Tidak Semua Mimpi Sebagai "Kembang Tidur", Ada Mimpi Tertentu Sebagai Petunjuk Kehidupan Nyata....
Tidak Semua
Mimpi Kembang Tidur, Ada Mimpi Sebagai Petunjuk. Dengar apa kata Ahli Tafsir
Mimpi Di Bawah
Ini….
Mimpi itu terus berulang. Setiap
malam, kakek tua berbaju lusuh bertopi caping datang kepadaku. Celana dan
bajunya rombeng dan kotor sekali. Dia tidak memakai alas kaki dan berjalan di
terik matahari. Siapa dia?
“Aku adalah Yunus, temui aku di
Bukit Karang laut selatan, Baron, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta,”
katanya. Mimpi ini setiap malam berulang dan bentuknya sama persis. Meminta aku
menemuinya di Bukit Karang, Pantai Baron, sendirian dan tidak boleh membawa
teman.
“Yunus, siapa dia?” tanyaku
kepada Ustad, 68 paranormal yang juga ulama di
dekat rumahku.
“Yunus di dalam mimpimu itu, adalah Kanjeng Nabi
Yunus AS, temuilah di Gunung Kidul, selatan agak tenggara dari kota
Yogyakarta,” desis Ustad Salim Muhamad setelah melakukan tafakur, meditasi
kepada Sang Gaib.
Ustad Salim Muhamad tawaddu,
merendahkan dirinya kepada Allah dan meminta petunjuk tentang apa maksud dari
mimpiku. Mimpi yang sudah sebulan ini datang dan berlangsung setiap malam aku
tidur.
Aku seorang wanita muda, lemah,
dan penuh kekurangan. Karena aku menderita penyakit maag berat, penyakit asma
dan alergi sinar matahari. Karena banyak penyakit yang menggantung di tubuhku
ini, mungkinkah aku pergi sendirian ke Yogyakarta. Meninggalkan ibu, ayah dan
adik-adikku di Banten, lalu sendirian melanglang ke daerah laut sepi di Gudung
Kidul? Ah, aku pasrah kepada Tuhan. Aku meminta petunjuk dan keyakinan agar aku
siap mental jika memang aku harus berangkat. Memenuhi tuntutan mimpi yang
mungkin hanya sekadar kembang tidur itu?
Setiap malam aku melakukan sholat
sunnah, tahajut meminta petunjuk Allah Azza Wajalla. Setelah tahujut, aku
tertidur hingga subuh. Dan, setiap tidur, mimpi itu berulang lagi. Kakek tua
berpakaian lusuh bertopi caping datang lagi, meminta aku datang ke istananya di
Baron, Laut Selatan Yogyakarta.
“Berangkatlah Nak, mana tahu,
mimpi itu sebagai petunjuk bagi kita untuk merubah nasib,” imbuh ayahku, Haji
Sarkam Hamid dan ibuku, Maryana Amira, di rumah kami yang kecil di Sudimara
Pinang, Kota Tangerang, Banten.
Dorongan ayah, ibu dan ustadku,
membuat aku kuat. Aku segera menjual emas yang ada di lemariku, berbentuk
gelang, ke toko emas Haji Murdani di Cileduk. Uang penjualan emas itu sebagai ongkos pesawat pulang balik
dan biayaku selama tinggal di Yogyakarta. Uang penjulan emas itu berjumlah Rp 3
juta. Pikirku, jika ada rejeki, aku bisa beli lagi emas yang menjadi tabunganku
kerja selama lima tahun itu.
Tadinya, aku bekerja di pabrik
sepatu merek Kolhen, sepatu olahraga dari Jerman Barat.
Perusahaan Eropa Barat itu berdiri di Banten
dan aku bekerja di situ di antara ribuan pekerja lain. Gajiku selama lima tahun
kerja, aku tabung sebagian dan di antara gaji itu, aku belikan emas walau hanya
sedikit. Beberapa gram saja berbentuk gelang dan cincin.
Belakangan, ibuku sakit kanker
ganas stadium lima. Badannya kurus dan rambut ibuku botak karena kemotrapi.
Satu dari payudaranya telah diamputasi, tinggal yang satu lagi juga terancam
amputasi.
Ayahku, menderita penyakit dibates militus.
Darah tinggi dan ginjal. Adikku yang bungsu, menderita penyakit hepatitis B dan
dirawat di rumah sakit beberapa waktu.
Karena banyak utang di kantor dan
sering libur mengurusi keluarga sakit, maka aku dipecat oleh perusahaan. Aku
dikeluarkan dari pabrik sepatu Jermana itu dan dagang di Pasar Bengkok. Numpang
jualan di depan kios tetanggaku dan aku berjualan ayam potong. Hasil jualan
ayam potong itu, tidak begitu besar.
tapi lumayan untuk menyambung hidup. Sementara untuk biaya berobat orangtua dan
adikku, tersendat. Bahkan belakangan menjadi terhenti. Untunglah, pemerintah
Kota Tangerang, memberikan tunjangan
kesehatan, jamkesda. Dengan modal kartu keluarga dan KTP, serta
rekomendasi dari Puskesmas kecamatan,
kami bisa berobat gratis ke Rumah Sakit Umum Tangerang.
Semua biaya ooperasi dan
obat-obatan dijamin pemerintah dan ayah dan ibuku berangsur sembuh. Begitu juga
dengan adik bungsuku, Hermina yang juga berangsur pulih.
Setiap hari aku berjualan daging
ayam negeri dari pagi-pagi buta jam 05.30 waktu Indonesia Barat hingga siang
menjelang zuhur. Setiap hari aku hany bisa menjual lima belas ekor ayam. Per ekor ayam, aku hanya mendaopatkan
keuntungan sekitar Rp 3000,-. Maka itu, seharian, aku mendapatkan keuntungan
sekitar Rp 50 ribu.
Uang senilai itu sudah bersih
setelah membayar retribusi dan uang sewa tempat kepada tetanggaku setiap kali
aku berjualan di depan kiosnya.
Kios parfum dan busana muslim.
“Kalau aku berangkat ke
Yogyakarta untuk menemui sosok dalam mimpiku itu, lalu siapa yang meneruskan
berjualan ayam selama aku di Jawa?” tanyaku, kepada ayahku.
Dengan semangat juang angkatan
45, ayahku bertekad, bahwa dialah yang akan menggantikanku sementara. Dia
menghaku sudah bisa berjualan setelah melihat aku beberapa kali berdagang ayam
di Pasar Bengkok.
“Papa bisa, Nak, Papa tahu dan
faham caranya. Membeli ayam di mana dan memotong ayam serta menimbang ayam yang
akan dijual per-kiloan,” desis ayahku. Aku senang mendengar tekad ayahku ini.
Aku jadi siapa betul akan berangkat ke Yogyakarta dan meninggalakn uang modal
utnuk ayahku berjualan menggantikan aku. Tapi, aku belum langsung melapskan
ayahku. Aku test dulu ayahku berjualan, sementara aku mengawasi dari kejauhan.
Benar saja, ayah ku mampu melakukan hal itu dan aku akhirnya memutuskan bahwa
ayahku yang pensiunan pegawai kantor pos ini, sudah bisa aku lepas.
Dengan uang Rp 3 juta hasil
menjual emas, aku pergi ke bandara Soekarno Hatta dengan naik ojek. Sesampainya
di terminal keberangkatan di terminal C, aku langsung menacri tiket dan dapat
pesawat Lion Air ke Yogyakarta. Setelah terbang selama satu jam, pesawat yang
kutumpangi Boeing 747 mendarat di bandara Adi Sucipto, Jalan Solo, Sleman,
Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dari Jalan Solo, aku naik taksi
ke Jalan Malioboro, jalan-jalan sebentar di Pasar Bringharjo dan masuk museum
Vreideburg. Aku menemui seorang teman lamaku yang bekerja di sana. Nama temanku
ini Etik Suwarno, anak Ponorogo yang sama sama aku ketika bersekolah di SMA
negeri 3 Cileduk, Kota Tangerang. Etik kala itu tinggal dengan tantenya di
perumahan Pinang Griya. Setelah tamat SMA dia bekerja di Yogyakarta, berkantor
di gedung peninggalan sejarah di depan Istana Presiden di Jalan Malioboro
tersebut.
Etik membantu aku menunjukkan
jalan menuju Baron. bahkan dia menyarankan agar aku mencarter motor ojek.
Kebetulan, Tukang Ojeknya. Mas Sigit Heruarto, tetangganya di Ngampilan NG V,
dekat jembatan Serangan, Yogya Barat. Maa Sigit dapat dipercaya dan tarifnya terjangkau,
tidak mau menekan penumpang. Pokoknya ongkos ke Baron, cukup murah, hanya Rp
140 ribu. Karena tanggung, aku memberikan Rp 150 ribu untuk Mas Sigit.
“Jarangnya cukup jauh dari Yogyakarta ke Baron itu, kurang lebih 50 kilometer,”
kata Etik, kepadaku, yang diangguki kepala oleh Mas Sigit.
Karena rekomendasi Etik, maka aku
memakai motor ojek Mas Sigit Heruarto. Kami berangkat dari kantor Etik di Maliobor melewati Jalan
Senopati, lalu masuk ke Jalan Brigjen Katamso, lewat THR lalu menuju Koda Gede.
Dari Kota Gede lanjut naik bukit aseman lau melintasi jalan bekelok menuju Kota
Wonosari. Dari kota Wonosari, motor ojek mengarah ke selatan sedikit ke
tenggara lalu memasuki Pantai Baron. Jam tanganku sudah menunjukkan pukul 14.45
WIB dan kami istirahat makan siang di warung Mbok Drami di Pantai Kukup,
sebelah pantai baron. Di sana ada nasi liwet dan lauk gudek yang cukup lumayan
enak, walau tidak seenak gudek di Malioboro.
“Apakah aku hanya mengantarkan ke
sini, atau aku bisa menunggu urusan Mbak selesai di sini?” tanya Mas Sigit.
Sebenarnya, aku ingin hanya diantarkan. Mas Sigit boleh pulang dan dua hari
kemudian, jemput aku lagi di Baron. Tapi entah kenapa, perasaanku tiba-tiba
gamang. Hatiku tiba-tiba menjadi gunda gulana, sunyi dan cemas. Ada rasa takut menggantung
di balik batinku. Takut akan laut yang ganas, takut akan malam yang gelap. Dan
takut akan kesunyian yang begitu senyap.
Tapi, pikirku, mungkinkah aku
menahan Mas Sigit untuk menjagaku, menungguku selama aku melakukan ritual di
Baron itu? Sebab Mas Sigit itu punya istri, meninggalkan anaknya di rumah. Lagi
pula, sesuai janji sejak awal, dia hanya mendrop aku, mengantarkan, setelah itu
dia tinggal aku di Baron dan pulang ke Yogyakarta lagi. Dengan handphone ku,
aku menelpon ke Etik, kukatakan bahwa perasaanku tiba-tiba gamang dan takut.
Bagaimana kalau aku ditunggui Mas Sigit dari kejauhan. Etik setuju dan hal
itulah yang sebanarnya dia maui. Dia ingin aku dijaga oleh Sigit karena daerah
Baron itu berbahaya. Bukan hantu atau rampok yang jadi sumber bahaya, tapi
ombak besar Laut Selatan Baron yang ganas. Hingga sekarang, sudah 123 orang
mati terbawa ombak di Pantai Baron.
“Aku setuju banget kamu ditunggui
Mas Sigit. Nanti aku menelpon istrinya, pamit soal itu. Istrinya pasti
mengijinkan karena aku yang meyakinkannya,” desis Etik, masih di kantornya di
gedung Vreideburg. “Nanti, aku yang bayar Sigit, aku akan tambah jadi Rp 300
ribu,” kata Etik. “Tidak Etik, aku yang bayar Sigit, aku akan beri dia Rp 500
ribu, tapi tunggu ritualku sampai selesai, paling dua atau tiga hari,” kataku
pula. Etik setuju dan dia akan memberitahukan istrinya tentang hal ini. Mas
Sigit pun, setuju usul ini dan dia bersedia menemaniku sampai ritualku selesai
di Pantai Baron itu.
Dengan alas jaket kulitku, aku
duduk di Bukit Karang Hitam, selatan pantai Baron. Aku masuk ke bukit itu
melewti air deras dan ditemani oleh Mas Sigit dengan merintis jalan di atas
bukit sekalian mengusir ular laut yang sering kelayapan di situ. Ular laut itu
sangat berbisa dan mematikan bila kulit kita digigit olehnya. Maka itu, dengan
ilmu nya, Mas Sigit mengusir ular-ular itu agar tidak mendekat kepadaku.
Diam-diam, Mas Sigit ternyata ahli menangkap ular dan penakluk ular berbisa.
Dia punya ilmu menangkal bisa ular dengan stadium sepuluh. Ular king cobra yang
paling berbisa pun, tidak akan mempan menggigit Mas Sigit. Dan, hal itu telah
dibuktikannya di bukit karang hitam itu, di mana lima ular dia tangkap begitu
saja lalu dimasukkan ke dalam tasnya dan dipindahkannya ke bukit yang lain.
Setelah merasa aman dan nyaman,
aku memperbolehkan Mas Sigit meninggalakan aku di Bukit Karang Hitam. Mas Sigit
pamit dan kembali ke air yang sudah makin meninggi. Mas Sigit menyeberang ke
bukit yang lain sambil melihat ke arahku, di mana dia khawatir, takut akan keselamatanku
di butik tengah laut Samudera Hindia yang ganas tersebut.
Setelah sembahyang magrib dengan
cara tayamun, aku melakukan zikrullah, wiridan dan mengucapkan doa khusus untuk
Kanjeng Nabi Muhamad dan Kanjeng Nabi Yunus AS. Aku juga telah mengirim Al
Fatihah unuk Kanjeng Nabi Yunus dan Kanjeng Nabi Muhamad, Nabi Sulaiman dan
Nabi Ayub Alaihissalam.
Setelah sembahyang Isya, aku
membacakan mantra-mantra sakti mandraguna pemberian ustad Muhamad Salim untuk
menemui sosok di dalam mimpiku itu. Sosok Nabi Yunus AS atau sosok apapun, yang
jelas, aku berada dalam kendali dan kawalan ustad Muhamad Salim dari Banten.
Hingga pukul 23.00, aku tidak menemukan apa-apa malam itu. Namun, menjelang
tengah malam, pukul 24,00, aku dikejutkan oleh suara gemuruh air yang naik ke
bukit karang hitam. Ada deburan ombak besar dari laut selatan masuk ke tempatku
duduk. Air bah itu nyaris melemparkan aku ke laut. Namun untunglah, aku dapat
berpeganagan dengan akar kayu beringin janggut dan aku selamat, tidak terlempar
ke air. Sementara itu, aku tidak tahu lagi tentang Mas Sigit. Di mana dia dan
bagaimana keadaannya di bukit sebelah.
Setelah ombak di bukti reda, aku
merasakan ada seseorang berada di belakangku. Aku memalingkan tubuh dalam
kegelapan dan berusaha melihat dalam pekat. Benar, ada sosok pria tua bertopi
caping di sana.Aku mengambil senter kecil dari tas ranselku dan aku melihat,
sosok Nabi Yunus yang datang di dalam mimpiku. Aku mencium tangannya dan dia
mememegang kepalanya sebagaimana orangtua kepada anaknya. Aku sangat terharu
karena apa yang terjadi di dalam mimpiku, benar benar menjadi kenyataan.
Kanjeng nabi Yunus yang selamat doi perut ikan paus itu, ternyata maujud dan
menemui aku yang fakir, yang lemah dan hinadina. “Duduklah Nak, aku hanya akan
memberikan lembaran mantra yang kau gunakan untuk kehidupanmu, kesehatan
keluarga besarmu dan kesehatan dirimu sendiri. Kalau bisa, bila ada orang yangh
minta bantuanmu, bantulah,” desis Kanjeng Yunus kepadaku.
Setelah memberikan secarik
kertas, Kanjeng Yunus menghilang ke laut. Aku mengikuti arahnya dan dia
dijemput oleg seorang ikan raksasa. Ikan paus besar di laut Baron, lalu ikan
itu membawa Kanjeng Yunujs ke Samudera Hindia, ke tengah laut, dan aku tak tahu
lagi pergi ke mana. Beberapa saat setelah Kanjeng Yunus pergi dengan ikan paus,
aku tertidur. Aku terbangun subuh hari dan sembahyang subuh. Ketika matahari
mencorong di timur dan sinarnya menjilat laut, aku berteriak memanggil Mas
Sigit di bukit sebelah. Mas Sigit mengucek-ngucek mata lalu merangsek
menjemputku melalui air berombak dangkal.
Kami segera pulang pagi itu ke
Yogyakarta. Sesampainya di Yogya, hari masih lumayan pagi. Tapi Etik sudah ada
di kantor dan aku menemuinya di Vreideburg. Aku menangis di pelukan Etik,
karena semua yang aku ceritakan kepadanya tentang mimpi itu, menjadi kenyataan.
Etik memberi selamat kepadaku dan mengucapkan teriam kasih banyak kepada Mas
Sigit. Aku memberikan hadiah kepada Mas Sigit dengan uang khusus di luar
ongkos. Karena berkat bantuannya, maka urusanku beres dan aku dapat langusng
pulang ke Banten hari itu juga. Aku diantar oleh Etik dengan motornya ke
bandara Adi Sucipto dan kami berpisah di Jalan Solo, Yogyakarta Timur.
Alhamdulillah, ayahku yang sakit
parah, kini pulih total. Ibunya yang sakit arah, sehat walafiat. Akupun, yang
menderita ragam penyakit, kini bersih dan sehat walafiat. Namun, karena sehat,
tubuhku kini jadi tambun dan gemuk. Tapi tidak apalah, yang penting aku bisa
sehat, ayahku, ibuku, adik-adikku yang berpenyakitan, kini sehata semua berkat
mantra sakti Kanjeng Nabi Yunus Alaihissalam. Bahkan, aku bisa menolong
tetangga, warga dan banyak orang yang memungkinkan aku bisa membantu. Terima
kasih Tuhanku Allah Azza Wajalla, terima kasih Kanjeng Nabi Yunus AS, yang
telah hadir dalam mimpiku dan memberikan mantra kesehatan yang sakti
mandraguna. *****
(Kisah yang dialami Siti Fatimah, Henny Nawani menulis
untuk majalah online MysterY -Red)
Komentar
Posting Komentar