Jumpa Arwah Mama Di Saat Aku Sangat Merindukannya....
KETEMU
ARWAH MAMA DI SAAT
AKU SANGAT MERINDUKANNYA
Mama telah pergi. Kepergiannya
itu seperti angin. Laksana kapal layar yang menyeberangi samudera. Lenyap
ditelan perut lautan yang megaluas. Setelah itu, aku tidak menemukannya lagi
hingga hari ini. Namun, dengan melakukan ritual tertentu, aku dapat berhubungan
dengan mamaku di alamnya. Alam “antaberatah” di Selat Karimata, Pangkalan Bun,
Kabupaten Kota Waringin Barat, Kalimantan Tengah. Mama ada di sana bersama arwah korban Air Asia
QZ yang lain. Yang belum ditemukan tim basarnas hingga sekarang. Di luar 50
jenazah yang sudah terindentifikasi oleh tim DVI Polda Jawa Timur.
Hari itu, ternyata adalah hari penutupku melihat mamaku. Hari penghabisan untuk aku
mencium dan memeluknya. Arkian, menyentuhnya untuk terakhir kalinya. Sesudah itu, ternyata, ya, menciumnya
terakhir, lalu tidak dapat aku lakukan lagi untuk selama-lamanya. “Selamat
jalan Mama, semoga Mama diterima layak di sisi Allah dan Mama ditempatkan-Nya
di dalam sorga-Nya yang indah. Aamiin yaa robbal aalamiin,” bisikku, di dalam
hati.
Pesawat AirAsia Airbus Qz 8501
terbang ke meninggalkan landasan pacu menuju langit bagian utara Jawa. Melesat dari bandara Insinyur Haji Juanda
Sidoarjo, Surabaya, pukul 06.45 WIB, Minggu 28 Desember 2014, menuju Singapura
di barat Pulau Batam, Kepulauan Riau. Ibuku berangkat ke Singapura dengan
penerbangan pertama bersama 157 penumpang lainnya. Dengan lima orang awak
pesawat, termasuk kapten pilot Irianto.
Ibuku dan akan menikmati malam pergantian tahun di Kota Singa. Tante
Tania, adik bunsunya, sudah menunggu di
sana. Tante Tania telah memesan tiket menonton konser Rock Heavy Pop Boston
Singers di pesta Akhir Tahun di Orchid Palace. Ibuku suka musik rock bahkan
maniak akan musik keras ini. Di mana
ketika muda, dia pernah menyanyi di grup band rock di Surabaya, The Jailhouse
Rock, yang memainkan lagu-lagu Elvy’s Presley.
Dengan
hati galau aku melihat ekor pesawat berwarna merah putih itu menembus Laut
Jawa. Melintasi Kalimantan Timur menuju daerah laut Kalimantan Barat, Pulau
Belitung lalu mendarat ke bandara Changi, Singapura. Namun, rancangan terbang
itu ternyata gagal total. Kapal udara pecah di Laut Karimata dan semua
penumpang termasuk awak berjumlah 162 orang, tewas seketika.
“Ada tiga
hal yang dirahasiakan oleh Allah tentang kematian. Pertama, kapan kita mati. Di
mana kita mati. Terakhir, dengan cara apa kita mati,” ungkap Ustadzah Mamah
Dedeh yang aku dengar di televisi nasional, Indosiar, suatu pagi setelah mamaku
menghilang.
Aku
memperhatikan televisi dan sengaja duduk manis untuk mendengarkan ceramah agama
Islam itu. Mamah Dedeh dengan lantang mengungkapkan bahwa kita tidak perlu
takut menghadapi kematian. Karena kematian adalah sunatullah dan emua orang
pasti akan mengalaminya. “Dia mau pejabat RT kek, menteri kek, bahkan presiden
sekalipun, pasti akan mengalami kematian. Tetapi tidak tahu kapan, di mana
matinya dan dengan cara apa matinya,” desis Mamah Dedeh di depan anggota
majelis taklim Ar-Rahman di studio Indosiar Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat
itu.
Mamaku
tidak tahu, aku tidak tahu dan semua keluarga kami tidak tahu bahwa mamaku
meninggal dengan cara ini. Suatu cara yang dijadikan oleh Allah dalam suatu tragedi
kecelakaan lalu lintas udara. Pesawat
meledak lalu tersungkur pecah di permukaan laut. Semua isi pesawat kehilangan
nyawa.
Pencarian
tim Basarnas aku ikuti setiap dwtik di telivisi. Aku pindah channel untuk
mencari di mana pemberitaan televisi tentang usaha Basarnas. Begitu juga ketika
TNI angkatan laut terjun membantu. Menyelam ke dasar laut untuk mencari puing
reruntuhan AirAsia. Begitu bertemu puing, jantungku berdetak hebat. Bulukudukku
merinding. Berbeda dengan perasaan Anda yang tidak ada anggota keluarganya di
dalam pecahan pesawat itu.
Apalagi,
di dalam pesawat itu ada ibuku. Ibu kandungku yang melahirkan aku. Ibu yang
menurunkan darahku. Ibu yang telah kucintai sejak aku lahir hingga sekarang.
Ibu yang menyusui aku. Ibu yang sangat aku rapankan dan sangat aku cinta. Kalau
boleh berputar balik ke masa lalu, aku pasti akan melarang ibuku berangkat ek
Singapura. Aku akan marah kepada Tante Tania yang mengajaknya untuk menonton
konser musik yang tidak penting itu.
“Tapi
itulah garis takdir yang kita tidak tahu. Jangankan kita manusia biasa. Manusia
superwoman pun, tak akan tahu bahwa akan ada tragedi kecelakaan pesawat yang
begitu besar. Kodrat, takdir dan garisnya sudah begitu. Ibumu akan diambil di
saat dia terbang. Ibumu diambil dalam keikutsertaannya dalam AirAsia yang
nahas,” kata Kiyai Muhamad Zaki Abdullah, 68 tahun, kiyaiku, kepadaku di Jawa
Timur.
Aku
memahami apakah yang dikatakan kiyaiku. Aku mulai sadar walau pada mulanya aku
emosi, penuh amarah dan gejolak batin, saat baru mengetahui ibuku berada dalam
tragdei kecelakaan itu. Belakangan, karena dorongan kiyai Muhamad Zaki
Abdullah, aku mulai sadar, bahwa takdir ibuku memang harus meninggal di dalam
musibah kecelakaan penerbangan.
“Doakan
saja ibuku, agar amal baiknya selama hidup diterima Allah Azza Wajall dan ibumu
ditempatkan di dalam sorga Allah yang indah,” ungkap kiyai Muhamad Zaki
Abdullah, sambil memberikan air putih jampi-jampi agar aku tenang. Memang,
setelah itu, aku menjaid tenang, teduh dan redah daru segala amarah karena
ibuku belum ditemukan. Air jampi-jampi itu benar-benar ampuh meredam kemarahan
dan emosi jiwaku.
Kiyai
Muhamad Zaki Abdullah memperkenalkan aku dengan Ibu Seruni Dewi. Ibu paranormal
yang mempunyai ilmu linuwih, yang mampu membawa aku ke Pangkalan Bun,
Kalimantan tengah untuk turut mencari jasat ibuku secara supranatural. Aku
membiayai Ibu Seruni berangkat ke Pangkalan Bun dan turun ke Selat Karimata
mencari jasat ibu bersama Basranas. Namun, Basarnas menolak karena laut
bergelombang dan berombak besar, yang sangat berbahaya bagi wanita seperti kami.
“Ibu seorang paranormal, tetapi bukan seorang penyelam. Medan laut sangat
berbahaya bagi wanita, apalagi kalian berdua tidak bias berenang dan tidak
mampu menyelam,” kata Kapten John Haruman, 38 tahun, anggota tim Basarnas di
Selatan Karimata, kepada Bunda Seruni dan aku.
Karena
dilarang iku Basarnas, Ibu Seruni mengajak aku untuk menyewa perahu nelayan
Selata Karimata untuk mencari ibuku. Aku setuju menyewa perahu nelayan dan kami
berangkat ke tengah laut, tempat yang diduga banyak jenazah yang mengambang.
Sayang,
selama tiga hari kami melaut, kami tidak menemukan ibuku. Jangankan ibuku,
penumpang lain pun, tidak kami temukan. Belakangan, kami baru tahu, bahwa
beberapa korban hanyut kea rah timur, ribuan kimoter ke Pare-Pare, Majene dan
Sulawesi Barat. Mungkinkan mamaku juga terseret ombak dan hanyut selama ribuan
kilometer ke timur Pangkalan Bun? “Menurut pandangan gaib saya, ibumu hanuyt ke
timur. Mari kita ke timur, kita cari di daearh Selat Makasar,” kata Ibu Seruni,
kepadaku.
Hari ke
empat pencarian, kami terbang dari Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah ke
Balikpapan, Kalimantan Timur. Dari Balikpapan, kami naik darat, menyewa mobil
Toyota avanza ke Bontang. Sesampainya di Bontang kami ke Selat Makasar melalui
pelabuhan Satimpo.
Dari dermaga
Satimpo kami menyewa speed boat dan berangkat memutari Selat Makasar selama dua
hari dua malam. Namun, ibuku tidak ditemukan juga. Jangankan jasat ibuku
ditemukan, jasat orang lain pun, tidak kami ditemukan di Selat Makasar.
Karena
tidak menemukan tanda-tanda ada korban di Selat Makasar, kami terbang lagi dari
Bontang ke Balikpapan dengan pesawat Cesnna berpenumpang 16 orang. Sesampainya
di bandara Sepinggan, kami berangkat ke Ujungpandang lalu ke Pare-Pare. Di
Pare-Pare kami juga tidak menemukan apapun selama tiga hari di sana. Maka
jumlah hari yang kami jalani dalam pencarian itu, tidak terasa sampai Sembilan
hari.
Karena
uangku habis hingga Rp 100 juta lebih, maka aku mengajak Ibu Seruni untuk
menghentikan pencarian itu. Missi penemuan sudah selesai dan ibuku tidak aku
temukannya juga hingga hari ini. Namun, berkat bantuan Ibu Seruni, aku
diperkenalkan dengan pakar supramistika Jakarta yang punya kemampuan Linuwih
Mandraguna. Ibu Seruni mengaku menyerah dan gagal dalam pencaharian ibuku itu.
Walau sudah banyak uangku keluar, namun sudahlah, takdir Allah memang demikian
adanya.
Teman
baik Ibu Seruni ini adalah Bu Rusdwi. Dia biasa dipanggil sebagai Ratu Pantai
Selatan. Bu rusdwi punya kemampuan merubah sesuatu yang hitam menjadi putih.
Dan merubah yang putih menjadi hitam. Bagaimana dengan ibuku Bunda Ratu Pantai
Selatan? Tanyaku. “Ibumu sudah di dalam surga. Bila kau mau bertemu, kau
terlebih dahulu dititual dengan air raksa, air keras, dan mata batinmu dibuka,
lalu engkau akan bertemu ibumu. Tidak usah ke Selat Karimata. Cukup dilakukan
di rumahmu, di tengah malam.” Desis Bunda Rusdwi, Ibu Ratu Pantai Selatan,
kepadaku.
Aku
dimandikan air keras, air raksa oleh Ibu Rusdwi. Air kimia yang yang
membahayakan itu, alhamdulillah menjadi jinak di tubuhku setelah diritual oleh
Bu Rusdwi. Air yang biasa mampu dalam hitungan detik menghancurkan logam itu,
menjadi air mineral di tubuhku. Bahkan air raksa itu aku minum dan rasanya
sperti air mineral biasa. Aura, kharisma gaib dan wibowo supramistik, dibukakan
oleh Bu Rusdwi dan mata batinku langsung terbuka lebar.
Malam
harinya, pukul 23.45 tengah malam, tubuhku mengecil dan aku terbang melayang
keluar rumahku. Teus melayang mengikuti arah angin dan sampailah di suatu
tempat. Belakangan, aku tahu bahwa daerah itu adalah daeral Pulau Kumai, Selat
Karimata, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Di sebuah kerajaan indah yang penuh
pohon berbuah ranum, aku bertemu ibuku dan kami berpelukan erat. Ibuku menangis
dsan aku menangis. Terharu akan pertemuan itu. “Ikhlaskan Mama di sini Nak, Mama
sudah bahagia dan Mama sangat bahagia di sini. Setelah ini, doakan saja Mama,
kirimkan Al Fatihah dan surat yasiin
setiap malam jumat untuk Mama. Karena bacaan Al Qur’an yang kau tujukan untuk
Mama, pasti sampai kepada Mama dan Mama makin bahagia di sini,” desis Mama,
sambil meneteskan airmata haru dan bahagia.
Ibuku
mengenakan baju panjang warna putih. Gaunnya indah sekali dan tubuh mamaku
wangi seperti bau melati. Aromanya sangat indah, sejuk dan hingga kini
terngiang di hidungku. Bahkan, aku jatuh cinta kepada bunga melati, mawar dan
kantil yang ada di dalam alam antahberantah mamaku ketika aku temui secara gaib
di Selat Karimata.
Maka
dengan bau tiga kembang ajaib itu, aku dapat menemui ibuku sewaktu-waktu. Kapan
aku mau bertemu Mama, aku tinggal memasukkan mawar merah, kantil dan bunga
melati ke dalam air di dalam ember. Sekarang, setiap kali aku melakukan ritual
kembang tiga warna ini, tubuhku mengecil lalu aku melayang ke Selat Karimata
dan menemui mama di kerajaan Antahbertantah. Bahkan, belakangan, aku menolong
para korban yang kepingin bertemu keluarga mereka yang raib akibat tragedy
kecelakaan maut penerbangan AirAsia QZ 8501 tersebut. Jika tidak berhasil, aku
membawa para keluarga korban ke Ibu Rusdwi guru spiritualku. Bu Rusdwi dengan
ringan tangan dan rendah hati membantu. Tekadkku, aku akan menjadikan IbuRusdwi
sebagai mahaguru dan aku akan terus berguru dengannya. Sampai kapanpun. Sampai
aku mampi mandiri dan bias melakukan ritual sendiri setelah diijazah oleh Sang
Guruku. Bunda cantik secara gaib yang indah dan rendah hati tersebut. Terima
kasih Bu Rusdwi, terima kasih Tuhan, Allah Azza Wajalla yang Maha Agung.*****
(Kisah Anggita
Susilawati. Yana Yuliani Malimping menuliskan kisah itu untuk
portal-mystery.blogspot.com)

Komentar
Posting Komentar