Dendam Arwah Penasaran Di Malam Satu Suro

DENDAM ARWAH

Pernikahan itu benar-benar neraka. Soalnya aku dipaksa orangtua menerima seseorang lelaki yang bukan saja tidak aku cintai, tapi malah sangat aku benci.

Herdi Hernawan, 58 tahun, suamiku, selain sudah terlalu tua untukku yang baru berumur 19 tahun,  tapi juga aku sangat tidak suka pada sikap juga sifatnya yang angkuh. Dia sombong dan arogan.

Tidak menghargai orang dan merasa semua bisa diatur oleh uangnya yang banyak. Ayah dan ibuku dibelikan mobil mewah, BMW seri tujuh supermatic yang baru dari dealer.

Rumah ayahku juga direnovasi dan ibuku diberinya tanah dan tambak ikan mas. Maka itu, kedua orangtuaku yang miskin, silau lalu meminta aku menerima pinangan Kang Herdi Hernawan yang mengincer aku setahun belakangan ini.

            Pada awalnya aku berkeras menolak. “Papa sudah gila kali ya? Masak saya dinikahkan kepada orang tua yang sudah beristri dua dan beranak enam? Masak aku yang baru saja tamat SMA dijadikan istri ke tiga dari orang sombong seperti itu?” bantahku, saat ayah dan ibuku memujuk aku untuk menerima pinangan Jang Herdi Hernawan.

            “Tolong Papa, Nak, papa benar-benar terdesak. Papa bukan mau menjual anak, tapi Papa benar-benar kepepet karena hutang Rp 50 juta Papa dibayarkannya ke Haji Kontong, jika kamu mau menerima pinangannya. Lain dari itu, papa juga akan diberi uang Rp Rp 400 juta, Mama diberi Rp 400 juta dan kamu akan diberinya Rp 3 milyar, Nak,” ungkap papaku, tengah malam, saat aku sedang menulis catatan harian dan belum bisa tidur.

            “Jika motivasinya uang, itu sama saja Papa dan Mama menjual aku,” desisku, apa adanya. “Papa dan Mama kan tahu, aku punya pacar dan sangat mencintainya. Dia juga, Kang Maman, mencintai aku apa adanya. Dia memang belum bekerja, belum punya uang, tapi dia sudah melamar kerja dan sudah diterima  sebagai pegawai hotel Roal Costella di Karawaci Enclek, Kabupaten Tangerang. Dia berusaha mengumpulkan uang untuk menikahiku,” kataku.

            “Aduh, Nak, pegawai hotel itu berapa gajinya. Lagi pula, dia kan baru kerja, kapan uangnya akan terkumpul untuk membelikan rumah buat kamu tinggal. Mau makan apa kalian nanti kalau kerjanya hanya pegawai hotel?” ungkap mamaku, menimpali papaku.

            Kedua orangtuaku memang sedang panik soal utang piutang. Maka itu aku dijadikan tameng untuk menyelamatkan ayahku dari keberingasan penagih hutang, debt collector.

Papaku mengharap sekali aku dapat menerima pinangan aneh itu. Walau aku sudah katakan bahwa aku bisa saja menerima secara terpaksa, tapi hati dan hidupku secara keseluruhan, tidak bahagia. “Papa dan Mama tega melihat saya menikah dalam rumah tangga yang tidak bahagia bagaikan dalam neraka?” tanyaku.

            Papa menangis. Mamaku juga menangis. “Kalau begitu, Papa mengalah, biarlah Papa menerima kenyataan harus disiksa oleh penaguh hutang itu. Papa harus siap menghadapi apapun yang akan terjadi, yang penting anak papa hidup bahagia dengan jalannya sendiri. Tidak ada Nak, Papa dan Mama akan mengalah, Papa lebih mementingkan kebahagiaan dirimu ketimbang memikirkan soal hutang-hutang iru,” desis papaku, lirih, dengan airmata yang terus mengalir di pipinya.

            Menghadapi kenyataan ini aku benar-benar bingung, panik dan gunda gulana. Satu sisi harus memikirkan kebahagiaanku sendiri dan memenangkan kehendak pribadiku, sisi yang lain, aku kasihan melihat papa dan mamaku yang menderita karena hutang yang berjumlah besar itu.

            Lama aku termenung. Aku tak dapat bicara apa-apa sebelum mama dan papaku pergi meninggalkan aku. Setelah mereka pergi, aku memanggil mereka kembali. “Papa, Mama, biarlah aku yang mengalah demi Papa dan Mama. Aku mau menerima pinangan itu dan melupakan Kang Maman seumur hidupku,” ungkapku.

            Papa dan mamaku kembali kepadaku lalu memeluk aku. Mereka kembali menangis dan akupun menangis. Pikirku, hanya aku yang bisa melakukan ini, yang bisa membantu papaku keluar dari kesulitannya. Kapan lagi aku dapat berbakti, selain hari ini. Karena pertimbangan kasihan kepada papaku, maka aku terpaksa menerima pinangan itu dengan lapang dada. Walau, aku tahu bahwa batinku akan tersiksa.

            Kang Herdi Hernawam benar-benar menikahi aku. Dia membayarkan hutang piutang papaku dan memberi mamaku uang Rp 400 juta dan kepada papaku juga Rp 400 juta. Sedangkan untukku, dia membuka deposito bank Mandiri atas namaku dengan deposito sebesar Rp 3 milyar.

            Mendengar aku dinikahi orang kaya yang jauh lebih tua, Kang Maman Suryaman, pacarku putus asa. Dia meminum racun serangga membunuh dirinya sendiri. Kematian Kang Maman membuat batinku terguncang hebat. Aku menangis sendiri di kamar namun aku tidak mau hal ini ketahuan oleh Kang Herdi Hernawan. Namun, aku diperbolehkan untuk melawat kematian Maman Suryaman dengan diantar sopir pribadi Kang Herdi Hernawan dengan dua pengawal body guard.

            Malam harinya Kang Maman bangkit dari kubur. Tengah malam dia muncul ke rumahku dan duduk di sofa ku yang mewah. Dengan muka pucat dan lidah menjulur, Kang Maman sangat menakutkanku. Aku mau berteriak tapi suaraku tidak keluar. Aku berlari ke kamar tidurku, yang malam itu tidak ada Kang Herdi Hernawan. Suamiku itu sedang berada di rumah istrinya yang ke dua. Tete Santi Suryanaga, fotomodel dan pragawati top yang pernah menjelajah dunia fashion di Milan, Italia, Eropa Barat.

            Aku masuk ke kamar ku lalu mengunci pintu. Namun, Kang Maman sudah berada di pojok kamarku, duduk di samping lemari pakaianku. Aku mau berteriak keras, tapi suaraku tidak keluar. Kang Maman lalu berdiri dengan berjalan ke arahku bagaikan langkah zombie dengan tangan ke depan.

            Aku mundur beberapa langkah untuk memanggil pengawal yang tidur di kamar di samping rumah, tapi kakiku lemas. Kedua kakiku tak mampu melangkah karena takut. Aku berdiri tegak dengan kaku dan mulut keluh. Namun Kang Maman makin mendekat. Jantungku berdetak hebat dan sekujur rubuhku menjaid gemetar.

            Kang Maman sudah menjadi hantu. Kalau saja dia masih hidup, tentu aku akan menyambutnya dengan baik. Karena dia sudah menjadi hantu, maka aku menjadi takut. Bahkan sangatlah takut.

            “Sumarni, Sumarni, Akang datang Sumarni. Ayo, nikahilah aku. Aku yang sangat mencintaimu, Sumarni. Tolong Akang, Sumarni,” katanya, terbata-bata dengan suara yang bergetar.

            Aku mau bicara, tapi suaraku tidak keluar. Maksudku, Kang Mamang sudah meninggal. Telah melakukan bunuh diri dan mati. Tinggallah di alam kubur dan jangan kembali lagi kepadaku. Sedangkan aku sudah menikah dan aku sudah hidup sebagai seorang istri yang baik. Batinku bicara seperti itu, tapi mulutku tak mampu mendorong keluarnya suara dari pita suaraku yang melemah.

            Kang Maman makin mendekat dan berhasil  memegang tubuhku yang kaku. Tangannya kurasakan dingin seperti es. Seumur hidupku, baru kali itulah aku bertemu hantu dan terjadi interaksi. Namun, hantu yang aku temukan justru hantu mantan pacarku sendiri.

            Tanghan Kang Maman membuka baju tidurku dan aku diperkosa olehnya. Sungguh sesuatu yang ajaib, di mana orang yang sudah mati bisa memperkosa dan punya hawa nafsu. Namun aku pasrah dan aku sama sekali tidak bisa berkutik. Setelah memperkosa aku, beberapa saat kemudian, dalam hitungan detik, Kang Maman menghilang entah ke mana.

            Tidak ada seorang pun yang aku ceritakan tentang kejadian ini.  Termasuk kepada mama dan papaku, tidak aku buka kasus gaib ini. Apalagi kepada Kang Herdi Hernawan, suamiku, lelaki yang telah sah memiliki aku seutuhnya.

            Besok malamnya, Kang Herdi Hernawan menggilirku. Artinya, malam itu dia bersamaku di rumahku, rumah yang baru saja kami beli saat menikah berharga 14 milyar. Rumah di atas tanah dua hektar, ada kolam renang, kebun apel, nenas dan lengkeng Bangkok. Kang Herdi Hernawan mencumbuku di malam itu. Pada malam Jumat Kliwon yang keramat.

            Pada saat kami sedang bercumbu di ranjang, Kang Maman masuk dari lobang AC, menyelip di antara lobang-lobang kecil bertupa asap, kemudian berubah menjadi Kang Maman setelah asap itu menggumpal dan mengumpul. Kang Herdi Hernawan kaget melihat Kang Maman ada di kamar kami, ketika kami berdua akan bercumbu sebagai suami-istri. Kang Herdi Hernawan ternyata tidak tahu kalau yang datang adalah arwah. Dia kira sosok yang datang itu adalah manusia betulan dan berniat mau merampok kami. Kang Herdi Hernawan langsung melompat dari ranjang mengambil pestol kaliber 38 milimeter di lemari dan dengan cepat menembak Kang Maman.

            Kang Maman yang terkena peluru, tidak mempan karena dia roh, bukan manusia biasa. Makin ditembak, dia makin nampak segara bugar dan mengejar Kang Hernawan. Suamiku itu dicekiknya dan lemas, lalu terjatuh dan mati.

            Setelah suamiku meninggal, Kang Maman kembali memaksaku untuk melayaninya. Aku mengelak, berteriak minta tolongh, tapi suaraku tidak keluar. Setelah menggeruduk aku, Kang Maman menghilang dalam hitunghan detik menembus tembok.

            Malam itu, menjadi heboh. Semua pengawal Kang Hernawan mendatangi kamar kami. Mereka buru-buru membawa Kang Hernawan ke rumah sakit. Tapi, suamiku itu sudah tidak bernyawa lagi.

            Polisi mengusut kematian itu. Aku di BAP, diperiksa oleh penyidik secara intensif dan ditarik kesimpulan, bahwa akulah yang diduga membunuh Kang Hernawan. Aku menyangkal, mebantah dan menolak tudingan itu. Tapi polsi ngotot, aku boleh membela diri di persidangan. Bukti-bukti bahwa aku yang membunuh, karena ada bekas cekikan di leher korban. Ada bekas kuku yang tajam dan kuku itu adalah kuku milikku. Karena ada darah yang tersisa di ujung kuku ku dan terbukti darah itu adalah darah Kang Hernawan. Aneh, mengapa darah itu ada di kukuku dan mengapa pula cekikan itu akibat cekikanku.

            Karena aku tahu siapa pelaku pembunuh sebenarnya, yaitu hantu Kang Maman, maka aku memberikan kesaksian itu di polisi. Tapi polisi tidak percaya hal itu terjadi dan aku dianggap halusinasi. Bahkan dengan menerangkan soal hantu itu, aku malah dianggap gila.

            Karena pertimbangan polisi bisa menghilangkan barang bukti dan mengulangi perbuatan yang sama, maka aku ditahan di tahanan polisi Polres. Aku menangis sejadi-jadinya dan menderita tekanan mental berat. Ayah dan ibuku juga menangis, mereka sangat prihatin juga kasihan kepadaku.

            Pada malam harinya, hari pertama aku ditahan, tengah malam Kang Maman datang. Dia masuk ke penjara dan menjebok tembok, menyuruh aku lari. Pada pukul 24.00 aku melarikan diri, keluar tahanan ikut Kang Maman, dibawanya terbang ke Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat. Selama sebulan, aku tinggal di Gunungh Salak dan memakan daun serta bidanatng yang bisa diburu di situ. Sementara polisi heboh mencari aku. Akhirnya, akupun dinyatakan buron dan docari polisi di seluruh Indonesia.

            Setiap siang aku mencari buah-buah hutan yang tidak beracun untuk kumakan. Juga berburu burung, kancil dan ular untuk dimakan. Sementara minum, aku mendapatkan sumber air bersih gunung di sebelah selatan Gunung Salak.

            Kang Maman, hanya muncul di malam hari mendampingiku tidur. Sementara pada siang hari, dia kembali ke kuburannya dan alam antah berantah, entah di mana. Kini, separuh hidupku merasa sudah menjadi mayat. Aku hidup tapi seperti mati. Aku mengungsi di hutan belantara gunung yang tidak bertemu dengan manusia sama sekali.

            Setelah bosan tiga bulan di puncak gunung, aku turun pada siang hari, tanpa sepengetahuan arwah Kang Maman. Sebab Kang Maman tidak pernah bisa datang pada saat matahari mencorong. Dia hanya datang ketika matahari terbenam dan pergi sebelum matahari terbit.

            Pada saat matahari terbit, Kang Maman menghilang. Pada saat itulah aku turun gunung. Aku turun di desa Situ Uncal, Purwasari, kecamatan Dramaga. Sesampainya di desa itu, aku naik angkot ke Kota Bogor, lanjut pulang ke rumahku dan menyerahkan diri kepada polisi. Aku sudah bosan di pelarian dan tidak kuat memakan makanan hutan seperti hewan. Aku rindu akan makanan lamaku, nasi dan lauk pauk serta rindu akan hidup normal.

            Kini, aku menghadapi persidangan. Dan, di luar dugaan, pengacarku, Sultan Mahendra SH, mampu membuktikan tentang pembunuhan yang dilaukan oleh arwah. Maka itu, pengadilan memutuskan bahwa aku tidak bersalah dan terbebas dari semua tuntutan. Lain dari itu, negara berkewajibab merehabilitasi namaku. Namaku yang tercemar oleh tuduhan hukum itu, harus dipulihkan oleh negera setelah keputusan inkrag dari Mahkamah Agung. Alhamdulillah, kini aku hidup bebas dan menjual semua asetku, warisan Kang Hernawan untuk tinggal di Amsterdam, Belanda dan bekerja di negeri Kincir Angin. Terima kasih Ya Allah Azza Wajalla. Engkau Maha Adil, telah menunjuk pengacaraku yang cerdas, yang mampu membuktikan bahwa bukan aku pembunuh suamiku, tetapi arwah mantan kekasihku dari alam kubur. Thanks God, tanks a lot dariku, hambah-Mu yang hina dina. XXXX

(Kisah Sumarni yang ditangkap Henny Nawani untuk diturunkan di Majalah Misteri-Red)

      

      

      

      

      


Komentar

Postingan populer dari blog ini

HAJI BULGANON HASBULLAH AMIR ORANG KAYA RAYA YANG DERMAWAN..

Dunia Supramistika Tia Aweni D.Paramitha

Pengalaman Abang Bulganon Amir Mursyid Spriritual Tangguh Yang Dapat Bisikan Masuk Neraka