Piring Terbang dan Makhluk Angkasa Luar Bukan Isapan Jempol. Dengarkan Kesaksian Pria di Kalimantan Timur ini..Di bawah ini cerita lengkapnya..



  Pesawat UFO Memang Ada 

dan Saya Menemukannya


 Orangtuaku panik, aku raib ke alam lain. Mereka yakini bahwa aku digondol Wewe Gombel, hantu penculik anak kecil. Lalu diduga disembunyikan di Alam Hantu Gombel di Goa Bengkong, blok 13 Pompa Angguk, Anggana, Kalimantan Timur.
Namun, aku bukan ke situ. Ya, aku bukan ke alam  jin, tapi aku dibawa pergi ke alam angkasa luar. Ini pengalaman yang musykil namun menakjubkan. Di bawah ini kisahku selengkapnya.
Di luar nalar manusia, suatu malam, aku diajak Mister Torang, pemimpin Piring Terbang untuk pergi ke ke Planit Boro, suatu planit Antahberantah di luar bumi. Dengan penghuni pria dan wanita, jenis makhluk kepala botak bermata besar, dengan tubuh pendek tanpa busana. Makhluk itu mirip ET, makhluk gaib extra terrestrial, sebagaimana dalam film Close Encounter The Third Kind. Tapi ini bukan film, namun kisah nyata, di mana pada suatu malam, aku melihat lampu terang benderang bersinar dari langit. Sinar terang benderang itu ternyata sebuah pesawat angkasa luar, mirip rumah dengan ratus dan jendela yang mengeluarkan sinar, tanpa suara, turun di Bukit Sabatani, dua kilometer selah barat  rumah kami di Sanga Sanga, Kutai Timur, Kalimantan Timur.
Pada suatu sore, hari Selasa Pahing, 8 Juni 2010, aku bermain di tepi Sungai Mahakam untuk mancing ikan lampam. Ikan lampam itu sejenis ikan bersisik, bertubuh lebar dan berberat rata-rata tiga kilogram untuk yang dewasa.  Sejak siang aku pergi memancing dan mendaoatkan seember ikan lampam. Jumlah ikan itu lima ekor. Berarti hingga sore itu aku mendapatkan 12 kilogram ikan lampam. Ikan itu untuk dikonsumsi sendiri, juga membagi sebagai untuk Makcik Syaskiah, bibiku yang berjarak 600 meter dari rumah kami.
Makcik Syaskiah sangat pandai membuat pepes ikan lampam. Bikinannya enak dan gurih sekali. Menggunakan serai, daun kemangi dan bawang merah serta cabe rawit yang pedas. Selain dipepes, kadang-kadang di panggang oleh Makcik dan aku diajak makan di rumahnya. Sementara ibuku, biasanya hanya menggoreng ikan itu. Menggorang lebih mudah dan praktis. Tapi, aku tidak begitu suka digoreng. Aku lebih suka dipepes atau dipanggang seperti yang dibuat oleh Makcik Syaskiah.
Setelah mendapatkan dua belas kilo, adzan magrib aku dengar dari seberang sungai. Suara adzan dari Surau Bangiang, kampung Karamunting Bawah, Samarinda Timur.
Sebagaimana selalu dipesankan oleh ibu dan ayahku, bila sudah magrib, aku harus pulang. Jangan mancing di saat magrib karena banyak hantu air yang mencari korban. Juga banyak Hantu Semunyi, hantu yang jika di Jawa dikenal sebagai Wewe Gombel. Wewe Gombel, jenis hantu daratan yang suka menculik anak-anak di bawah umur. Sudah banyak korban Hantu Semunyi di Kalimantar Timur. Anak-anak yang diculik di bawah kea lam mereka. Di atas bohon tua yang rimbun atau di dalam goa akar pohon umur ribuan tahun secara gaib. Jika sudah diculik oleh Hantu Semunyi, tidak ada seorang polisi pun yang bisa membebaskan. Yang mampu mengeluarkan korban dari sarang hantu itu, hanyalah dukun. Dukun juga bukan dukun sembarang dukun, tapi dukun khusus Hantu Semunyi.
Dari Sungai Mahakam menuju rumah kami di Beliang Balak, aku harus melewati pepohonan tua dan Bukit Sabatani. Bukit berumput hijau itu berketinggian hanya 80 meter dari permukaan laut. Tidak begitu tinggi tapi untuk menaiki ke bukit itu cukup sulit karena medan yang berduri. Banyak akar kayu tajam dan pohon ranggas yang berduri seperti paku. Maka itu, sejak aku kelas satu SD hingga sekarang kelas enam Sekolah Dasar, aku tidak pernah naik ke bukit itu. Banyak teman-teman yang menantang aku untuk naik bersama mereka, tapi aku menolak. Aku paling takut dengan duri ranggas dan ketajaman akar kayu tua yang ada di bukit itu.
Dengan santai aku melintas dari Bukit Sabatani. Beberapa saat setelah aku berada di ujung bukit, aku melihat sinar terang benderang dari langit yang abu-abu. Aku menyaksikan sebuah pesawat angkasa luar berbentuk rumah berjendela banyak, turun ke bumi dan mendarat di atas Bukit Sabatani.
Pesawat itu turun sekitar pukul 18.15 Waktu Indonesia Tengah, WIT. Aku mengehentikan langkah dan terdiam kaget dan kagum melihat pesawat asing itu mendarat di Bukit Sabatani. Beberapa saat setelah mendarat, pesawat tanpa bunyi itu terbuka secara otomatis. Sinar lampunya membaluri seluruh bukit dengan keterangan dan ketajaman cahaya. Cahaya yang terang benderang namun teduh. Artinya, tidak menyilaukan dan menyakitkan mata. Maka itu mataku tidak berkedip sedikitpun saat memperhatikan gerak gerik pesawat misterius itu. Apalagi setelah melihat seorang berkepala botak, dengan kaki yang lebih pendek dari badannya.  Kapala besar, botak, mata bulat juga besar dengan jari tangan yang panjang-panjang dan semua kuku menyala-nyala.
Aku terpaku di tempat berdiriku di bawah pohon angsana. Kakiku jadi kaku karena cemas dan takut melihat makhluk ajaib yang mirip manusia tapi proporsi tubuhnya berbeda. Kalau manusia lebih panjang kaki dari badan, makhluk itu lebih panjang badan dari pada kaki. Sementara perutnya buncit seperti wanita yang sedang hamil.
Setelah satu keluar, di belakang makhluk itu keluar lagi empat sosok yang sama. Makhluk kepala botak, perut buncit berkaki pendek, bermata besar, sama persis bentuknya dengan yang pertama keluar pesawat.
Ke lima makhluk itu turun dari bukit seperti terbang ke arahku. Aku tersentak dalam persembunyianku di balik batang pohon angsana. Dengan jari-jari yang menyala, ke lima makhluk itu menunjuk pesawat, mengajak aku naik ke Butit Sabatani dan masuk ke pesawat mereka. Karena mereka kelihatan baik dan bersahabat denganku, maka spontan rasa takutku hilang dan aku mengikuti ajakan mereka.
Aku digendong oleh ke limanya, seperti terbang ke puncak Bukit Sabatani. Mendekati pesawat ukuran lima meter dengan panjang enam meter dari besi baja itu. Tubuh mereka hangat dan sedikit panas, sesekali kulitku bergetar seperti terkena strum saat mereka menggendong aku ke puncak bukit.
Sesampainya di pintu pesawat, aku dipersilakan masuk. Aku lalu masuk ke dalam dan suasana di dalam sangat dingin seperti di kamar ber AC split yang sejuk. Aku melihat sofa yang indah dari bahan platina dan emas yang anggun. Juga Kristal yang menyala-nyala di dinding pesawat.
Aku teringat akan ember ikan lampan hasilku mincing di bawah pohon mahoni. Empat ekor ikan lampan besar berberat 12 kilogram itu diperintahkan untuk dibawa ke pesawat oleh komandan yang belakangan aku ketahui sebagai raja. Dia pemimpin makhluk angkasa luar dan paling disegani di Planit Antahberantah. Ikan itu diambil dan dimasukkan ke dalam kulkas bersama emberku. Ikan lampan itu siudah mati karena kurang oksigen.
Pintu pesawat ditutup komandan. Dengan gerakan tangannya, Pak Komandan memerintahkan pilot dan co polot menerbangkan pesawat ke angkasa.
Sungai Mahakam deras mengalir. Perairan di Kalimantan Timur itu  aku lihat dari pesawat. Sungai yang berliku berkelok dan makin lama semakin mengecil dan hilang dari pandanganku. Pesawat terbang vertical, bukan horizontal sebagaimana pesawat terbang biasa. Pesawat itu naik dan turun seperti lift, vertical dan cepat melesat. Baik terbang ke langit maupun saat turun ke bumi.
Aku tidak dapat melihat lagi bumi. Semuanya kupandang gelap dari jendela pesawat berkaca tebal itu.  Setelah kurang lebih lima jam terbang, pesawat sandar di sebuah tempat yang sangat asing bagiku. Daerah itu mirip Padang Pasir, padang megaluas yang tidak berpohon dan tidak bersungai dan juga ada laut. Aku tidak diperbolehkan turun dan berdiam di dalam pesawat. Mereka semuanya turun dan menghilang ke Padang Pasir itu, sementara saya diam dalam pesawat. Aku diberikan makanan yang banyak. Tentu saja makanan manusia dari bahan gandum seperti kue-kue dan bakmie. Makanan itu sama dengan makanan di bumi dan aku menikmatinya dengan baik. Sementara ikan lampam yang tersimpan di dalam kulkas besar, aku lihat tetap utuh dan segar karena frezer yang dingin, minus sepuluh di bawah nol.
Setelah tertidur pulas, aku terbangun di dalam pesawat. Namun tidak ada seorang pun yang datang ke pesawat. Aku sendiri berdiam diri di sofa dengan sesekali jalan di kamar cockpit. Melihat pelaratan canggih makhluk asing yang lebih canggih dari tekhnologi buatan manusia. Peradaban mereka lebih hebat dan jauh lebih sakti daripada manusia sakti ada di bumi. Buktinya mereka punya planit sendiri, hidup mengambang, terbang dan berjalan menapak sebagaimana yang dilakukan manusia. Tapi, kelebihan mereka, bisa terbang, mengapung seprti kupu-kupu dan membuat tekhnologi canggih yang telah dilakukan ribuan tahun sebelum ditemukan manusia di bumi.
Aku tidak diijinkan keluar pesawat dan pesawat itu dikunci untuk mengamankan diriku di situ. Sebab belakangan batu aku tahu, bahwa di situ tidak ada oksigen. Sementara manusia bisa hidup bila ada oksigen. Maka agar aku tetap hidup dan diantarkan kembali ke bumi, mereka tidak memperbolehkan aku keluar. Bila keluar pesawat aku akan mati dalam hitungan menit. Oksigen hanya ada di dalam pesawat yang diambil dari bumi dan aku bertahan dengan oksigen yang tersimpan did ala pesawat. Makhluk itu hidup di dunia dunia. Bisa dengan oksigen bisa pula hidup bernafas tanpa oksigen.
Setelah puluhan  jam berada di planit asing itu, aku diantarkan pulang lagi ke bumi. Kali ini yang mengantarkan aku hanya tiga sosok. Tanpa komandan dan hanya pilot, co pilot dan navigator. Aku diantarkan pada hari Kamis Wage, 10 Juni 2010 pukul 18.45 WIT.
Sebagaimana mereka menjemput aku, aku juga diturunkan di tempat yang sama. Yaitu di Bukit Sabatani dengan jam yang sama saat mereka menjemput aku. Setelah aku keluar pintu pesawat, aku dititipi Batu Meteor Gaib, oleh Tuan Raja, Sang Komandan, melalui tangan Sang Navigator. Begitu aku turun dan dicium oleh ke tiga makhlukn itu, pesawat melesat dengan kecepatan tinggi, terbang vertical lagi ke langit. Aku memandang sedih ke pesawat itu dan berharap, suatu hari, dijemput lagi. Aku diajak lagi oleh Tuan Raja ke planit Antahberantah.
Setelah pesawat menghilang dengan sinar yang benderangnya, aku turun dari Bukit Sabatani yang terjal. Namun di luar dugaan, karena pengaruh makhluk sakti itu, aku pun menuruni bukit dengan mengapung seperti kupu-kupu. Aku turun bukit tanpa terinjak duri yang aku takuti. Tapi mengambang di atas akar dan duri tajam, turun ke bawah bukit, bahkan terus mengapung terbang bagaikan capung ke rumah kami yang sunyi.
Aku berteriak mengucap salam di depan rumah kami yang bertiang tinggi. “Assalamualaikum,’ teriakku. Seperti bersamaan, ayah dan ibuku menyambut salamku. “Alaikum salam,” teriak mereka. “Aduh Bu, itu seperti suara Safril Yusran, anak kita,” suara ayahku, berteriak kepada ibuku. “Iya, iya, tak sa;lah, itu suara Syafril, cepat bukakan pintu,” kata ibuku, yang sedang memakai mukenah usai sembahyang magrib.
Ayah dan ibuku turun menjemputku di bawah. Mereka memelukku dengan gemas, rindu dan menciumku habis-habisan. “Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, anak kami pulang,” teriak ibuku, sambil menangis. Ibuku menengadah ke langit, berterima kasih kepada Tuhan dan sujud syukur karena anak tunggalnya ini masih hidup. Pulang dalam keadaan sehat dan utuh.
Makcik Syaikiah juga ada di rumah. Dia yang usai sembahyang langsung buru-buru memelukku dan menentengku naik ke atas rumah. “Kamu ke mana Syafril? Ayo cerita, ke mana dua hari menghilang? Kami kita engkau hanyut di Sungai Mahakam diculit Hantu Air,” kata Makcik Syaikiah, terburu-buru dan gugup. Keluargaku semua menyangka aku sudah mati, bahkan sudah disisir semua penjuru Sungai Mahakam, kemungkinan menemukan jenazahku.
Aku dicari juga ke goa-goa, pohon tua di mana-mana sekitar Sanga Sanga dan Samarinda, kuatir aku disembunyikan Hantu Semunyi, Wewe Gombel yang sering membunuh anak-anak.
Setelah aku ceritakan bahwa aku naik pesawat asing di Bukit Sabatani, mereka tersentak. Tertarik mendengarkan ceritaku sejak awal. Sejak aku pulang mancing hingga ke planit antahberantah di luar bumi.
Mereka mendengarkan kisahku dan khsusyuk nyaris tanpa berkedip. Mereka tidak pernah tahu bahwa ada pesawat asing dan makhluk asing di luar bumi. Kini, mereka semua terperangah karena aku bisa mengapung dengan jimat batu meteor pemberian Tuan Raja. Dengan menggosok jimat meteor itu, badanku menjadi ringan lalu bisa terbang mengambang seperti kupu-kupu dan capung. Tapi anehnya, hanya aku yang bisa terbang dengan jimat itu. Saat ayahku mencoba mengosok jimat itu, ayahku tetap berat tubuhnya dan tetap diam terpaku di tanah, tak bisa mengambang seperti aku. Rupanya, yang bisa memakai jimat itu hanya mereka yang pernah ke Planit Antahberantah seperti aku. Di Amerika Serikat, ada beberapa orang yang juga mengalami hal yang sama seperti aku.    
Bahkan, di Duncan, Kanada, 29 november 1980, Granger Taylor, sudah naik pesawat asing yang disebut UFO itu. Granger dalam waktu lama di Platit Antahberantah bahkan setelah pulang ke bumi, mampu membuat pesawat yang sama dan bisa terbang sebagaimana pesawat asli kaum itu. Tapi bedanya tidak bisa cepat dan melesat vertikal ke langit. UFO adalah piring terbang yang diyakini selalu turun ke bumi pada waktu waktu tertentu dan berinteraksi dengan manusia dengan baik. Di belakang rumah Guruh Soekarno juga pernah turun Piring Terbang itu, namun tidak begitu lama. Guruh Soekarno melihat pesawat itu dan membuktikan semua tanamannya mati karena panas nya Piring Terbang saat mendarat. ****
(Kisah Syafril yang ditulis  YANA YULIANI MALIMPING UNTUK PORTAL-MYSTERY.BLOGSPOT.COM)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HAJI BULGANON HASBULLAH AMIR ORANG KAYA RAYA YANG DERMAWAN..

Pengalaman Abang Bulganon Amir Mursyid Spriritual Tangguh Yang Dapat Bisikan Masuk Neraka

Dunia Supramistika Tia Aweni D.Paramitha