SANG PUTRI RAJA JIN
Misteri Sejati: Henny Nawani
Bunga
itu muncul tiba-tiba dan raib tiba-tiba. Beberapa tangkai bunga mawar dengan
batangnya di tengah hutan belantara, sungguh mengherankanku. Bagaimana mawar
itu ada di tengah Hutan Sanggara. Siapa yang menanam dan bagaimana mawar itu
tumbuh dan berkembang. Tidak pernah ada bunga wangi semerbak seperti itu hidup
di tengah hutan lebat. Aku mendekati mawar itu dan menciumnya. Wangi sekali.
Saat aku akan memetik setangkai dari puluhan tangkai, tiba-tiba semuanya
menghilang. Dan tidak ada tersisa setangkaipun mawar yang kudekati. Bahkan,
daun dan batangnya pun, raib seketika.
“Jangan petik mawarku dan akulah yang
menanamnya,” kata seorang wanita berambut panjang, muncul dari balik belukar,
tidak jauh dari lokasi bunga mawar yang aku temukan. Wanita itu sangat jelita.
Kulitnya kuning langsat, matanya bulat dan hidungnya mancung. Dia mirip sekali
dengan artis India jaman dulu, Mumtaz.
“Lha, di mana bunga mawar itu?”
tanyaku, refleks. Sambil mataku melihat ke mana dan di mana mawar indah itu
berada. “Mawar itu aku yang menanamnya dan akulah bagian dari bunga mawar itu,”
desis Si Dara, dengan suara yang merdu dan lembut sekali. “Gadis secantik kamu
kok ada di hutan belantara ini, apa yang dilakukan di sini?” tanyaku. Tadinya
aku berfikir dia seorang pencinta alam, seorang perempuan pemanjat gunung, yang
belakangan ini menjadi hobby banyak mahasiswi di dunia kampus perguruan tinggi.
“Aku tinggal di sini dan hutan
Sanggara ini adalah rumahku,” imbuhnya, sambil tersenyum manis.
Alkisah, nama gadis itu adalah Dewi
Sundari. Dia bukan manusia biasa. Tetapi bangsa jin Hutan Sanggara yang disebut
sebagai Anak Kuntilanak. Aku menjabat tangannya dan kami berteman.
Busana yang dikenakan
gadis alam lain ini adalah jenis kemben. Mirip busana penari keraton Jawa. Dia memakai kain jarik coklat tua dengan
membiarkan bahu dan bagian atas tubuhnya terbuka. Sementara selendang warna
hijau muda, meliliit di lehernya yang jenjang. “Panggil saja aku Putri
Sanggara,” pintanya.
Sejak itu aku memanggilnya Putri
Senggara. Bahasanya menggunakan bahasa
Kayuagung dan aku memahaminya. Bahasa itu akrab dengan diriku karena aku memang
berasal dari Pedamaran, tak jauh dari Kayuagung, Ogan Komering Ilir, Sumatera
Selatan.
Hobiku menembak burung. Daging burung
yang jadi sasaran biasanya perkutut, cucakrawa, cerucuk dan kutilang hitam. Hutan Sanggara bukan daerah
yang aku kenal selama ini. Baru kali itulah aku menembak sampai jauh ke
pedalaman hutan untuk berburu.
Biasanya aku menembak di hutan Burai,
Kapayah dan hutan Talang Kuti. Namun, karena banyak suara burung kudengarkan
lamat-lamat di telingaku, maka aku menyusuri hutan lebat hingga ke Hutan
Sanggara. Bukan burung aku temukan di
hutan itu, tetapi bunga mawar misterius dan gadis cantik Putri Sanggara, Dewi Sundari.
Mungkin karena aku berniat baik
kepadanya, maka gadis itu pun memperlakukan aku baik. Bahkan dia menunjukkan
kepadku ilmu saktinya terbang bagaikan burung. Menclok berayun dari satu pohon
tembesu ke pohon angsana di Hutan
Sanggara. Setelah terbang ke sana ke mari dan aku terkagum-kagum, dia turun
kembali mendekatiku. “Engkau mau belajar terbang seperti bangsa kami?”
tanyanya. Aku menangguk dan dia pun memberikan jurus terbang dan aku bisa
terbang sedikit. Hanya tiga meter ke udara. “Jika engkau terus belajar
kepadaku, engkau akan terbang seperti burung yang engkau buru,” ujarnya,
serius. Sekali lagi aku menangguk kepadanya. Pertanda bahwa aku akan selalu
belajar kepadanya hingga aku mahir terbang seprti burung. Tapi, dia meminta agar aku tidak lagiu
membunuh burung. Jika suka makan daging, jangan burung Hutan Sanggara aku buru.
Tetapi banyak burung yang sudah disediakan Allah untuk dinikmati. Disebutkannya
seprti burung belibis, burung merpati dan burung puyuh. Aku mengiyakan dan setuju sarannya.
Sejak itu aku berjanji tidak akan berburu burung lagi dan berhenti memakan
daging unggas liar yang berjumlah ribuan
di hutan lepas daerah hutan 13 kilometer dari kampung kami.
“Begitu banyak anak-anak yang menunggu
kedatangan ibunya mencari makan. Mereka diam disarang dan lalu mati karena
kelaparan. Sebab ibunya yang sedang mencari makan, Engkau tembak dan mati di
tanganmu. Kasihan kan anak-anak unggas itu, menunggu ibunya sementara ibunya
takkan kembali lagi selamanya karena mati oleh peluru senapanmu!” bisik Putri
Sanggara, kepadaku.
Sejak itu aku pensiunkan senapan
Benjamin Franklin ku. Aku berhenti menembak burung dan tak mau membunuh unggas
jenis apapun di hutan liar itu. Putri Sanggara mengajak aku ke rumahnya. Aku
segera mengikutinya. Tadinya aku berfikir rumah kuntilanak itu di pohon.
Ternyata tidak dan bukan di pepohonan, tetapi di dalam sebuah goa tersembunyi
yang selama ini tidak pernah ditemukan oleh manusia.
Saat aku memasuki mulut goa, ada
perasaan takut bergelayut di batinku. Sebab
dari mulut goa itu sangat gelap, banyak karang batu, belukar dan duri. Dengan perlahan aku mengikuti Putri
Sanggara dari belakang. Kuhindari duri, onak dan karang batu yang tajam.
“Jangan takut, kakimu takkan terluka oleh benda-benda ini,” katanya, sambil
tertawa renyah.
Beberapa saat setelah kakiku melangkah
ke dalam perut goa, astaga, ternyata sebuah ruang yang sangat indah. Terang
benderang oleh sesuatu batu King Safir yang kebiru-biruan. Di dalam ada karpet
Turki dan kristal yang anggun. Ini ruangan layaknya rumah mewah milik para
konglomerat di daerah kemang, Jakarta Selatan. Aku pernah melihat karya lukis
seniman dunia di rumah seorang kaya raya di Kemang. Karya lukis surialis Penderaso Ramos dan karya lukis mewah itu ada
di rumah gaib Putri Sanggara. Batu
pualam indah, batu mulia anggun, semuanya ada di ruang pribadi Putri Sanggara
dengan penataan tangannya yang rapih.
“Di mana orangtuamu? Ayah dan ibumu
serta adik kakakmu?” tanyaku, penasaran. “Aku hidup sendiri di Hutan Sanggara
ini. Ayah, ibu serta kakak-kakakku semua sudah hijrah ke Samudera Hindia.
Mereka tinggal di Pulau Tinjil, Banten Selatan,” katanya.
Diceritakan bahwa dia diajak pindah ke
Pulau Tinjil, namun dia menolak. Dia ingin tetap di Hutan Sanggara walau tnpa
ada siapapun dari keluarganya. Bahkan tak ada jin-jin lain yang ada di situ. “Karena
aku berkeras untuk tetap di sini, maka ayahku memutuskan aku menjadi pewaris
tunggal Hutan Anggara dan aku menjadi paku bumi dari hutan ini,” ungkapnya.
Namun, setiap malam bulan purnama ke
14, saat bulan bulat bundar di atas
langit, ayah dan ibunya datang. Mereka terbang sepanjang 700 kilometer
dari Pulau Tinjil, melintasi Samudera Hindia, Selata Sunda dan menuju Ogan
Komering Ilir ke Hutan Sanggara menemuiku. Biasanya, orangtuanya menginap
semalam, lalu besoknya kembali lagi ke Pulau Tinjil di seberang Muara
Binuangeun.
Setelah berceriota banyak, aku
disuguhi olehnya minuman sejenis anggur yang sangat manis dan nikmat sekali.
Lain dari itu, aku dimintanya makan bersamanya, sejenis kue warna hijau muda
mirip kue pepek, namun rasanya gurih dan lezat sekali. Setelah itu, dia
menceritakan bahwa dia baru pertama kali
berinteraksi dengan manusia. Selama ini, dia selalu bersama bangsa jin, sejenis
dengannya. Dia mengakui bahwa dia pernah bersuami. Juga bangsa jin. Namun,
suaminya itu memintanya untuk tinggal bersama di Pulau Karimun Jawa di kabupaten Jepara. Karena dia menolak meninggalkan Hutan
Sanggara, maka dia dicerai dan menjadi janda. Janda tanpa anak. “Jadi saya ini
bukan gadis lagi, tapi seorang janda muda yang tertap bernama seperti dara
perawan, Putri Sanggara,” desisnya.
Semakin panjang berbincang dengannya,
aku semakin tertarik pada sosok kuntilanak ini. Apa yang selama ini bergelayut
di otakku bahwa kuntilanak itu seram, hidung
tanpa lobang, jari tangan ada sembilan, tak benar seperti imajinasiku itu. Arkian, Putri
Sanggar mirip manusia biasa, sangat persis dengan wanita kalangan manusia. Jari
kaki dan tangan nya lima dan hidungnya normal, berlobang sebagaimana manusia
biasa.
Aku katakan jujur kepadanya, bahwa aku
tertarik dan jatuh hati padanya. Namun, di luar dugaan, dia pun demikmian. Dia
menerimaku sebagai kekasih dan siap menikah denganku pada malam bulan purnama
ke 14 yang akan datang. Saat ayah dan ibunya datang ke Hutan Sanggara. Dan
ayahnya akan menikahkan dia denganku. Pernikahan pertamanya dengan bangsa
manusia.
Walau hatiku berat pergi
meninggalkannya dari goa mistik rumahnya, namun dia justru meminta aku pulang
ke rumaqhku di kampung Bangkinak. Aku dimintanya datang pada malam purnama ke 14 yang kala itu jatuh pada
hari Kamis, Malam Jumat Kliwon yang
wingit, 18 November 2011.
Aku pulang dengan kekuatan supramistik
ke rumahku. Aku berjalan cepat bagaikan terbang, setelah dibekali selendang
hijau muda oleh Putri Sanggara. Selendang itu pula yang membuat aku seperti
terbang, walau aku membawa beban tas ransel dan senjata berat Benjamin Franklin
ku. Syahdan, karena selendang pemberian Pujtri Sanggara pula, aku bisa
menghilang dari pandangan orang. Aku bisa raib dan tak terlihat oleh siapapun
saat aku melilitkan selendang itu di leherku.
Kerinduanku membuncah kepada Putri Sanggara. Setiap saat,
setiap waktu aku memikirkan dirinya dan aku sangat merindukannya. Bahkan aku
pulang ke Jakarta dengan pesawat dari bandara Sultan Mahmud Badarudin,
Palembang menuju rumahku di Kramat
Kwitang, Jakarta Pusat. Setelah beberapa hari di Jakarta, akuy kembali ke Ogan
Komering Ilir, kampungku, untuk bersiap pada Jumat Kliwon 18 Novermber 2011,
menikah dengan Putri Sanggara di dalam goa Panglinga, di Hutan Sanggara,
sebelaha selatan Pedamaran.
Pada malam bulan purnama ke 14 yang
terang benderang, aku masuk ke Hutan Sanggara. Malam itu udara sangat
bersahabat, tidak ada gerimis, tidak ada mendung dan suasana hutan begitu cerah
ceria. Sinar bulan membuat kuning pepohonan kermunting dan angsa di Hutan
Sanggara.
Sebelum menemukan mulut goa, tiba-tiba aku melihat Putri Sanggara,
Dewi Sundari turun dari pohon mahoni. Dia menyambutku dengan tawa khasnya yang jelita dan mengajak aku
masuk ke rumahnya, tak berapa jauh dari pohon mahoni dia menunggu. Di sana
sudah ada dua sosok perempuan dan lelaki yang tampan dan cantik. Dialah Raja
Marabunta dan Permasuri Kinanti Anjani. Ayah dan ibu dari calon istriku Dewi
Sundari.
Mereka menyambut aku dengan ramah. Dan
Sang Ayah, King Marabunta bertanya, apakah aku benar-benar siap akan menikahi
anaknya dan apakah aku siap suatu waktu
akan terpisah karena berbeda dunia. Aku katakan aku siap menikah, tapi tak siap
berpisah. “Kenapa tidak siap berpisah?” tanya Sang Ayah. “Karena aku sangat
mencintai Putri Sanggara dan aku akan mendampinginya dan meminta dia
mendampingiku aku sampai akhir hayatku,” kataku. Ayahnya terharu dengan
pernyataanku ini, lalu menepuk pundakkiu dan dia menitipkan Putri Sanggara,
Dewi Sundari kepadaku. Malam itu juga kami menikah seperti pernikahan manusia. Aku meminta Dewi untuk jadi
istri dan ayahnya mengabulkan. Ijab
kobul terjadi dan aku memberikan mahar satu cincin emas 24 karat seberat 20
gram kepada Putri Sanggara. Malam purna ke 14 itu kami menikah resmi dan kami
tidur bersama di rumah gaib King Safir
Dewi Sundari. Istriku yang aku tetap panggil Putri Sanggara.
Keluargaku menganggap aku raib. Mereka
mendatangi banyak dukun dan semua dukun sebut bahwa aku ditawan jin di suatu
tempat. Tapi mereka tidak atu tempat itu
di mana. Mereka tidak tau Hutan Sanggara dan tidak mengenal Dewi Sundari. Keluargaku mencari aku ke
mana-mana, dan aku tau hal itu. Aku tau mereka mendatangi dukun dan nkiyai di
manapun, namun aku tetap bungkam membiarkan mereka menganggap aku tersesat di
alam jin. Padahl aku bukan tersesat dan bukan pula ditawan bangsa jin. Tetapi,
aku menikahi bangsa jin jenis kuntilanak yang super cantik, Dewi Sundari, Putri
Sanggara di alam hutan Sanggara yang
sangat tersembunyi dan misterius.
Dari Malam Jumat Kliown, 18 Novemnber
2011, hingga tahun 2017 ini aku bersama Dewi Sundari. Kami tidak memiliki anak
dan kami bedua selalu bersama. Bahkan, saat aku maujud di keluarga awal tahun
201, hari Jumat usai sembahyang jmumat, semuanya bergembira dan kaget. Mereka
menyambut kedatanganku dengan bahgia dan sumringah. Merka hanya melihat baku,
tetapi tidak melihat istriku, Dewi Sundari yang jelita di sebelahku.
Emas sebagai ikatan cintaku, 24 karat
seberat 20 gram untuk emas kawin, beranak pinak. Emas yang sedikmit itu dibuat
banyak oleh Dewi Sundari. Artkian ternyata istriku, Putri Sanggara menguasai
emas di beberapa daerah sekitar. Emas gaib itu diwujudkan oleh nya jika aku
memerlukannya. Maka itu, keluargaku banyak keberikan emas dan mereka menjual
emas itu untuk hidup dan kehidupan. Terima kasih Dewi Sundari, istriku yang
baik nan cantik.****
(Kisah Kanjeng Gusti Pagrarimba kepada
Henny Nawani, yang menulis kisah
surialis itu untuk Majalah Misteri-Red)
Komentar
Posting Komentar