Siapa Bilang Cinta Sejati Tidak Ada?
CINTA
MATI
Cinta
sejati tidak ada? Eh siapa bilang. Baca ini….
Kanjeng Gusti, saya mau tanya, bagaimana caranya kita dapat menggambarkan
dengan tepat tentang apa yang dinamakan cinta
sejati itu sebenarnya. Ada enggak sih cinta sejati itu sesungguhnya? Seperti apa
cinta sejati itu sebenar-benarnya, Kanjeng? Mulutku nyerocos bertanya kepada
Kanjeng Gusti, orang sakti mandraguna yang selalu membantuku di setiap kali aku
menemukan problem dalam hari-hari di tengah kehidupanku....
“Cinta
sejati itu ibarat kedekatan hubungan antara dua mata dan sepuluh jemari di
tangan. Bila jemari terluka, maka, mata akan menangis. Bila mata menangis, maka,
jemari yang akan mengusap dan menghapus airmata yang mengalir dari mata itu.
Keduanya saling melengkapi, saling mengisi dan saling memberikan perhatian satu
dengan yang lainnya,” kata Kanjeng Gusti Anggoro Asmoro, 68 tahun, guru
spiriualku di rumah pohonnya di Muara Binuangeun, Banten Selatan.
Nampaknya,
apa yang dikatakan Kanjeng Gusti Anggoro Asmoro itulah yang menjadi harapanku.
Atau paling tidak, ada suatu chamistry, senyawa hubungan antara dua hati, dua
cinta, dua manusia di antara aku dan Bang Zulham Yahya, kekasih hatiku yang
kini telah menjadi suamiku.
Namun,
Duh Gusti, keabadian cinta dan kesejatian cinta ternyata tak pernah terengkuh,
tidak pernah terwujud hingga akhirnya kami bercerai juga. Perceraian itu,
nyaris membuat nafasku berakhir. Aku begitu tertekan, stress dan depresi berat.
Di
tengah jalan, di tengah kemesraan dan kebahagiaan, tiba-tiba kami berpisah.
Bercerai karena perbedaan sikap hidup. Zulham menikah lagi dan aku tidak mau
dimadu. Harga diriku dan harga diri ayah dan ibuku, kontan terinjak. Dan kami
tidak bisa menerima kenyataan, walau agama Islam, agamaku, merestui poligami.
Namun, perceraiaan kami tidak lama. Sebelum dibawa ke pengadilan agama, kami
berbaikan dan kami rujuk kembali. Akhirnya, karena dorongan gaib, aku menerima
dengan hati tulus dan ikhlas bermadu. Aku menerima dengan dada lapang dan hati
yang terbuka lebar.
Bagaikan lekuk geliat ular, Sungai
Seine di Paris, Perancis, Eropa Barat, berkelok-kelok melingkar membelah
kondisi geografi ibukota Francois Mitterand itu.
Aku dan Bang Zulham mengelilingi sungai itu
dan kami memasang gembok di jembatan Panthom. Tidak jauh dari menara Eifel. Gembok
keabadian cinta. Kunci dengan nama kami berdua sebagai ikatan cinta kami yang
terakhir. Kunci dengan anak kuncinya yang kami buang dengan sumpah setia ke
Sungai Seine. Bahwa kami akan bercinta sehidup semati. Kami akan bersama,
saling tunjang menunjang baik dalam keadaan susah maupun senang.
Masyarakat
Perancis, Eropah Barat dan bahkan sebagian dunia, percaya betul bahwa cinta akan abadi bila
sudah membuang gembok cinta dan membuang anak kunci gembok
itu. Kunci itu, dianggap sebagian orang sebagai gigi setan yang mencengkram
cinta hingga cinta gampang tergoyah. Percaya tak percaya, agar cinta kami
abadi, kami beli gembok itu dan kami buang anak kuncinya ke Sungai Saine dengan
harapan cinta kami akan abadi.
Pada bulan Maret 2011, Sabtu Legi, 12 Maret 2011, aku resmi menikah
dengan Bang Zulham Yahya. Sebuah pesta resepsi besar telah kami buat di gedung
Balai Bhakti Kartini, Kuningan, Jakarta
Selatan, yang super megah. Habis resepsi, kami berbulan madu ke Paris,
Perancis, Italia dan Spanyol untuk menikmati keindahan perkawinan itu. Kami melakukan bulan madu selama seminggu di
negeri parfum itu dan menginap di hotel
termewah La Forte. Kami mengeluarkan biaya cukup besar, Rp 200 juta untuk
berbulan madu itu. Kami menikmati uang hasil kerja kami untuk dihabiskan berbagi
cinta di negeri Eropa Barat.
Setelah seminggu di Perancis, kami
beranjak ke Milan, Italia. Sebuah kota mode terbaik di dunia. Dan aku dibelikan
busana termewah oleh suamiku. Memesan langsung ke galeri Malgini Vagliali.
Perancang sohor itu memberi patokan harga Rp 50 juta per-busana dan suamiku
membelikan aku dua potong. bernilai Rp 100 juta atau sekian ribu Euro.
Selesai menikmati masa bulan madu di
Eropa Barat, kami kembali ke Indonesia. Kami berdua tidak pulang ke rumah kami
yang baru di Simprug Golf, Permata Hijau, tapi kali langsung ke bandara I Gusti
Ngurah Rai, Denpasar, Bali, dari bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, untuk
melanjutkan bulan madu ke Mengwi, Bali selama seminggu lagi.
Bang Zulham Yahya adalah pengusaha
muda yang sukses besar. Dia menjadi pengusaha properti yang membangun
rumah-rumah mewah dan apartemen berjouis di ibukota. Kekayaannya semakin hari
semakin tambah karena dia sangat pandai berbisnis properti. Semua usahanya
berjalan lancar dan banyak investor yang percaya kepadanya. Investor itu bukan
hanya dari Indonesia, tapi juga dari Jepang, Korea Selatan dan China.
Pada usia yang begitu muda, 33
tahun, Bang Zulham sudah punya kekayaan lima trilyun rupiah. Tetapi, untuk
menutupi gengsi, sebagai pekerja juga, aku tidak mau berbulan madu berdasarkan
uang suamiku sendiri. Aku juga ikut patungan, memberikan share kepada suami buat perjalanan bulan madu yang akhirnya
menghabiskan dana semilyar rupiah itu. “Gengsimu ternyata dua ton ya, sampai
harus ikut patungan dengan orang kaya seperti aku ini,” kata Bang Zulham,
bercanda.
Setelah selesai melakukan masa bulan
madu di tempat terindah, kami pulang ke Jakarta. Kami mulai aktifitas kami
masing-masing. Bang Zulham kembali ke kantor dan aku juga kembali bekerja.
Di luar dugaan, tepat pada tanggal
12 Maret 2012, setahun usia perkawinan kami, Bang Zulham menikah lagi. Dia
menikahi gadis keturunan Arab bermarga Alatas, tanpa seijinku. Mengetahui hal
itu, ayah dan ibuku murka. Mereka tidak terima kenyataan ini. “Cerai saja
mendingan, jangan mau dimadu, memalukan.” kata ayahku, marah-marah.
Karena aku memang berkeras tidak mau
dimadu, akhirnya, aku menggugat cerai. Namun, Kanjeng Gusti Anggoro Asmoro,
melarangku menuntut cerai. “Jangan, jangan bercerai, sabarlah, teruskan
hubungan mu dengan Zulham, kau akan bahagia nantinya. Bahagia di dunia maupun
di akhirat, percayalah sama Kanjeng,” desis Kanjeng Gusti Anggoro Asmoro,
kepadaku.
Karena aku sangat percaya kepada
Kanjeng Gusti Anggoro, maka aku membatalkan niatku menggugat cerai. Namun ayah
dan ibuku semakin murka. Aku dianggap plin plan dan mencla mencle soal gugat
cerai itu.
“Yang merasakan kan engkau, bukan
ayah dan ibumu. Sekarang yakinkan ayah dan
ibumu, bahwa kau
bahagia dan ikhlas dimadu itu,” kata Kanjeng Gusti Anggoro, kepadaku.
Karena aku berkeras untuk bertahan,
maka ayah dan ibuku akhirnya tidak bisa apa-apa. Mereka pasrah dan menyerahkan
semua keputusan hitam putih kepadaku. “Karena engkau yang menjalani, ya
terserahlah engkau, tapi bagi ayah, Zulham itu bukan lagi mantu ayah, ayah tak
akan mau bertemu dengan dia lagi,” kata ayahku, sambil mengurut dada.
Akhirnya, aku bertahan bermadu.
Istri muda Bang Zulham dibelikan rumah di Pondok Indah, sebuah rumah mewah
seharga Rp 30 milyar. Ada taman besar, kolam renang dan mobil lambhorgini di
garasi. Dalam seminggu, Bang Zulham tigha hari di rumah bersamaku, selebihnya
bersama istri mudanya yang cantik jelita dan muda itu.
Rasanya, aku ingin melabrak wanita
itu. Tapi Kanjeng Gusti Anggoro melarang. Jangan perlihatkan bahwa kau cemburu.
Ikhlaskan Zulham memberi kemewahan kepada istri mudanya. Bahkan dukung saja
supaya Zulham terus mengabulkan apa tuntutan madumu itu. Kata Kanjeng Gusti,
menasehatiku.
“Semakin kau berbesar hati, semakin
engkau ikhlas, maka kau semakin bahagia dalam kehidupan dunia dan akhirat
nanti. Hadapilah kenyataan pahit ini dengan senyum. Tidak ada yang pahit dan katakanlah
bahwa yang sedang kau hadapi itu adalah manis adanya,” desis Kanjeng Gusti
Anggoro lagi.
Ayah dan ibuku memang patah arang
kepada Bang Zulham. Bang Zulham yang bolak-balik mau bertemu mereka, mereka
tidak mau menemui. Zulham dianggapnya cacing yang menjijikkan. Bang Zulham pun,
akhirnya patah arang, dia tidak mau lagi berusaha bertemu ayah dan ibuku.
Hatiku terjepit di antara orangtua
dan suamiku. Yang satu suami, yang lainnya ayah dan ibuku. Namun, peran Kanjeng
Gusti sangat luar biasa. Dengan ilmunya, dia menundukkan hati Zulham denghan
cara mistik. Begitu juga dengan ayah ibuku, juga ditundukkannya dengan
mantra-mantra linuwih yang dikuasainya.
Akhirnya, pada bulan Januari 2013,
Bang Zulham mendatangi orangtuaku di rumah dan orangtuaku menerima mantunya itu
dengan baik.
Pada tanggal 13 Februari 2012, hari
Senin Pahing, Bang Zulham meninggal dunia. Penyakit jantung yang dideritanya,
tiba tiba kambuh dan merenggutnya nyawanya di rumah istri mudanya. Aku diminta
untuk memutuskan, mau disemayamkan di mana sumaiku itu. Mau dibawa ke rumahku
atau tetap di Pondok Indah, di rumah istri mudanya yang tanpa anak itu.
Karena wafatnya di rumah istri muda,
aku mengikhlaskan Bang Zulham disemayamkan di sana. Aku datang ke sana dan
berpelukan dengan Wilda Alatas, maduku. Kami sama sama mengurus jenazah dengan
baik, lalu mengurus pemakamannya di Tanah Kusir, Jakarta Selatan.
Selesai pemakaman, malam harinya,
Wilda Alatas dan aku membuat tahlilal di Pondok Indah. Setelah itu lanjut tiga
hari, tujuh hari, empat puluh hari dan seratus hari. Kami berdua bahu membahu
membuat tahlilan untuk almarhum Bang Zulham.
Hingga tahun 2014 ini, aku tetap
sendiri. Begitu juga dengan Wilda Alatas. Dia juga tetap sendiri dan tidak
berniat menikah lagi, walau banyak pria kaya raya yang melamarnya. Aku juga
demikian. Aku tidak mau menikah lagi
walau aku sebenarnya tetap membutuhkan pendamping hidup. Kini, pendamping
hidpuku adalah Wilda Alatas. Kami berdua sangat kompak seperti adik dan kakak.
Pada bulan Maret 2014 lalu, kamiu
berdua melakukan perjalanan ke Paris, Perancis. Aku melayari Sungai Saine,
tempat di mana dulu aku dan Bang Zulham berbulan madu. Sementara Wilda Alatas,
mendengarkan kisahku dengan baik.
Kuceritakan tentang gembok cinta di
Panthom dan janji setia kami di Sungai Saine ini. Wilda Alatas menjadi
pendengar yang baik, dia sangat serius kemudian beberapa saat setelah itu, dia
menangis. “Kenapa kamu menangis?” kataku. “Aku telah meyakiti hati Mbak yang
tulus dan ikhlas, yang sudah berjanji setia sehidup semati dengan Bang Zulham,”
katanya, lirih, sambil kusapu airmatanya.
Wilda Alatas merasa sangat berdosa,
bersalah kepadaku. Dengan menerima pinangan Bang Zulham yang sudah beristri,
dia merasa telah menghianati cinta kami, merusak cinta sejati kami dan menggagu
kebahagiaan rumah tangga kami.
“Tidak Wilda, tidak, aku tidak sakit
hati dan tidak tersiksa kala itu. Aku ikhlas, aku tulus dan terbuka menerima
kehadiranmu dalam kehidupan suamiku,” sorongku.
Kami berdua menangis. Kami sadar
bahwa semua itu adalah takdir dan kehendak Allah Azza Wajalla. Kami berpelukan
di perahu sambil terus menyusuri Sungai Saine yang damai. Kami berjanji untuk
saling menjaga, saling bersama dan saling memperhatikan sampai kapanpun,
berdua.
Pada saat perahu masuk wilayah
Moitore, sebuah rumah antik di Mondeivu, aku melihat pria yang mirip sekali
dengan Bang Zulham. Tinggi badan, kumis dan sosoknya, persis sekali dengan Bang
Zulham. Wilda Alatas juga melihat hal yang sama dan dia terpaku karena pria
berbaju kotak-kota merah itu, seratus persen Bang Zulham. “Abang, Abang, Bang
Zulham, ini aku, Wilda, ini Mbah Erna,” teriaknya.
Pria itu tiba-tiba raib. Dia
menghilang ke dalam rumah antik buatan abad 13 tersebut. Aku dan Wilda minta
tukang perahu menunggu. Kami mengejar mencari ke mana arah pria yang mirip
sekali dengan Bang Zulham tersebut.
Kami masuk ke Pesteo de Darcink, dan
di mana pun, kami tidak menemukan lagi orang yang mirip Bang Zulham itu. Aku
lalu menelpon Kanjeng Gusti Anggoro Asmoro. Kuceritakan bahwa aku dan Wilda
melihat pria baju kotak-kotak merah bercelana jean yang mirip sekali Bang
Zulham di Paris. Di luar dugaan, Kanjeng Gusti Anggoro menyebut, bahwa pria itu
adalah Zulham betulan. Arwahnya maujud di tempat yang pernah menjadi tempat
kami berjanji untuk cinta sejati. Berjanji sehidup semati dalam cinta kasih dan
kesetiaan.
“Cari dan temukanlah, saya akan
ritual akan dia dapat berjumpa dengan kalian di Paris, di Sungai Saine itu,”
kata Kanjeng Gusti Anggoro Asmoro, gembira.
Benar saja, setelah perahu
dilanjutkan, pas di bawah jembatan Pour Voux, Bang Zulham muncul dengan senyum
khasnya. Kami minta perahu mengejar pria itu dan kami mendapatkannya. “Bang”
kataku, berbarengan dengan suara Wilda, yang memanggil Bang Zulham.
Bang Zulham berbalik dan benarlah,
dia adalah Zulham suamiku dan suami Wilda. Bang Zulham memeluk erat tubuhku dan
mencium keningku. Setelah itu, beberapa saat kemudian, dia memeluk pula Wilda
dan mereka berdua menangis. “Ingat, saya mencintai kalian berdua dan cinta itu
cinta sejati karena aku bawa mati,” bisik Bang Zulham, kepadaku dan kepada
Wilda.
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Bang Zulham raib, pergi entah
ke mana. Hingga kami pulang ke tanah air, kami tidak menemukannya lagi. Bahkan,
hingga sekarang, kami tidak menemukan lagi suami yang kami cintai tersebut. Aku
mencintainya dan Wilda Alatas pun, sangat mencintainya pula. Cinta sejati itu,
kata Kanjeng Gusti, adalah cinta yang dibawa mati. Cinta yang belum berakhir
hingga jasat terpisahkan dari roh. “Jasat Zulham boleh hancur terkubur di Tanah
Kusir, tapi roh nya tetap ada dan bergerinjang di hati kalian berdua,” bisik
Kanjheng Gusti Anggoro kepada aku dan Wilda.*****
(Kisah yang dialami Erna Werdaningsih, Yana Yuliani
Malimping menulis untuk portal-mystery.blogspot.com)

Komentar
Posting Komentar