Petualangan Ginaib di Negeri Hongkong...
BATU BERTUAH
Saat pesawat China
Airlines mendarat di bandara Kaitak, Hongkong, batinku berdebar hebat. Negeri
eks. protektorat Inggeris ini yang begitu megah.
Gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi seperti menusuk awan. Selat
victoria bersih kulihat jelas dari atas pesawat dan aku menyaksikan bagaimana
kapal-kapal berlayar di terusan itu dengan tenang.
Dengan langkah lemah aku berjalan menuju terminal utama. Di koridor
kedatanan aku bertemu banyak wanita-wanita Indonesia yang penuh gaya.
Aku yakin bahwa para kaum Hawa
bangsa sendiri itu adalah tenaga kerja ndonesia (TKI) yang telah berpengalaman
di Hongkong.
Salah seorang di antaranya
kutegur dan ternyata benar dari Jawa. Aku memperkenalkan diriku dan menyebut
tentang keinginanku selama tinggal di Hongkong.
Udara negeri China pada
bulan desember 2004 itu cukup dingin. Aku memakai mantel pemberian Bude Darsih
di Manisrenggo Klaten bekas Pakde Harno saat bekerja di kapal pesiar Madura
Damme, Belanda. Sebuah tas ransel berisi pakaian kutaruh di punggung dan besama
wanita-wanita Indonesia itu aku keluar ke terminal taksi. “ke mana tujuan
Mbak?” tanya Rita, 34 tahun, TKI asal Banyuwangi, Jawa Timur, kepadaku.
“Saya sendiri bingung, saya enggak tahu mau ke mana. Tapi ada alamat
teman yang kupegang, tapi dia tidak boleh au datang arena dia sedang ribut sama
majikannya. Mungkin aku mencari hotel-hotel murahan yang harganya terjangkau, sampai
aku dapat pekerjaan!” kataku.
Beberapa wanita TKI yang
kukenal menggeleng mendengar tekadku itu. Sebab selama ini, kata mereka, tidak
ada satupun TKI yang mencari kerjaan sendiri tanpa melewati agen. Semua TKI
dapat pekerjaan karena agen dan diatur sejak di Indonesia.
Mereka semua dibiayai oleh agen, mulai dari persiapan tehnis sampai
saat bekerja di Hongkong. Nah selama bekerja, gaji mereka sebagian dipotong
oleh agen sebagai biaya training, ongkos pesawat, urusan administrasi kedutaan
dan biaya selama d karantina di Jakarta.
“Kami tidak ada yang jalan sendiri ke Hongkong ini seperti Mbak.
Apalagi visa Mbak adalah visa kunjungan wisata, bukan bekerja. Bila Mbak dapat
pekerjaan pun Mbak akan terkena sanksi, Mbak bisa dideportasi, di[pulangkan
lagi ke Indonesia karena dianggap pekerja liar!” desis Anna, 39 tahun, TKI asal
Bantul, saat sebelum dia naik taksi kuning menuju tempat kerjanya di North
Point.
Semua TKI yang kukenal
menakut-nakuti aku dan jujur saja, nyalikupun menjadi ciut. Bayangkan, aku
datang ke Hongkong bermodal paspor dan visa turis, sementara tujuan sebenarnya
aku mau kerja mencari uang untuk hidup tiga anakku di Indonesia.
Tapi untunglah, aku punya modal berbahasa Inggeris fasih yang kudapat
saat aku kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Jayakarta di Salemba beberapa tahun
lalu.
Dengan modal bahasa
Inggeris yang aktif itu maka ada sdikit keberanianku untuk mengadu nasib di
negeri orang.
Juga sedikit bahasa Mandarin yang
kupelajari dari teman baikku Lannie, anak keturunan saat aku kost di daerah Tebet
Barat, Jakarta Selatan.
Lannie memberikan banyak kata-kata kunci dalam pembicaraan berbahasa Mandarin praktis bila kita bertemu
orang Hongkong. Tapi syukurnya, di Hongkong bahasa Inggeris justru bahasa
pertama mereka dan bahasa Mandaris justru bahasa kedua. Untuk itulah, aku
optimis saja merantau di negeri seribu bintang ini walau banyak ditakut-takuti
oleh TKI kita.
Karena aku tidak punya
tujuan, maka teman-teman TKI yang kukenal meninggalkan aku di bandara Kaitak
sendirian. Mereka pamit dan semua pergi
ke rumah masing-masing, ke rumah majikan mereka untuk kembali bekeja setelah
pulang liburan ke tanah nusantara.
Sedangkan aku tiba-tiba menjadi
seperti orang bingung di luar bandara, mau ke mana dan mau apa setelah mereka
semua meninggalkan aku. Pada saat aku melamun di bangku panjang shelter bus,
tiba-tiba ada seorang pria asal Hongkong menegurku. “Are you waiting for some
one Miss?” tanyanya. Setelah kujawab aku tidak menunggu siapa-siapa dan berniat
mencari hotel murah, pria itu bersedia menemaniku mencari hotel murah yang
dimaksud. Pria itu ternyata agen travel biro dan membawa mobil kantornya
mengantarkan aku ke daerah Wanchai Street, tempat hotel-hotel murahan di Kowloon,
Hongkong.
Setelah aku mendapatkan
kamar, pria tu pamit kembali ke kantornya. Saat kuulurkan uang sebagai balas
jasa, dia menolak dan menundukkan rubuhnya pertanda dia hanya menolong aku yang
kebingungan.
“Nama saya Tan Jin Ham, saya
berasal dari Lawhon, Cina Daratan dan pernah pergi ke Indonesia sebagai turis
tiga tahun yang lalu. Saya di Jawa juga ditolong orang Jawa dan saya mau
memlasa kebaikan itu krepada Anda yang orang Jawa!” katanya, sanga santun.
\ Setelah memberikan alamat dan nomor telponnya,Tan Jin Ham pergi
meninggalkan hotel dan kembali ke pekerjaannya di Nathgan Road, Kowloon.
Satu hari istirahat di
hotel, aku mulai berkeliling mencari pekerjaan. Mulanya aku berjalan untuk
mengenali daerah, angkutan umumnya, rumah-rumah makan yang cocok serta toko-toko
juga pusat perbelanjaan yang bisa memungkinkan aku kerja. Di kapal Watertours
yang menyeberangkan aku dari Hongkong ke Kowloon, aku bertemu wanita dari
Bandung bernama Wati.
Wati ternyata sudah enam tahun tinggal di Kowloon dan
bekerja pada restoran antik La Ronda Hongkong. Restoran milik orang Italia
bernama Roberto Shcilaci itu ternyata sedang mencari pekerja wanita diutamakan
asal Indonesia. Wati mengajak aku datang untuk audisi dan menjalani test di
restoran masakan Eropah Barat itu di Furama Hotel, Central Districk, Hong Kong.
Tanggal 13 Desember aku
kenal Wati, tanggal 14 Desember aku menjalani test. Di luar dugaan, juru test
ku adalah pemilik restoran La Ronda
sendiri yaitu Tuan Roberto Shcilaci langsung. Test yang kujalani adalah test
kerapihan, kesantunan, ketekunan dan Inggeris.Setelah test, aku tidak perlu
menunggu lama hasilnya. Habis testing, setelah Tuan Roberto berdiskusi dengan
staf nya yang lain, aku langsung dipanggil lagi ke ruang direktur dan langsung
diterima bekerja. Hari itu juga gajiku ditentukan dan nilanya mencengangkan, di
atas standar rata-rata pegawai restoran di Hongkong.
Bersama Wati, aku tinggal
satu kamar di rumah inventaris restoran d wilayah Kimberly Road. Rumah itu
menampung semua karyawati retoran milik Tuan Roberto seluruh Hongkong dan
Kowloon. Sejak itu restoran makin ramai dikunjungi tamu dan bahkan tamu selalu
membludak sampai restoran kekurangan tempat.
Alhamdulillah, langkah
pertamaku di Hongkong terlewati dengan mulus. Tidak sempat menunggu lama aku
bertemu Wati dan Wati membawaku ke tempatnya bekerja. Walau belakangan timbul
masalah soal dokumen keimigrasian dan visaku, akhirnya semuanya terselesaikan
dengan mulus. Tuan Roberto membiayai semua keperluan administrasi itu dan semua
selesai rapih dalam waktu singkat.
Sejak aku mulai kerja di
Lo Ronda, restoran yang tadinya sepi tiba-tiba menjadi ramai sekali. Wati
sendiri terkaget melihat kenyataan itu dan Wati yakin energiku telah membawa
restoran itu pada kesuksesannya.
Bahkan banyak tamu yang terpaksa gigit jari karena tidak dapat tempat
duduk. La Ronda pun menjadi perhatian pers Hongkong. Bukan saja media kuliner,
tapi juga terus-terusan disorot oleh hrian setempat.
Seorang ahli feng shui dan hong shui kepercayaan Tuan Roberto melihat
ada tanda gaib muncul dari karyawan restoran. Katanya ada seorang pekerja yang
punya chi yang sangat positif, eneginya punya transmistika fa kua yang tajam
yang mampu mengusir energi negatif yang selama ini ada di La Ronda. Aku dan
Wati tersentak setelah ahli feng shui bernama Awe King itu menunjuk aku sebagai
pembawa energi luarbiasa positif itu. Dengan cara yang sangatlembut, Tuan
Roberto dan Awe King menanyakan apakah aku punya suatu ilmu klenik atau benda
mistik yang tersimpan dalam tasku.
Sebab berdasarkan deteksi
supranatural yang dilakukan Awe King, bahwa au menyimpan suatu benda kecil yang
mempunyai kekuatan gaib luar biasa.
“Katakan sejujurnya, benda
apa yang Anda simpan di tas Anda dan boleh kah kami melihatnya. Setelah itu,
kami akan kembalikan benda itu pada Anda!” desak Awe King, yang diangguki
kepala oleh Tuan Roberto Schilaci. Aku terkejut mendengar permintaan itu.
Awe King punya ilmu yang sangat
tinggi hingga dia mampu mendeteksi benda gaib yang tersimpan di tas ku yang
selama ini kuanggap biasa-biasa saja.
Pada saat menyongsong
ajal, suamiku, Mas Bambang Sungkono memberikan sebuah batu kecil berwarna biru
kepadaku. Batu akik itu dinamakan ahli batu sebagai blue safir firdausi yang
berasal dari daerah Cilacap, Jawa Tengah. Mas Bambang sejak lama memegang batu
itu secara turuntemurun dari kakeknya,
Mbah Suparjo yang memiliki ilmu
linuwih di Sragen. Batu itu adalah batu yang disebut Mas Bambang Sungkono
sebagai batu ajaib yang punya kharisma besar untuk berdagang.
Lain dari itu, berkharisma pula untuk bekerja dalam suatu jabatan politik. Sebelum jatuh kepada Mas
Sungkono. Mertuaku, Haji Suprianto, almarhum juga memegang batu itu dan
beberapa kali menjadi bupati. Sebelum meninggal, batu itu diserahkan pada
suamiku dan Mas Bambang maju pesat sebagai pedagang mebel di Klaten. Usaha
mebel itu maju pesat hingga menguasai pasar sampai ke mancanegara.
Di tenha kemajuan usaha
yang berkibar,
Mas Bambang sakit keras. Mas Bambang menderita serangan jantung akut
dan bolak balik operasi by pass di RS.Harapan Kita Jakarta. Karena sadar tidak
sanggup melanjutkan karena penyakitnya, Mas Sungkono menyerahkan usaha itu pada
adik kandungnya,
Aji Santoso, yang hingga sekarang terus melanjutkan usaha mebel di
Delanggu, Klaten, Jawa Tengah itu. Mas Bambang meninggal dunia 3 April tahun 2000
dan dimakamkan di Gondang, Klaten. Tapi serbelum meninggal, Mas Bambang
memberikan batu cincin tanpa pengikat warna biru sebesar biji delima kepadaku.
“Batu ini bukan batu biasa,Ma. Mama simpan di dalam dompet mama dan dibawa ke
mana saja Mama pergi!” harap Mas Bambang.
Sepeninggal Mas Bambang,
Aji Santoso menguasai sepenuhnya perusahaan mebel kami. Jangankan memberikan
keuntungan, memberi uang bulanan saja belakangan tidak lagi dllakukannya. Maka
itu, tiga anak-anakku terlantar.
Bahkan biaya sekolah mereka sangat sulit aku dapatkan.
Karena permintaan mertua
perempuanku, yang sudah seperti ibu kandung sendiri, aku membatalkan niat
menggugat secara hukum Aji Santoso yang merampok perusahaan Mas Bambang itu.
Ibu malah meminta agar saya mencari pekerjaan di Jakarta dan diberikannya aku
uang Rp 100 juta sebagai modal hidup sampai
mendapatkan pekerjaan.
Atas restu ibubu dan
mertuaku, akhirnya aku memutuskan untuk mengadu nasib di Hongkong. Teman
perempuanku menjanjikan pekerjaan di negeri penuh warna ini.
Sayang, Si Teman sedang bermasalah dengan boss nya hingga aku nyaris
saja terlantar di Hongkong. Karena demi biaya pendidikan anak-anak, maka buah
hatiku mengijinkan aku merantau ke Hongkong. Mereka kutitipkan pada ibu
kandungku dan sebagian uang dari mertuaku,
ditabungkan untuk biaya hidup juga biaya pendidikan bagi mereka.
Kini aku sudah di Hongkong
dan bekerja di restoran besar La Ronda. Di depanku, seorang ahli feng shui dan
boss besarku sedang menunggu untuk melihat benda ajaib yang ada dalam dompetku.
Dengan jantung berdebar-debar, aku membuka dompet dan kuangkat batu
kecil berwarna biru tua itu.
Pada saat diangkat, aku kaget luar biasa. Batu itu ternyata memancarkan
sinat yang terangbenderang. Sinarnya tiba-tiba menerangi lampu temaram ruang
kantor Tuan Roberto. Dengan perlahan batu itu kujamah lalu kuserahkan pada Awe
King.
Awe King langsung menarik batu itu dan tiba-tiba dia pingsan tak
sadarkan diri. Tuan Roberto panik dan kaget melihat keadaan itu. Dengan cepat
aku segera mengambil batu dalam genggaman Awe King yang sedang pingsan. Setelah
batu diambil, Awe King siuman lagi dan bangkit.
Dengan suara perlahan dia berkata bahwa batu yang kumiliki itu
adalah batu megasakti, batu titipan Dewi Kwan Im dan hanya Dewi Kwan Im lah yang berhak
membagikan batu luar biasa itu pada manusia yang hidup. Tuan Roberto sampai
tidak berani memegang batu itu dan memintaku untuk menyimpan kembali batu itu
ke dalam dompet.
Tuan Roberto mengharapkan
agar aku berhati-hati merawat batu itu. Bahkan, saking yakinnya dia pada si
batu, dia sampai berharap agar aku selamanya bekerja di perusahaannya. “Batu
kamu itulah yang membuat restoran ini penuh terus, restoran saya ini makin maju
pesat.
Untuk itu aku berharap kamu mau pula membangun usaha rumah makanku di
Seoul, Korea Selatan. Di pasar I Tae Won, Seoul, saya punya tiga restoran yang
megap-megap. Artinya hidup segan mati tidak mau. Maju tidak, mundur pun tidak.
“Bila kau mau, gajimu dinaikkan
lima kali lipat karena kamu mengawasi dan mengelola lima restoran di beberapa
Negara!” pinta Tuan Roberto.
Sejak itu aku mondar
mandir ke beberapa Negara dalam setiap minggu. Kadang aku di Korea, kadang di
Jepang dan terkadang juga di Hongkong. Bahkan Tuan Roberto memberikankku hadiah
rumah permanent di Tsamshai Road, Kowloon dan ketiga anakku dipindahkan
bersekolah di Hongkong. Bahkan ibu kansungku pun, akhirnya kuajak mukim di
Hongkong.
Pada suatu malam, antara
mimpi dan kenyataan, aku kedatangan almarhum Mas Bambang Sungkono. Mas Bambang
dengan wajah cerah menemui di kamar rumahku di Tsamshai. Malam itu dia berpesan
agar aku tidak terkoda pada lelaki sembarangan dan aku diminta untuk tidak
menikah lagi, lalu berkonsentrasi penuh mengurus anak-anak.
“Sebaiknya Mama tidak mikir duniawi saja, tapi juga surgawi Ma. Uruslah
dan han tarkan anak-anak kita pada cita-cita luhur mereka. Jadikan mereka
manusia yang berguna dan bermanfaat bagi nusa dan bangsa kita.
Pokoknya setelah mereka meraih
pendidikan tinggi di Hongkong ini, kembalilah ke tanah air dan bangun Klaten
kita yang terbelakang. Bila Mama menikah, maka batu itu akan kehilangan kesaktiannya
dan akan lenyap dengan sendirinya. Batu itu akan kembali kepada memilik awal,
ke Mbah SDuparjo di lama baka sana!” desis Mas Bambang, dalam mimpiku.
Dan pertemuan supramistik itu,
adalah pertemuan terakhirku dengannya. Sebab hingga sekarang aku tak lagi
mendapatkan petuah dan pesan-pesan dari almarhum suamiku itu. Aku berjanji pada
Mas Bambang, sampai kapanpun, aku tidak akan menikah. Dan aku siap kembali ke
Indonesia setelah anak-anakku sarjana semua.***
(Cerita ini terjadi pada Nyonya Bambang Sungkono. Yana Yuliani
Malimping menulis untuk portal-mystery.
blogspot.com)

Komentar
Posting Komentar