"Mengapa Aku Jadi Teroris!"
MENGAPA
AKU JADI TERORIS
Kemampuanku berbahasa asing, terutama
Perancis, membawa aku ke dalam petaka yang tak terduga. Petaka yang seharusnya
tidak terjadi pada perempuan lemah seperti diriku. Oleh sebab itu, karena
kemampuan ku berbahasa Eropa Barat, maka
aku diculik oleh kelompok teroris IKIBOGA, bukan nama sebenarnya, suatu
organisasi teroris bawah tanah yang berposko di Mindanau, Filipina Selatan.
Gembong teroris IKIBOGA, Hanan Dolar, bukan manusia biasa. Dia kepala
teroris yang sangat kejam. Gembong teror yang tidak punya hati, tidak punya
rasa dan berotak batu cadas yang keras.
Jangankan musuh, anak buahnya sendiri pun, akan dihabisi olehnya bila berbeda pemikiran dengannya. Untuk itu,
ketika ibuku dibunuhnya, aku tidak menunda-nudan lagi. Akulah yang melakukannya
sendiri. Membunuh balik Hanan Dolar yang biadab. Tanganku berdarah-darah dan
kepala otak Hanan Dolar pun, bersimba darah. Duh Gusti!
Syahdan, sejak aku dimasukkan ke
kelompok teroris sadis itu, otakku pun lalu “dicuci” oleh Hanan Dolar. Aku diajari
tentang amunisi, detonator dan perakitan bom. Maka, setelah itu, pekerjaanku
pun akhirnya menjadi pengebom. Aku dipaksa mengebom gedung-gedung pencakar
langit, pasar serta pusat pertahanan Negara.
Mendengar aku jadi teroris, ibuku
dating dari Sumatera Utara menacari aku ke Mindanau. Ibuku
menangis. Ibuku menarik aku untuk pulang
kampung ke Brsatagi, daerah sejk di kaki Gunung Sinabung. Ibu menginginkan agar
aku segera kembali bersamanya. Ibuku juga menginginkan aku kembali ke jalan
hidup yang normal. Bekerja baik-baik
sebagai wanita dan bukan jadi teroris.
Untuk itu, dengan tekad baja ibuku
menjemput aku ke sarang teroris Mindanau dan ibuku terbunuh. Yang membunuh
ibuku, Hanan Dolar sendiri. Pria tanpa
istri dan tanpa anak berumur 54 tahun
itu menembak kepala ibuku dan wanita yang melahirkan ku itu, tersungkur tewas
di tempat. Yang lebih pahit, pembunuhan terhadap ibu kandungku itu dilakukannya
di depan mataku. Jantungku berdetak hebat dan aku tergunjang. Sejak itu aku marah
dan menjadi dendam. Aku sangat murka dan bertekad kuat untuk membalas dendam atas
kematian ibu. Beberapa saat kemudian, aku ambil langkah membelot kepada
pemerintah Filipina dan ikut serta memberangus teroris yang membantai ibuku.
Hanan Dolar akhirnya mati bersimba darah. Dia mati di tanganku.
Belakangan, dunia gaib menyadarkan
aku tentang kasih sayang. Dan, aku pun menerima perintah menjadi paku bumi.
Paku yang menancap dalam untuk mencegah gempa besar. Kanjeng Ratu Kidul, suatu
malam mendatangiku. Dia wujud di hadapanku. Menjadi wanita cantik bermahkota
emas dan busana serba hijau mengkilat. Kanjeng Ratu Kidul menyadarkan aku untuk
keluar dari Mindanau dan menempati rumah gaib baru di Parang Endok, Parang
Tritis, Yogyakarta Selatan.
Sejak
Hanan terbunuh dan aku jumpa Kanjeng Ratu Kidul, aku lalu melarikan diri ke Pulau Miangas. Pulau yang masuk zona laut
internasional milik pemerintah Indonesia
di utara Sangir Talaud. Sebelum ada
perintah lanjutan dari kanjeng ratu Kidul, aku memilih bersembunyi terlebih
dahulu di Pulau Miangas. Syahdan, aku lalu bersembunyi di desa Tanjung Wora, Miangasak, kecamatan Nanusa, kabupaten
Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. 48 mil laut dari Negara Qorazon Aquino, Mindau
di Filipina Selatan itu.
Pulau
Miangas adalah kepulauan kecil paling utara wilayah Indonesia. Sedang pulau
yang paling selatan Indonesia adalah Pulau Rote di Nusa Tenggara Timur, NTT.
Yang berhadapan dengan Negara Bagian Darwin, Australia.
Pulau
Miangas hanya berluas 315 kilometer per-segi. Penduduk hanya berjumlah 2015
jiwatahun 2012 lalu. Mayoritas warga setempat dari Suku Talaud. Hanya beberapa
orang saja dari suku lain, termasuk aku yang berasal dari Suku Karo, Sumatera
Utara. Kepala adat Talaud di Pulau Miangas, punya kemampuan terbang malam seperti
garuda. Kanjeng Ratu menganjurkan aku berguru ilmu terbang dan aku pun akhirnya
mahir terbang jauh seperti bangau.
Pada
tahun 1677, Pulau Miangas dikuasai Belanda. Mahkamah Albitrase Internasional
melalui hakim Max Huber mensahkan Pulau Miangas menjadi milik Indonesia pada
tanggal 4 April 1928. Hingga saat ini, pulau
yang sudah dikuasai oleh Indonesia ini, sering dianggap sebagai pulau rawan
penyelundupan dan teroris. Salah seorang teroris yang ada di sini, adalah aku.
Selama
setahun aku tinggal di Miangas, aku menjadi nelayan perempuan. Aku melaut
mencari ikan di malam hari bersama nelayan pria asal Suku Talaud, sementara di
siang hari, aku mengajar bahasa Perancis secara privat anak-anak SMA yang
berminat bahasa Perancis. Hidupku apa adanya di sini. Sementara ayahku, yang
masih tinggal di Sumatera Utara, mengharapkan aku kembali ke Brastagi. Aku
berjanji pada ayah untuk kembali, tapi tidak sekarang. Aku akan memenuhi
perintah Kanjeng Ratu untuk belajar terbang hingga aku mampu terbang tanpa
pesawat ke Brastagi menjumpai ayahku.
Setelah
tiga bulan aku tinggal di Tanjung Wora sebagai nelayan, aku didatangi seorang Kepala
Suku Swanggi. Kepala Suku inipun diperintah secara gaib oleh Kanjeng Ratu untuk
menari dan menemukanku di Pulau Miangas. Swanggi itu adalah orang Suku Talaud
yang mempunyai ilmu terbang. Keturunan raja-raja Talaud yang memiliki ilmu
warisan leluhur, ilmu saktimandraguna. Kepala Suku Talaud yang bijaksana itu,
mengajarkan aku ilmu terbang. Pakar Swanggi itu mengajarkan ilmu terbang kepadaku
setiap malam selama tiga bulan. Dan aku sangat tertarik mempelajarinya. Dengan
sangat bersemangat, setiap malam aku menimba ilmu baik mantra-mantar maupun
praktek langsung terbang di atas permukaan laut.
Lima bulan aku belajar Ilmu Swanggi dengan
Ferdinand Mahana, 46 tahun, kepala duku itu, Alhamdulillah, aku mampu terbang di malam hari
dalam jarak 100 kilometer pulang balik.
Kemampuan terbangku itu makin jauh dan jauh sekali. Mulanya terbang
bersama Pak Ferdinand Mahana, tapi lama kelamaan aku dilepaskannya sendirian.
Pulang balik ke Manila, Filipina dan Manado, Sulawesi Utara, Indonesia.
Mulanya aku terbang ke Mindanau, Filipina
Selatan, jarak pendek di malam hari. Lalu beberapa hari kemudian, setelah aku mampu terbang siang, maka akupun terbang
ke Hongkong dan Taiwan, terakhir, sebelum ke Yogyakarta, aku terbang ke Seoul,
Korea Selatan. Aku menemui tanteku di Illchiro dan pamanku yang dagang busana
di Itaewon dan Nam Dae Mon, Seoul.
Setelah
tiga tahun aku mampu terbang, belakangan
aku mengajar ilmu terbang itu di Manila. Pemerintah Filipina meminta aku
menjadi guru. Walau, saat itu Kanjeng Ratu Kidul mendatangiku meminta agar aku
segera ke Yogyakarta.
Beberapa orang warga muslim Kota Manila, Filipina itu,
kuajari ilmu terbang. Setelah mereka mampu terbang, merekapun memberi
pelajaran lagi kepada yang lain, hingga ilmu terbang Swanggi berkembang pesat
di Filipina dan menjadi sangat popular dikalangan praktisi Ilmu Gaib.
13
Januari 2013 aku pulang ke Brastagi. Ayahku yang sudah lama sakit-sakitan,
meninggal dunia. Setelah penguburan ayah, aku ke Yogyakarta dan tinggal di
Parang Endok, Parang Tritis, Yogyakarta Selatan. Ketika di Brastagi, Kanjeng
Ratu Kidul datang kepadaku tengah malam sepulang aku dari makam. Kanjeng Ratu
memerintahkan aku segera saat itu juga untuk tinggal di Parang Endok untuk
menjaga Laut Selatan. “Laut selatan dalam bahaya dank au harus segera membantu
di sana,” kata Kanjeng ratu, memerintahkanku hari itu juga.
Aku langsung
terbang tengah malam itu juga dari Brastagi ke Bantul, Daerah Istimewa
Yogyakarta dan langsung ke Parang Endok. Aku berumah di sebuah gubuk sambil berjualan minuman untuk para turis. Kanjeng
Ratu meminta aku menyamar, tidak menonjolkan ilmu Swanggi ku dan aku dilarang
mengajarkan ilmu ini di daerah Samudera Hindia. “Ilmu Swanggi itu ilmu gaib
utara, sedangkan Parang Tritis adalah daerah selatan, berbeda perairan, tidak
boleh, sangat berbahaya untuk kamu sendiri,” kata Kanjeng Ratu, kepadaku.
Akupun menjadi manusia biasa. Jadi perempuan miskin yang lemah dan papah di
Parang Endok.
Tentang
apa bahayanya, aku tidak mau tau. Namun yang jelas aku menuruti apa keputusan
Kanjeng Ratu Kidul kepadaku. Aku harus merendahkan diriku di daerah ini dan
menyamar sebagai pedagang. Aku hidup seperti orang miskin yang berjualan
minuman ringan dan gorengan dengan barang yang sangat sedikit. Persis sekali
kaum kere. Namun, Kanjeng Ratu Kidul memberikan emas laut, mutiara, King Safir
yang begitu banyak. Harta itu tersimpan teratur di bawah gubukku. Dalam pasir
sedalam enam meter. Bila aku memerlukan uang, maka barang-barang itu bisa aku
gali dan kujual ke Jakarta. Aku terbang pada malam hari dan pulang di malam
hari berikutnya dari Jakarta ke Yogyakarta pulang balik.
Pada
suatu malam, Kanjeng Ratu Kidul memanggil aku ke istana di dasar laut. Istana
itu di tengah Samudera Hindia. Di antara Laut Australia dan Indonesia di
selatan Pulau Jawa. Sebuah kerajaan yang super mewah dan indah sekali. Istana
dengan tiang dan dinding yang semuanya dari batu mulia King Safir dan emas 24
karat. Bagian emas dan King Safir itu, tersimpan di bawah gubukku di Parang
Endok. Boleh aku jual untuk membantu siapapun yang membutuhkan. Utamanya orang
miskin dan orang susah yang sedang terkena musibah.
Selain
ilmu terbang yang aku kuasai dari Suku Talaud, kaum Swanggi di Pulau Miangas,
kini aku diajari Kanjeng ratu Kidul menjadi ikan paus. Aku mampu berenang jauh
di dalam air laut. Alhamdulillah, aku mampu berenang cepat dari Samudera Hindia
menyeberang ke Samudera Atlantik bahkan ke Antartika yang dingin. Ilmu demi
ilmu gaib aku dapatkan dan Allah Azza
Wajalla memberikan ragam ilmu gaib kepadaku secara maunnah. Allah memberikan
kepadaku melalui Manusia Mandraguna di Pulau Miangas dan Kanjeng Ratu Kidul,
Raja Jin penguasa laut selatan. Semuanya memberikan ilmu kepadaku dan aku tidak
boleh jumawa dan sombong. Aku harus selalu merendahkan diri, rawaddu kepada
Allah Azza Wajalla.
Pada
pertemuan terakhirku di Kerajaan Sumadera Hindia, keraton Kanjeng Ratu Kidul,
aku diperintahkan untuk menjaga Jakarta dari bencana. Selain Jakarta aku juga
harus menjaga daerah penyanggah ibukota seperti Tangerang, Bekasi dan Bogor.
Maka itulah, Kanjeng Ratu memerintahkan aku untuk menjadi paku bumi di Jakarta
dan berposko di Depok, Bogor, Jawa Barat. Daerah Jakarta ke selatan. Aura Depok
itu sangat tepat bagiku dan Kanjeng Ratu menyukai daerah itu. Maka itulah, aku
diperintahkan untuk berumah tinggal di
Depok. Mengawasi Jakarta dari wilayah selatan ibukota.
“Kau
harus menjadi paku bumi di Jakarta dan sekitarnya agar Jakarta tidak menjadi
ambruk. Bila gempa terjadi di Jakarta dan sekitarnya dengan kekuatan 8 atau 9
skala richter, maka semua gedung pencakar langit akan runtuh dan Jakarta
ambruk,” desis Kanjeng Ratu Kidul, yang biasa aku panggil Bunda Ratu, kepadaku.
Dalam
skenario gaib, ada gambar yang sangat jelas tentang gempa besar di Jakarta. Dan
gempa besar itu tidak terdeteksi oleh cabang keilmuan apapun. Termasuk alat
untuk mendeteksi gempa yang dimiliki oleh badan meteorologi dan geofisika.
“Alat apapun tidak akan mampu mengetahui dini bahwa akan ada gempa berkekuatan
besar. Tau-tau Jakarta gempa dan semua
gedung pencakar langit ambruk. Terlalu banyak manusia akan meninggal dalam
hitungan detik. Untuk itu, kau lah paku bumi itu, agar Jakarta aman dari gempa.
Maka itu, tempatmu di sekitar Jakarta sebagai paku,” kata Kanjeng Ratu Kidul
kepadaku.
Sebagai
paku bumi, aku dipantekkan ke dalam bumi
dengan kedalaman dan pelebaran tidak terukur. Sangat dalam dan sangat luas. Aku
menjadi paku bumi yang menancap agar gempa, kerak bumi, lempengan bumi dan isi
bumi tidak bergerak lagi. Satu tubuhku, di dalam gaib, dipecah menjadi jutaan
paku. Satu tubuhku, di dalam dunia gaib, dijadikan baja kokoh dan panjang yang
mengikat agar pergerakan dan pergesekan inti bumi, tidak bias berkutik menjadi
gembar besar. “Gempa tetap aka nada, tapi tidak besar dan tidak berbahaya,”
pesan Kanjeng Ratu Kidul, kepadaku.
Tanggungjawabku
tidak ringan. Bila berkarat dan paku itu patah, maka gempa besar akan terjadi
dan Jakarta akan hancur. Maka itu, aku tidak boleh berkarat dan aku harus
selalu kuat, kokoh, tegap dan paten. Untuk menjadi kuat, kokoh dan paten, aku
diperintahkan untuk terus berzikir, wiridan dan sembahyang tahajut. “Bila
engkau lalai berzikir dan mendekati Allah Azza Wajalla, maka kau akan berkarat
dan Jakarta berikut jabotbek akan hancur,” pesan Kanjeng Ratu. Maka itu, aku
tak pernah berhenti zikir, wiridan dan tahajut di luar sembahyang wajib.
Sebagai muslimah, aku diciptakan mengisi kehidupan dengan baik dan berguna bagi
banyak orang. “Kau tercipta menjadi lilin. Tubuhmu akan habis lumer tetapi di
sekitar mu menjadi terang, mendapatkan sinar. Itulah kamu. Kamu akan dicukupkan
rejeki nya tapi tidak bokeh kaya dan dilarang hidup mewah,” kata Kanjeng Ratu.
Sebagai
manusia, aku maish butuh makan. Tapi makanan yang aku makan tidak boleh yang
mewah dan bernilai mahal. Makana apapun, hanyalah syarat. Tidak makan pun aku
akan tetap kenyang dan tidak akan menjadi kurus karena kurang asupan gizi.
Giziku secara alamiah ada dan tetap dimasukkan oleh gaib ke dalam tubuhku.
Bahkan aku bias makan dari makanan yang orang lain sedang makan. Contoh soal,
seorang perempuan makan enak di restoran, tapi orang itu merasa makan
sendirian, dia tidak tahu bahwa makanan yang dia makan juga masuk ke dalam
tubuhku. Aku mendapatkan asupan makanan dari orang lain yang sedang makan.
Sebulan, dua bulan tidak makan tidak minum, tidak ada masalah. Tapi saya tidak
boleh sombong, tidak boleh pemer, tidak boleh jumawa. Maka itu, aku tetap makan
dan minum sedanya, sebagai sunatullah manusia. Manusia yang hidup butuh makan
dan walaupun bukan kebutuhan saya, saya tetap harus makan.
Tanggal
3 Januari 2013 saya meninggalkan Jawa Selatan dan menetap di pinggiran ibukota.
Saya resmi menjadi paku berdasarkan perintah Kanjeng Ratu Kidul. Yang harus
saya bantu dan tolong bukan hanya orang punya masalah, tapi juga menolong
ibukota agar jauh dari kehancuran. Minta perhatian pemerintah? Oh, tidak boleh.
Tidak boleh mengemis apalagi meminta-minta pemerintah memperhatikan karena posisi
paku itu. Aku harus mandiri dan menjauhi audiensi, proposal dan perhatian
pemerintah. Tidak. Aku harus menenmptakan diriku sebagai orang yang lebih
tinggi dari presiden karena aku paku. Secara fisik, aku orang kecil, miskin,
namun secara gaib aku di atas pemimpin nasional.
Boleh
sombong? Tidak boleh. Aku harus hidup belangsak, hidup miskin dan sederhana.
Kesederhanaan itu haruslah menjadi darah dan daging. Tidak boleh berpura-pura
sederhana, namun asli harus sederhana. Orang menganggap remeh dan menghinaku?
Boleh. Makin banyak diremehkan dan makin banyak dihina orang, maka akan makin kuatlah
posisiku sebagai paku bumi itu. Kesombongan itu hanya milik iblis. Keserakahan
dan ketamakan juga, hanya milik iblis. Manusia harus kebalikan dari iblis,
begitulah yang benar. Aku harus menghargai toleransi, keberagaman dan
beradaban. Jika tidak, paku bumi itu akan tanggal dan aku akan berkarat.
Aku
telah melakukan kesalahan besar di dalam hidupku. Aku pernah membunuh karena
dendam. Sementara dendam itu hanyalah milik iblis dan setan. Manusia tidak
boleh dendam.ansia harus saling mengasihi, saling sayang dan saling
tolongmenolong. Di luar itu adalah pekerjaan iblis. Prilaku setan. Maka itu,
agar tidak menjadi setan, aku menjadi paku bumi. Menerima titah itu dan aku
menjalaninya. Mungkin belum baik, tapi aku berusaha menjadi baik. Sebelum
nafasku direnggut dan nyawaku diambil Allah Azza Wajalla. ***
(Cerita Bunda Laut
Selatan yang dicatat Yana Yuliani Malimping)

Komentar
Posting Komentar