengan pecahan batu kali walau belum diaspal. Oleh karena itu tidak berbahaya
bagi kendaraan roda empat yang melintas walau berbecek. Batu kali itu sangat
mmebantu dan mengeras tajam setelah terkena panas matahari yang panjang.
Kami
membeli mobil di Balikpapan. Dua jeep gardan ganda kami siapkan untuk
transportasi di medan berat. Ada jeep daihatsu kredo dan satu lagi jeep toyota
rempo. Keduanya tahan berjalan di becek dan medan berlobang. Maka itu, aku
mampu menyetir dengan baik jeep lapangan itu karena dibiasakan selama tinggal
di Hutan Bangkara.
Senja
itu cuaca sangat buruk. Hari Jumat Pahing, 12 Pebruari 2016 pukul 16.30 WIT.
Petir meledak puluhan kali di udara. Hujan lebat turun membasahi tanah dan
rumah kami. Hari itu aku sendirian di rumah. Kang Ebet Darussalam sedang
mengurusi pembelian mesin di Samarinda. Melakukan pertemuan dengan beberapa
mitra usaha di Balikpapan. “Akang pulang malam, hati-hati di rumah. Jika ada
apa-apa, panggil Ujang Sugandi dan istrinya di blok Bayah. Ajak mereka menemani
mu di rumah,” pesan Kang Ebet Darussalam sebelum pergi ke Samarinda.
“Tenang
aja Kang, aku tidak pernah takut dengan apapun. Jangankan hanya di hutan, di
gunung pun, ketika aku kuliah, biasa tidur di atas gunung yang angker
sekalipun,” kataku. Memang, saat aku kuliah di Universitas Pajajaran Bandung,
aku menjadi salah seorang anggota Wanadri, organisasi mahasiswa Bandung yang
biasa turun naik gunung terangker di Indonesia bahkan di Asia Tengah.
Suamiku
tahu persis bahwa aku bukan seorang yang penakut. Hantu, harimau, srigala dan
ular, sudah biasa aku hadapi. Maka itu ketika memutuskan untuk tinggal di hutan
Paser Penajam, aku sangta siap dan bersemangat. Apalagi untuk menemani suami
tercinta Kang Ebet Darussalam yang aku sayangi.
Hujan
sangat lebat senja itu. Petir, geluduk dan kilat bersaut-sautan di atas rumah
kami di Hutan Bangkari. Di tengah sinar kilat di halaman rumah, aku melihat
sosok seorang pria melintas di antara pohon mahoni tua di halaman rumah kami.
“Ei, siapa itu?” batinku.
Mataku
terus mengawasi sosok misterius itu. Manusia atau binatang. Orang apa hantu?
Pikirku, bertanya-tanya panjang, mengapa sosok itu berjalan di hujan selebat
itu dan tidak menggunakan jas hujan atau payung.
“Siapa
itu?”teriakku dari rumahku. “Hei, siapa kamu, mau ke mana?” pikikku, lebih
keras.
Sosok
manusia yang bersembunyi di balik pohon mahoni umur 500 tahun itu membalas
teriakanku. “Aku Marsam Marsilam. Aku orang pertama yang menghuni hutan ini.
Aku berumah di bawah bukit blok Siantang. Kini aku bekerja di Paser Penajam dan
akan ke sana untuk bekerja,” katanya.
“Kenapa
tidak naik kendaraan, akan berjalan kaki ke Paser Penajam sepanjang 11
kilometer dari sini?” tanyaku, penasaran. “Iya, aku berjalan kaki ke Paser
Penajam karena kendaraanku rusak. Motorku tidak bisa berjalan dan aku tinggal
di gubukku di Blok Siantang,” jawabnya.
Batinku,
kasihan amat itu orang. Marsilam yang harus berjalan sebelas kilometer di bawah
hujan lebat dan berpetir. “Jika engkau mau, pakailah sepeda motor kami, tapi
kembalikan lagi ke sini jika sudah selesai,” usulku, berbaik hati kepadanya.
Sebab kami memang punya motor di garasi bawah dan bisa dipakai walau bukan
motor baru.
Orang-orang Hutan Bangkari baik-baik dan jujur. Aku
percaya saja meminjamkan motor kami karena motor itu pasti dirawat baik dan
dikembalikan lagi jika sudah selesai. Tidak ada orang yang mau mencuri atau
menipu, melarikan kendaraan orang berbaik hati meminjamkan kendaraan itu.
“Baik, terima kasih tawarannya. Aku bisa pinjam dan besok pagi aku akan
kembalikan lagi motor ibu itu,” katanya.
Pria
yang mengaku bernama Marsilam itu berlari ke bawah rumahku. Aku turun ke bawa
di dalam derasnya hujan senja itu. Dia basah kuyup dan kedinginan. Aku lalu
meminjamkan jas hujan sekalian kepadanya. Dia mengucapkan banyak terima kasih
kepadaku. Dia meminta kunci kontak dan minta ditunjukkan di mana motor Honda
Tiger milik kami. Aku menunjukkan motor itu dan mempersilahkan dia mengeluarkan
motor itu. Motor itu distarter dan hidup. Dia lalu pamit kepadaku pergi dengan
jas hujan menuju Kota Paser Penajam dalam hujan lebat.
Lewat
tengah malam, pukul 01.45 WIB, Sabtu Pon, suamiku pulang dengan jeepnya. Aku
membuka pintu dan membimbingnya masuk dengan handuk bersih untuk mengelap
kepalanya yang terkena hujan. Ternyata hujan sangat lama hari itu. Mulai dari
senja Jumat Pahing hingga Sabtu Pon tengah malam.
Hujan
tanpa henti dan terus lebat membasahi bumi. Becek pun tidak terhindarkan di
mana-mana. Suamiku, Kang Ebet Darussalam minta mandi air hangat. Aku
membuatkannya air panas dan mandi sebelum tidur.
Pagi
dinihari itu, sebelum tidur, kang Ebet Darussalam memintaku melayaninya. Kami
bercinta dan berhubungan intim pagi itu. Karena lelah, kami kesiangan, bahkan
tak sempat sembahyang subuh. Aku terbangun jam 09.45 pagi. Aku segera melihat
ke suamiku di sebelahku. Arkian, ternyata suamiku tidak ada di sisiku. “Lha, ke
mana dia?” batinku.
Aku
mencari suamiku ke mobil. Ternyata mobilnya itu sudah tidak ada. Aku segera
menelpon ke HP nya dan tersentak. ternyata suamiku masih di Samarinda dan
meeting hingga pagi hingga tidak sempat pulang. “Akang menelpon tapi HP Eneng
out of area, tidak bisa dihubungi, blank spot,” katanya.
“Maafin
Akang terpaksa tidur di Hotel Sangrila Samarinda dengan mitra setelah meeting
sampai pagi,” kata Kang Ebet Darussalam, dari Samarinda, 120 kilometer dari
rumah kami di Hutan Bangkari.
Jantungku
berdebar hebat. Pikiranku kacau balau dan otakku gundah gulana. “Aku heran dan
bingung, siapa pria yang mirip Kang Eber pulang dinihari tadi dan berhubungan
intim denganku?” batinku.
Suamiku ternyata tidak pulang dan menginap di
hotel Sangrila Samarinda. Sementara tadi malam dia pulang, bawa mobil jeepnya,
mandi air hangat dan tidur denganku. “Aduh, mengapa begini?” tanyaku, di dalam
hati.
Belum
sempat aku menemukan jawaban, pemimjam motor Honda Tigerku, Marsilam datang
mengembalikan motor kami. Dia membawakan
makanan kue lapis legit dari Paser penajam untukku sebagai tanda terima
kasih.
Marsilam
ternyata seorang dukun sakti. Dia bisa membaca apa yang terjadi kepadaku dan
bertanya. Aku dengan jujur menceritakan keadaanku, walau rasanya tidak pantas
aku menceritakan hal itu kepada orang yang baru aku kenal. Tapi karena terpaksa
karena di dalam hutan belantara, maka aku terpaksa mengungkap hal sebenarnya
yang aku alami tadi malam kepada Marsilam.
Marsilan
mendeteksi secara supranatural keilmuannya, soal lelaki yang menyamar sebagai suamiku semalam.
“Pria itu adalah Tendawan Tiung, hantu Hutan Blok Bayah yang menyamar suami ibu
dan berhubungan dengan ibu. Ibu jangan cemas, biar aku yang menghukum Tendawan
Tiung itu dan jika perlu melenyapkannya dari Blok Bayah,” ungkap Marsilam,
serius.
“Maaf
Bu, nanti ibu akan hamil dari jin Tendawan Tiung. Dia adalah jin yang suka
mengamili wanita-wanita, terutama istri orang,” kata Marsilam. Nanti, aku akan
mengangkat benih dari Tendawan Tiung dan memindahkan benih dari suami ibu.
Kelak anak yang dikandung ibu akan menjadi anak sah suami ibu, bukan anak jin.
Tapi, ijinkan saya meritual bapak di Malam Jumat Kliwon, 11 Maret 2016 jam
24.00 WIT bulan depan, untuk memindahkan sperma bapak ke kandungan ibu dengan
cara gaib,” desis Marsilam.
Suamiku
mau. Aku dan suamiku dirawat oleh Marsilam tanpa menyentuh sedikitpun. Marsilam
memajamkan matanya dan konsentrasi penuh kepada Sang Gaib untuk memasukkan
sperma suami ke indung telurku dan menggantikan sperma Tendawan Tiung yang
jahat. Dalam waktu tiga jam ritual selesai dan Marsilam katakana, aku akan
hamil dan punya anak sah dengan suamiku Kang Ebet Darussalam. Namun, untuk
keamanan dan kenyamanan jiwa Kang Ebet, aku merahasiakan kejadian misterius
itu. Aku tidak menceritakan ada jin jahat yang menyamar suamiku dan meniduriku.
Aku pegang rapat-rapat rahasia keadaan ganjil itu dan aku hanya katakana bahwa
Marsilam seorang ahli yang membuat aku dan Kang Ebet punya anak kandung.
Pekan
lalu aku melahirkan. Anak kami seorang
perempuan yang cantik jelita dan normal. Anak kami lahir premature dan masuk
tabung. Namun keadaannya sehat dan kini sudah keluar tabung. Anak kami itu
sangat mirip dengan Kang Ebet Darussalam. Aku dan Kang ebet bahagia sekali
punya anak setelah sekian lama kami menikah tidak hadir momongan. Kami berdua
bersujud syukur dan membuat syukuran besar bersama Marsilam yang linuwih. Dukun
Suku Dayak yang sudah masuk agama Islam dan mengucapkan dua kalimah syahadat.
Saking
bahagianya kami, semua keluarga di Bandung, ayah, ibu, nenek, kakek, adik-adik
semua didatangkan ke Hutan Panggari. Paser Penajam, Kalimantan Timur dengan
pesawat terbang. Begitu juga dengan keluarga Kang Ebet Darusssalam, semuanya
diboyong untuk menghadiri selamatan besar kami punya anak. Semua tenggelam
dalam bahagia dan semua sumringah melihat kami punya anak.
Kemarin
Marsilam tergopo-gopo datang kepadaku. Katanya, Cendawan Tiung sudah
dipindahkan ke Bukit Suharto dan tak akan kembali lagi ke Blok Bayah. Jin jahat
itu tidak bisa kembali lagi dan akan bermukim lama dan mati di Bukit Suharto.
“Dia
minta maaf kepada ibu dan menyebut bahwa anak ibu, bayi yang baru lahir tidak
akan diganggunya. Anak itu anak Bapak dan Ibu, katanya, dia rela tidak akan
menemui sampai dia mati di Bukit Suharto,” cerita Marsilam, kepadaku. Aku
bahagia sekali mendengar kabar ini, karena selama ini aku takut anakku diambil
oleh Tendawan Tiung yang jahat dan binal. Pikirku, selama ini, boisa saja
anakku diculik untuk diajadikan tumbal karena dia merasa anakku itu adalah
anaknya. “Tidak begitu Bu, anak ibu dan bapak adalah hak kalian dan tidak ada
seorang pun akan mengambilnya. Bahkan dilakukan test DNA pun, anak ibu itu
adalah anak Pak Ebet dan ibu, bukan anak Tendawan Tiung,” ungkap Marsilam,
serius.****
(Kisah Nyonya Ebet
Darussalam yang dicatat Henny Nawani untuk Blogspot Mystery-Red)
Komentar
Posting Komentar