Gara Gara Membutuhkan Selendang Hijau Kekuasaan Makhluk Gaib Sebagai Jimat Sakti, Paranormal Amir Syam Menikahi Kuntilanak...
MenikahiKuntilanak
Benda gaib yang banyak dicari-cari oleh pemburu mistik di daerah
Sumatera Selatan adalah selendang kuntilanak.
Pakaian yang banyak digunakan bangsa jin berkelamin perempuan ini berkemampuan
superhebat, yaitu 100 persen mengandung
kemampuan sakti mandraguna. Baik itu untuk kuntilanak itu sendiri maupun untuk bangsa manusia. Di daerah Palembang
dan sekitarnya, benda misterius tersebut disebut Kundu Sumai. Bila Kundu Sumai
berhasil direbut manusia, maka Sang Kuntilanak akan kehilangan ilmu raibnya,
maka dia akan kelihatan sosoknya secara kasat mata oleh manusia dan wajahnya
berubah menjadi buruk sekali. Seram seperti
wajah gorila.
Kundu Sumai sangat mumpuni
sebagai piranti ilmu meraibkan diri. Artinya, seseorang yang menggunakan
selendang kuntilanak akan mampu menghilangkan sosok diri, tak dapat terlihat oleh mata manusia di manapun.
Kecuali untuk sesama pemakai Kundu Sumai, di mana akan dapat saling lihat dan
berinteraksi. Jasat pemakainya ada di
tempat, tapi tak tertangkap oleh pandangan mata telanjang. Karena keampuhannya sebagai barang gaib, maka
selendang kuntilanak yang berwarna merah muda itu, dicari-cari hingga ke antero
nusantara, termasuk di Hutan Banyulincir, arah barat laut Kota Palembang.
Awal bulan Juli 2009 lalu, aku bergabung dengan beberapa anggota organisasi supramistik Jakarta, berburu selendang kuntilanak di wilayah
Sungai Lilin dan Banyulincir di kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Di dalam
perjalanan dengan Toyota Inova dari Jakarta itu, kami ditemani pula oleh
seorang kakek-kakek umur 98 tahun, Ki
Jangkung, yang sangat ahli dalam menangkap kuntilanak. Ahli satu lagi seseorang
yang berdisiplin ilmu tarekot, dia seorang kiyai muda yang menguasi ilmu jin yang
tak terlihat tapi keberadaannya dapat dibuktikan secara ilmiah. Ahli tersebut adalah
kiyai muda bernama Hasballah Umar.
Di sebuah perkebunan karet
Sungai Lilin, l00 kilometer barat laut kota Palembang itu, ada satu hutan
belantara liar yang terdiri dari pohon-pohon tua dan tinggi. Pohon yang
dimaksud adalah pohon rengas, gerawan, tembesu dan balam. Kesan pertama kali
memasuki hutan itu adalah keangkerannya. Situasi hutan agak gelap, senyap dan
sangat wingit. Tak ada seorang manusia
pun selain kehadiran kami di lokasi itu. Hanya terdengar sesekali suara burung gagak,
burung belatuk dan elang yang berterbangan di atas kepala kami. Kalau saja
tidak ada pestol seorang anggota kopassus, satu orang dari puluhan anggota organisasi yang ikut, pastilah kami yang orang sipil akan ketakutan
pada hewan buas daerah setempat. Sebab di sini masih sering terlihat harimau Sumatra, babi hutan, buaya, ular sanca
penyerang manusia. Bahkan beberapa waktu
lalu tiga orang mati dimakan buaya dan tiga pencari kayu baker dimakan harimau.
Peristiwa itu semuanya terjadi di Sungai Lilin, di dekat rimba tempat kami
melakukan ritual.
Keraton Sumai, demikian
wilayah itu dinamakan oleh masyarakat setempat. Di situlah lokasi ritual yang
kami lakukan, sebagai pemenuhan pesanan dari seorang bos Jakarta yang sanggup
membayar temuan kami sebesar Rp 800 juta bila dapat Kundu Sumai yang dimaksud. Bila selendang kuntilanak asli didapat, maka kami
akan mendapat sejumlah uang besar dan uang itu dibagi-bagi berenam setelah
dipotong biaya operasional kami selama beberapa minggu di daerah tersebut.
Di daerah yang kami datangi, banyak diketahui hidup ribuan Sumai, yang dipimpin oleh seorang
ratu. Ratu yang dimaksud adalah Ratu Sumai, ratu gaib bernama Nyai Cindonean.
Nyai ini pada waktu-waktu tertentu seperti hari Selasa Pon dan Jumat Kliwon dapat dilihat dengan kasatmata bila kita
memiliki amalan untuk berinteraksi dengan bangsa jin. Sebab menurut kiyai
Hasballah Umar, bangsa kuntilanak itu tak lain adalah bangsa jin perempuan yang
menolak agama Islam lalu membuat komunitas sendiri dalam satu kelompok bangsa
jin yang kafir.
Hasballah Umar
memiliki amalan tertentu yang sagat rahasia yang tak dapat diijazahkan bagi
siapapun. Amalam yang dirahasiakannya itu adalah amalan Al Jinnatu fi Kundu
Sumai, salah satu cabang ilmu gaib yang khusus untuk menaklukkan kuntilanak
yang banyak dikuasai oleh orang-orang Sumatera Selatan yang banyak menjadi
bandit-bandit besar di luar negeri.
Kiyai Hasballah menyebut nama seseorang pemilik ilmu
Kundu Sumai di daerah Sumatera Selatan, di antara l80 orang nama lain yang
punya ilmu sejenis seluruh di Indonesia. Salah seorang pemegang ilmu
saktimandraguna di Sumatera Selatan itu adalah Kaji Marwan, 49 tahun, pemegang
selendang Ratu Sumai, yang hingga sekarang ini benda tersebut masih ada di
tangannya. Kaji Marwan saat ini adalah satu dari l00 orang kayaraya di Kota
Palembang. Status itu didapat setelah
dia menggunakan selendang
tersebut dalam dunia kejahatan. Rumahnya
Kaji Marwan sangat mewah dan mobilnya sangat banyak, bahkan memiliki sebuah
kapal pesiar yang diparkir di Bombaru 3 Ilir Palembang.
Menurut saudara sepupu Kaji
Marwan, Kaji Hamidan, Kaji Marwan mendapatkan selendang kuntilanak itu pada
saat dia berumur l7 tahun. Tepatnya pada tanggal l9 Januari l977 di hutan karet
Blok Kias, Sungai Lilin, Musi Banyuasin. Diceritakan, Kaji Marwan tersesat saat
bekerja sebagai pencari madu lebah di hutan Blok Kias. Tiga hari tiga malam
lamanya Kaji Marwan terputar-putar di wilayah itu. Pada malam ke empat, Kaji
Marwan menemukan suatu komunitas wanita cantik-cantik yang sedang melakukan
pesta musik dan menari. Salah satu tarian yang dikembangkan adalah tari mirip
samba, salsa dan rumba dari Amerika Latin. Tangan Kaji Marwan ditarik oleh
salah seorang wanita cantik lalu dibawa ke Sang Ratu, di mana Sang Ratu yang
dimaksud adalah Ratu Sumai dengan pangilan Nyai Cindonean.
Saat itu, Kaji Marwan sudah yakin bahwa dia
sedang tersesat dalam alam gaib, yaitu dunia kuntilanak di Blok Kias. Pada saat
menjelang matahari terbit pukul 05.45 komunitas kuntilanak yang takut pada
sinar, langsung raib semuanya. Tinggallah Kaji Marwan sendiri di hutan tersebut
dalam keadaan lemah tak berdaya, terkapar di akar pohon tembesu besar.
Sebelum beranjak, mata
Kaji Marwan tertuju pada sebuah kain selendang warna merah muda di atas satu
gundukan tanah. Kaji Marwan menghambur mendekat lalu mengambil selendang itu.
Belakangan, barulah diketahui bahwa selendang tersebut adalah selendang Ratu Sumai,
selendang Ratu Kuntilanak salah seorang anak buah Nyai Cindonean.
Bagaikan cerita l00l
malam, maka dengan selendang itu pula, Kaji Marwan bisa keluar dari hutan karet
itu. Akhirnya Kaji Marwan menemukan jalan keluar, yaitu jalan setapak menuju ke
jalan raya lalu naik angkutan dan pulang ke kampungnya. Sementara selendang
warna merah muda itu, dia simpan di dalam kantong celananya. Selendang itu
sangat tipis, terbuat dari bahan sutra alam, yang bila dilipat-lipat hingga
menjadi kecil dan masuk ke dalam saku celana.
Sesampainya beberapa hari
di rumah, Kaji Marwan mengeluarkan selendang itu di depan adik-adik sepupunya,
di antaranya Kaji Hamidan. Dengan iseng, Kaji Marwan melilitkan selendang
tersebut ke lehernya. Begitu selendang terpasang, adik-adik Kaji Marwan
berteriak spontan, karena Kaji Marwan tiba-tiba raib tak terlihat oleh mereka. Padahal
aku Kaji Marwan, dia tetap ada di situ dan memang suaranya masih terdengar.
Sejak itu barulah diketahui, bahwa fungsi selendang kuntilanak bagi
manusia adalah untuk menghilang. Jadi piranti meraibkan diri bila dikalungkan
di dua bahu kiri dan kanan siapapun pemakainya. Tapi bila disimpan di kantong,
maka si pemakai akan terlihat kembali.
Arkian, maka dengan
selendang gaib itu, Kaji Marwan merantau ke Korea Selatan. Dia tinggal di kota
Seoul di wilayah Itaewon. Mulanya Kaji Marwan bekerja sebagai pegawai
rendahan di keduataan Indonesia di
Illchiro. Ada surat-surat penting yang dipertunjukkannya, membuktikan bahwa
memang dia pernah bekerja di kedudataan. Tapi hal itu berlangsung hanya satu
tahun saja, di mana selanjutnya dengan ilmu raibnya, dia menjadi bandit di Hang
Dong, berkabung dengan bandit-bandit
Kayuagung yang ada di Korea menjarah bank-bank dan pusat penjualan berlian di
daerah ini. Di negeri ginseng inilah Kaji Marwan meraup kekayaan, di mana dia menjadi
bandit selama 30 tahun, secara berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat
lain, termasuk menyeberang ke Jepang, beroperasi pula di Tokyo, Kyoto dan Hirosima.
Ketika dihubungi terpisah,
Kaji Marwan membantah keras bahwa dia punya latarbelakang sebagai bandit. Dia
menolak tudingan warga yang menyebut dia seorang penjarah bank dan masuk dalam
sindikay perampokan berlian internasional. “Saya berniaga di Korea, bukan jadi
bandit!” sangkalnya, dengan nada tinggi. Kaji Hamidan yang belakangan kecewa
kepada saudaranya ini, mengakui bahwa Kaji Marwan memang 100 persen di dunia hitam, memanfaatkan selendang
kuntilanaknya untuk menjarah bank-bank dan mal-mal penjualan berlian di Korsel
dan Jepang.
Selain menyangkal bandit,
Kaji Marwan menolak pula tuduhan bahwa dia sebagai seorang pemilik selendang
yang dimaksud. “Saya tidak punya ilmu dan tidak punya benda benda gaib apapun.
Yang saya punyai adalah istri dan anak-anak yang sangat saya cintai. Tolong
jangan ganggu saya dengan hal-hal yang bersifat irasional seperti itu!”
desisnya, mengelak, saat tim kami menyambanginya.
Tapi lucunya, anak kandung
Kaji Marwan, Amir Samsi, 20 tahun, mengetahui persis selendang kuntilanak milik
ayahnya dan mengakui benda itu ada pada ayahnya. Bahkan ratusan kali Amir
membuktikan bahwa ayahnya memang mampu untuk raib dari pandangannya ketika
menyalungkan selendang tersebut di leher. “Papa bisa menghilang dan tak dapat
dilihat oleh kami anak-anaknya!” aku Amir Samsi.
Setelah bolakbalik ke
rumahnya, Kaji Marwan pun akhirnya mau mengakui adanya selendang kuntilanak dan
latarbelakangnya pernah menjadi bandit di Korsel. Akhirnya kami serombongan berhasil melihat selendang yang dimaksud,
namun sayang, selendang tersebut tidak berhasil difoto. Warna selendang itu
merah muda, panjangnya sekitar 60 cm dan lebar 30 meter. Bahan selendang yang
dimaksud adalah sutra tipis transparan, halus dan sangat lembut seperti satin.
Setelah menyaksikan benda
itulah maka ritual pencarian selendang kembali kami lakukan. Padahal pada hari
pertama dan kedua, kami gagal menemukan walau melibatkan dua orang ahli di
dalam rombongan. Setelah bertemu Kaji Marwan kami kembali ke lokasi Singai
Lilin, hutan angker yang banyak dihuni kuntilanak tersebut. Dalam ritual hari
ke tiga, hujan lebat turun di lokasi. Kami berdesakan masuk ke mobil empet-empetan
menyelamatkan diri dari hujan. Sementara itu kilat dan petir saling bersautan
di angkasa yang gelap gulita. Kilat yang terangbenderang itu membuka tabir
kegelapan malam, sehingga suasana hutan di malam itu sangat jelas terlihat dari
balok kaca jendela mobil.
Setelah satu petir meledak
keras di depan mobil dan menyambar lima pohon besar depan kami, pohon-pohon tersebut
langsung hangus terbakar secara mengerikan, cuntang puranang betebaran di
angkasa di atas tanah. Dahan dan ranting berjatuhan ke kap
mobil kami dan penyok di sana sini. Tidak lama kemudian, terdengar jeritan ratusan
suara perempuan, berpekikan seperti
suara-suara orang yang sedang kalap. Dalam hitungan detik setelah suara
pekikan, terlihat beterbangan wanita-wanita bergaun putih dengan rambut tebal menebar panjang
berkeliling di antara dahan-dahan yang tumbang. “Itu kuntilanak-kuntilanak yang
kita cari!” teriak Kiyai Hasballah Umar dan Ki Jangkung bersamaan. Ki Jangkung
meminta lampu kendaraan dinyalakan dan dengan lampu atas, dim, kami dapat
melihat jelas mahluk-mahluk ajaib itu.
Jantungku begetar hebat
dan bulu kudukku berdiri lalu kulitku merinding tanpa henti. Rasa takut mulai
menggerayangi diriku dan nafasku terasa sesak, terkena psikosensasi melihat
keadaan yang sama sekali baru dan
mengerikan itu. Kiyai Hasballah lalu membaca mantra-mantra tanpa suara, begitu
juga Ki Jangkung, terus betrkomat-kamit dengan apel jin serta madat Turki di
tangannya. “Semua tenang dan diam di kendaraan, saya dan kiyai akan keluar
menghadapi mereka!” kata Ki Jangkung, sambil membuka pintu kendaraan. Ki
Jangkung keluar duluan lalu diikuti kiyai yang turun dari pintu yang lain,
sebelah kananku duduk. Mereka berdua kemudian besatu di depan mobil dan
melakukan ritual. Keduanya berdialog dengan cara masing-masing kepada
kuntilanak-kuntilanak itu. Tidak lama kemudian hujan reda dan petirpun tidak
lagi meyembar-nyambar. Hanya kilat dan guntur saja yang ada, dan sinar kilat
itu dapat memperjelas kami yanag ada di mobil untuk melihat kuntilanak yang
beterbangan di depan kami.
Dengan ilmu
saktimandragunanya, Kiyai Hasballah Umar dapat berhadapan dengan pemimpin
kuntilanak. Pemimpin yang dimaksud adalah Ratu Sumai, Nyai Cindonean yang
dicari-cari. Satu dari selendang akhirnya berhasil didapat dari Ratu Sumai dan
rombongan kuntilanakpun menghilang seketika. Kiyai dan Ki Jangkung langsung
masuk ke mobil dan memerintahkan penyetir untuk segera meninggalkan lokasi. Kami
pun pergi dari lokasi kerajaan kuntilanak itu melewati jalan belukar keluar ke
jalan raya Sekayu-Palembang. Mobil terseok-seok masuk tanah berbecek dan beberapa
kali ban menjadi slip akibat hujan yang deras.
Sesampainya di Palembang
Kota, jam di tangan menunjuk di angka 05.00 pagi. Kiyai memerintahkan kami
masuk ke pekarangan mesjid Agung di Jalan Sudirman, sebuah mesjid tua
peninggalan Sultan Machmud Badaruddin, Raja Palembang Darusssalam abad l6 untuk
melakuka sholat subuh. Kami begabung sholat berjemaah dengan imam warga
setempat. Habis sholat kami menikmati pempek pagi di dekat jembatan ampere,
stelah itu mobil meluncur melewati lintas timur menuju Jakarta. Dalam perjalanan
kiyai bercerita bahwa satu selendang yang telah disimpannya, adalah selendang salah
satu anakbuah Ratu yang bernama Kandaswati. Kandaswati terpaksa dikorbankan
oleh Ratu Sumai, karena nakal dan suka berontak. Selendangnya lalu diambil
untuk kiyai setelah itu mereka pergi. Nah, Kandaswati yang tak bisa lagi
menghilang, terhukum keras lalu akan senantiasa sosoknya dapat dilihat oleh
manusia. Maka itu Kandaswati harus pintar bersembunyi agar tidak dianiaya oleh
manusia atau bangsa jin laki-laki yang bisa saja memperkosanya.
“Kasihan juga Kandaswati
itu ya Kiyai? Lalu sampai kapan dia akan terhukum seperti itu, bisakah menjadi
tersiksa seumur hidupnya?” tanyaku. Kiyai menyebut, bahwa kuntilanak yang
sering dilihat oleh manusia belakangan di mana-mana, adalah kuntilanak yang
tidak punya selendang lagi. Mereka semua yang dihukum oleh pimpinan mereka dan
selendangnya dibuang jauh atau diberika kepada manusia. “Kita mendapatkan salah
satu selendang karena kebetulan Nyai Cindonean sedang menghukum salah satu dari
110 anak buahnya di Sungai Lilin.
Lalu kenapa mereka takut
sama petir lalu berteriak berpekikakan seperti itu? “Sebenarnya kelihatan
seperti takut, seperti berlarian menyelamatkan diri dari petir dan berteriak minta
tolong. Bukan karena petir menyambar maka mereka berlarian, beterbangan seperti itu. Mereka saat itu sedang menghukum
Kandaswati, mengejarnya hingga lari berputar di udara. Petir memang menyambar
pohon tempat mereka, tapi mereka tidak menjadikan hal itu masalah, sebab mereka
sangat fleksibel, lentur dan lunak dalam begerak. Mereka dapat saja dalam hitungan dtik terbang ke
hutan lain sepanabng ratusan kilometer. Kecepatan terbang mereka melebihi
pesawat terbang, yaitu l500 km per-jam!” cerita kiyai.
Tiga hari setelah di
Jakarta, aku dipanggil kiyai ke rumahnya. Di sana sudah berkumpul semua anggota
tim. Hari itu juga, aku bersama teman yang lain, diberikan amplop uang yang
lumayan besar dari penjualan selendang dan semua anggota yang turut mendapatkan
bagian. Mobil yang mengalami kerusakan, diambil utnuk anggota tim, sedangkan
pemilik mobil diganti dengan mobil kijang inova yang baru oleh kiyai.
Satu minggu setelah operasi
pencarian kuntilanak, tiba-tiba rumahku kedatangan tamu menjelang tengah malam.
Tamu tersebut seorang perempuan rambut panjang dengan muka buruk seperti
tampang gorilla. Dia memperkenalkan dirinya dengan nama Kandaswati dan minta untuk dinikahi. Bayanganku langsung ke
Sungai Lilin dan langsung pada Kandaswati yang dihukum oleh Nyai Cindonean dan
selendangnya dibawa ke Jakarta lalu dijual. “Abang telah mendapat bagian uang
dari penjualan selendangku, sekarang Abang harus bertanggungjawab untuk
menikahiku, karena separuh hidupku sudah menjadi manusia!” desanya.
Jantungku berdetak kencang
dan nyaliku serta,merta menjadi ciut. Mulutku gemetar untuk berbicara, tapi aku
sangat sulit sekali mengeluarkan kata-kata. Dia kupersilakan duduk di kursi
beranda rumahku dan aku segera menelpon kiyai. Kuceritakan kedatangan tamu
asing itu dan kiyai menyebut bahwa itulah Kandaswati dari Sungai Lilin. “Kau terpilih dan tak boleh menolak lagi. Kau
salah satu yang disukai oleh Kandaswati karena tulang iga mu jarang dan kau kelak
bisa berinteraksi dengan mahluk gaib bangsa kuntilanak itu. Tidak apa-apa, nikahilah
dia. Soal buruk mukanya, nanti bisa dibuat cantik lagi dengan ritual Gah Cindo,
saya yang akan meritualnya.
Akhirnya dengan bantuan
kiyai, muka Kandaswati berubah menawan lagi. Wajahnya cantik sekali mirip
dengan Mayumi Itsuwa bintang pop dari Jepang itu. Kami pun langsung
melangsungkan akad nikah gaib dengan penghulu Ki Jangkung dan Nyai
Cindowati. Pernikahan itu dilakukan di
Singai Lilin pada malam Jumat Pon tahun 2009 lalu.***
(Kisah ini dialami oleh Amir Syam, Yana
Yuliani Malimping menyarikan kisah itu untuk portal-mystery.blogspot.com-Red)
Komentar
Posting Komentar