BUANG SIAL
Aura wajahku sangat buruk. Ada chi negatif yang bergelantung dalam badanku. Energi buruk itu tidak akan menjauh dariku bila tidak melakukan ritual buang sial. Kesialan itu sangat mengganggu karir, bahkan akan merusak ketenangan hidup dengan musibah yang beruntun menguntit lingkup kehidupan.   Bahkan pengaruh buruk itu bukan bagi diri sendiri tapi juga untuk banyak orang yang berhubungan denganku. Setidaknya, begitulah hasil selisik supramistik yang dilakukan oleh Ki Santun Pandanaran kepadaku, saat aku mendatanginya untuk meminta nasehat spiritualis. Duh Gusti, siapakah yang dapat menolongku atau bahkan bisa mengeluarkan aku dari jerit derita dengan sejuta kesulitan ini?

Merasa kurang yakin dengan apa yang diteliti oleh Ki Santun Pandanaran, aku juga mendatangi Suhu Chow, ahli hongsui fengshui yang praktek tidak begitu jauh dari rumahku di Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Hasil telaah Suhu Chow ternyata sama persis dengan apa yang dikatakan oleh Ki Santun Pandanaran. Disebutnya, bahwa karena dosa masa lalu, kesalahan masa lalu, maka energi buruk itu bergelayut dalam diriku. Chi atau energiku sangat negatif. Chi negatif itu merupakan karma masa lalu yang dibawa ke masa kini, yang tidak akan mungkin lenyap bila yang terkena chi negatif itu tidak bertibat, mohon ampun kepada Sang Khalik, kepada sesama manusia dan kepada alam semesta jagat raya. “Selagi Anda tidak mau melakukan ritual tebus dosa, mohon ampun dan mandi di Sendang Kahuripan, maka chi negatif itu akan selamanya menyelimuti diri Anda dan selamanya Anda akan menemui kesialan hidup!” ungkap Suhu Chow.
Pada tahun 1990 bulan Maret, aku meminjam uang bank dengan agunan tanah warisan ayahku. Satu tanah perkebunan karet di Tugumulya, Lampung Barat seluas 50 hektar. Kakak-kakakku mulanya menolak tanah itu untuk dijaminkan ke bank, mereka semua khawatir bila aku tak mampu bayar, maka tanah itu akan disita oleh bank. Saat itu aku bersumpah bahwa usahaku akan berhasil dan dalam waktu singkat aku pasti mampu membayar lunas hutang bank dan sertifikat tanah yang diagunkan itu kembali lagi. Karena papaku merestui, maka akhirnya uang Rp 800 juta pinjaman bank itu dapat kumanfaatkan. Uang sebesar itu, aku gunakan untuk membangun dua restoran siap saji di Jakarta Barat dan menerbitkan sebuah tabloid wanita. Tidak sampai satu tahun, dua restoran itu bangkrut karena kurang peminat dan tabloid yang kuterbitkan tutup setelah enam kali terbit.
Empat puluh orang karyawan restoran tidak mampu kugaji dan 10 orang karyawan tabloid menggugatku ke Serikat Penerbit Suratkabar SPS dan aku diadili oleh organisasi. Karena aku pasrah kepada SPS sebab pailit, maka semua karyawan menjarah harta inventaris perusahaan dan aku tak bisa berbuat banyak. Begitu juga dengan karyawan restoran, mereka menyita mobil, kulkas, oven, AC, kompor gas dab kursi meja pun ludes dijarah mereka. Sementara komputer, mesin foto kopi, printer, mobil operasional di kantor tabloid, juga ludes disikat oleh karyawan. Semua barang-barang yang terjual, dibagi-bagi oleh mereka sebagai pengganti gaji yang tak terbayar. Tapi untunglah, Suhardi Wijaya, pemimpin umum tabloid yang punya konsep membangun tabloid itu, tidak ikutan menjarah. Bahkan  dia dengan suka rela menjual kendaraan dan rumahnya untuk mengganti uang gaji karyawan yang tak terbayar selama beberapa bulan.
Suhardi sangat prihatin melihat keadaanku dan dia turut membantu secara materi kepada bawahannya yang menjerit karena kesulitan hidup setelah tabloid stagnan, ditutup. Memang karena Suhardi Wijaya lah, maka dulu aku yang tidak paham tentang penerbitan pers, jadi mau berbisnis di situ. Mulanya lumayan berjalan, banyak iklan masuk dan tabloid terjual hingga sepuluh ribu eksemplar sekali terbit Tapi perjalanan tabloid itu tidak berlangsung lama karena tersaing oleh media-media sejenis yang diterbitkan oleh perusahaan bermodal besar. Usaha kapital yang telah berpengalaman dalam menerbitkan media massa seperti Kompas Gramedia dan Pos Kota. Tapi untungnya, Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers yang kumiliki, SIUPP dapat dipindahtangankan dan aku mendapatkan uang untuk itu. Uang hasil penjualan SIUPP itu kubagi dua dengan Suhardi Wijaya dan uang bagianku kugunakan untuk terbang ke Belanda mencari pekerjaan di Rotterdam.
Aku mulai tinggal di rumah teman baikku Helen Sparingga di Rotterdam pada bulan Agustus tahun 1993. Selama sebulan aku numpang hidup dan dilindungi secara fisik oleh Helen, aku mendapat pekerjaan sebagai waiter di kapal pesiar Blue Ocean yang menjalani rute Rotterdam-Hawaii. Gaji yang kuterima lumayan besar, cukup untuk mengirim bantuan buat papaku di Lampung Barat yang sedang depresi karena uang cicilan bankku macet total. Yang membuat ayahku panik adalah orang bank bolak balik datang dan mengancam akan menyita 50 hektar perkebunan karet yang aku agunkan. Kakak-kakakku mengutuk aku dan mereka bahkan ada yang mengancam membunuhku bila aku tidak meyelesaikan persoalan itu. Harta benda telah membuat kakak-kakakku gelap mata dan hata itu telah memutus total rasa kasih sayang di antara kami. Hal inilah yang membuat aku sangat menyesal, kenapa manusia begitu serakah, rakus dan tamak oleh sesuatu harta dunia hingga merusak hubungan darah kami yang suci.
Satu tahun aku bekerja di kapal pesiar Blue Ocean, kapal itu sepi penumpang. Makin ke sini kapal itu makin merugi dan akhirnya terpaksa ditutup karena pailit. Kapal itu akhirnya dijual ke tangan lain dan aku di PHK. Karena pemutusan hubungan kerja itu maka aku kembali ke darat dan tinggal di satu apartemen sederhana di kota Hilversum. Aku terpaksa bekerja banting tulang membersihkan kotoran kolam renang di saat musim panas dan mencuci piring di restoran Samba Grill di Wilhelmina Street. Tidak lama aku bekerja di restoran itu, aku tertangkap karena pelanggaran lalulintas dan aku dideportasi oleh pemerintah Belanda kembali ke Indonesia.
Sesampainya di Jakarta, aku tidak kembali ke papa di Lampung Barat karena terancam dibunuh Ulil Abdullah, kakak tertuaku. Dengan taksi bandara aku menuju rumah mantan mitra kerjaku Suhardi Wijaya di Jalan Kelapa Puan, Kelapa Gading. Jakarta Timur. Istri Suhardi Wijaya menyambut baik aku dan Suhardi Wijaya mencarikan aku pekerjaan di lingkungan kerjanya saat ini, suatu usaha penerbitan pers besar yang sangat bonafit. Suhardi telah bekerja di kompanyon itu sebagai pemimpin redaksi dan mendapatkan gaji lumayan besar. Usaha Suhardi maju pesat, medianya laku keras dan iklannya begitu banyak yang masuk. Dengan banyaknya iklan  maka perusahaan itu menangguk untung yang sangat besar setelah biaya cetak dan gaji semua karyawan telah terpenuhi. Keuntungan media itu, setiap tahun dibagi-bagi sebagai bonus tahunan kepada karyawan oleh pemilik yang kebetulan sangat sosial dan agamis.
Karena rekomendasi Suhardi Wijaya, maka aku mendapatkan tempat sebagai manager marketing, menggantikan manager lama yang dipecat karena kasus korupsi. Gaji yang kuterima memang tidak besar, karena aku masih dalam masa percobaan tiga bulan. Bila aku berhasil, maka setelah tiga bulan hajiku akan dinaikkan tiga kali lipat dari gaji pertama. Namun sayang, setelah hampir tiga bulan masa kerja, kantor redaksi terbakar dan perusahaan bangkrut total. Suhardi Wijaya pun terpaksa diberhentikan dan aku merasa sangat bersalah kepada keluarganya. Pikirku, sejak aku masuk ke perusahaan itu, maka perusahaan menemui kesialan dan gulung tikar.
Tidak enak hari kepada istri Suhadi Wijaya dan anak-anaknya, aku akhirnya menenteng koper pergi meninggalkan rumah mereka di Kelapa gading menuju Bandung. Teman baikku di Bandung. Aleta Thamrin, mau menampung aku di rumahnya fan akan mencarikan aku pekerjaan di Kota Kembang itu. “Wajahmu cantik, tubuhmu seksi, pasti banyak perusahaan Event Organizer yang mau merekrut kamu. Mau kan kamu bekerja di Event Organizer?” tanya Aleta Thamrin lewat telepon. Aku langsung mengangguk dan bersiap untuk job itu.
Apa yang manusia harapkan, tidak selalu menjadi kenyataan. Demikianlah kasus yang kualami dalam perjalanan menuju Bandung, November 1995. Di dalam bus mewah ber-AC menuju Bandung yang melewati Puncak Pass, hatiku berbunga-bunga untuk segera bertemu teman Aleta Thamrin, teman SLTA  ku saat kami duduk di bangku  SMA Tarakanita Kemang, Jakarta Selatan. Telingaku kupasangkan hearphone dan mendengarkan musik-musik klasik kesayangan. Lagu-lagu instrumentalia Hermann Clidermann dan Kenny G aku dengarkan dengan nikman dalam bus trans national di perjalan perbukitan Puncak Pass yang indah. Namun sayang, begitu turun dari Puncak Pass menuju Cipanas, bus masuk jurang dan tubuhku terasa melayang-layang tidak karuan. Benturan keras aku rasakan dan setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi.
Begitu aku tersadar, tubuhku sudah tergolek di ranjang gawat darurat rumah sakit Cipanas. Kakiku diamputasi dan mukaku penuh dengan perban dan tanganku dibalut berlumuran darah. “Untunglah Anda bisa selamat, Anda hanya menderita patah tulang dan luka ringan. Posisi duduk Anda pas di tengah dan semua penumpang yang di tengah selamat. Sedangkan sopir serta penumpang yang di depan semuanya meninggal. Sedang penumpang yang di belakang, hanya dua orang yang masih hidup!” desis Dokter Karyadi Sumantri, dokter rumah sakit Cipanas yang merawat aku.
Setelah dua hari dirawat di rumah sakit, ayah dan adikku, Nani, datang menjenguk. Mereka terpaksa masuk hotel di Cipanas dekat rumah sakit umum menungguiku hingga dokter bisa  mengijinkan aku dibawa ke Lampung Barat. Sementara Aleta Thamrin datang setelah aku empat hari di rumah sakit itu dan Aleta menangis histeris, menyesal mengapa tidak menjemput aku dengan mobilnya ke Jakarta, padahal ada jadwal suaminya yang harus ke Jakarta dalam urusan tugas. “Tapi yang namanya musibah, kita tidak tahu Let, jangan-jangan mobilmu yang membawa aku yang juga akan nyungsep seperti ini. Tapi amit-amit, jangan sampai itu terjadi padamu Let, biarkan aku yang menemui hal ini dan ini sudah menjadi takdir Allah SWT!” lirihku, dengan mulut tersendat, kepada Aleta dan Johnny Andrean, suaminya.
Setelah dua minggu dirawat, pihak asuransi jasa raharha datang dan mereka menyelesaikan semua biaya rumah sakit. Dokter Karyadi Sumantri memperbolehkan aku pulang dengan bertongkat dan papaku menyewa mobil dari Cianjur menuju kampungku, Tugu Mulya di Lampung Barat. Aleta tetap memintaku untuk datang ke Bandung dan berjanji akan mencarikan pekerjaan bagiku bila aku sudah sehat betul. Johnny Andrean juga bertekad akan mengajak aku dalam perusahaannya bila aku sudah pulih nanti. Usaha Johnny adalah bidang konstruksi bangunan mall-mall dan apartemen dengan beberapa brandit usaha di Surabaya, Jakarta dan Semarang, Jawa Tengah. “Begitu sembuh, langsung terbang ke Bandung dan pekerjaan sdah siap menunggu!” tekan Johnny Andrean yang disambut senyum ceria Aleta Thamrin.
Optimis akan bisa pulih dengan menjalani proses penyembuhan bersama papa di Lampung Barat, aku mau juga kembali ke rumah. Tapi ssampainya di Selat Sunda, di dalam perjalanan kapal ferry Jaktra Express, tiba-tiba kebakaran terjadi dari ruang mesin. Api melambung tinggi dan semua penumpang segera dievakuasi. Untuk kapal bantuan cepat datang dan semua penumpang selamat dipindahkan ke kapal Lautan Indah, kapal penolong yang datang dari Bakahuni. Pikirku selama berpuluh tahun, tidak pernah ada kapal yang terbakar. Kapal-kapal itu sangat aman dan nyaman, yang selama ini sangat diyakini seluruh penumpang hingga tak aa yang perlu dikuatirkan dalam penyeberanan Merak-Bakahuni itu. Sekarang ini, kok endilala, pas ada aku di dalamnya, kapal itu jadi terbakar dan semua penumpang nyaris dialap api. Pikirku, ujian ini begitu berat aku hadapi. Belum sembuh benar dari kecelakaan bus yang menelan banyak korban nyawa, aku temui pula kecelakaan yang nyaris sama, kapal laut yang terbakar bahkan nyaris menelan korban ribuan nyawa.
Oh Tuhan, apa salah dosaku sehingga cobaan ini bertubi-tubi aku alami. Mulai dari pekerjaan yang selalu membuat bangkrut usaha hingga kecelakaan lalulintas yang beruntun terjadi, saat aku berada di dalam kendaraan lalulintas itu. Setelah sampai di Lampung Barat, kakakku benar-benar tidak mau menengokku. Dua dari empat kakakku malah kabur dari desa dan sok sibuk di daerah lain, ogah melihat aku yang terpincang-pincang karena kecelakaan itu. Papaku berusaha mengajak mereka untuk menengokku, tapi yangd ua itu menolak dan seperti menajiskan diriku untuk dibezuk. Duh Gusti.
Di kampung halaman aku menjalani penyembuhan dengan kesabaran. Karena aku patuh pada nasehat dan saran dokter, maka aku berhasil sembuh total dalam waktu setegah tahun. Bekas luka di mukaku perlahan lenyap dan kakiku pun berjalan lurus sebagaimana sedia kala. Setelah pamit dengan almarhumah ibu di pemakaman Kasih Bunda di Tugu Mulyo, aku berpamitan dengan papa serta adik-adik dan kakakku yang masih baik kepadaku. Sementara itu aku berjanji kepada papa, bahwa tanah yang disita oleh bank akan kukembalikan dan aku berjanji akan mengganti tanah itu untuk papa berkebun karet. Hanya aku minta doa tulus dari papa serta adik-adik dan kakakku yang masih mau baik kepadaku. Sedang yang dua lagi, aku telah maafkan mereka dan aku mengerti mengapa mereka membenciku. Aku mengaku salah kepada mereka semua dan aku berjanji akan mengganti semuanya ini, dan kuharap mereka tidak perlu stress dan depresi karena masalah itu.
Pada tahun 1996 aku berangkat ke Bandung menemui Aleta Thamrin. Johnny Andrean, suami Aleta langsung menempatkan aku di perusahaan konstruksinya yang berkantor mewah di Tegalega, Bandung Selatan. Aleta jugha bersiap untuk mengajakku di perusahaan EO, event organizer yang digelutinya bersama teman-temannya sesama alumni Unpad di Dago, Bandung Utara. Karena kupikir tempat Johnny lebih menantang, maka aku memilik menjadi biro marketing di P.T. Manan Jaya Konstruksi milik Johnny Andrean.
Kali ini, aku menemui lagi kesialan di perjalanan hidupku dan itu membawa pengaruh kepada Johnny Andrean. Belum genap dua tahun aku bekerja di P.T. Manan Jaya Konstruksi, perusahaan itu bangkrut total. Selain terkena imbas krisis moneter tahun 1998, beberapa kantor Johnny di beberapa daerah juga ludes dibakar massa saat kerusuhan besar tahun 1998. Usaha Aleta juga begitu, mandek total dan tak ada job sama sekali di tahun penuh rusuh itu. Johnny terlibat piutang besar dengan bank dan dengan person-person yang membuat Johnny stress berat. Beberapa orang debt collector datang memaksa Johnny dan Johnny pun akhirnya  bunuh diri, mati menjatuhkan dirinya dari apartemen berlantai 20 di kota Bandung. Kenyataan ini benar-benar memukul perasaan Aleta dan anak-anak. Aku pun sangat merasa bersalah, berdosa dan durjana atas kejadian itu. Pikirku, karena aku hadir di situ maka perusahaan Johnny Andrean hancur dan Aleta menderita berat. Dengan airmata bercucuran aku pamit kepada Aleta dan pindah lagi ke Jakarta.
Sebelum aku melakukan apa-apa di Jakarta, aku mendatangi supranaturalist  Ki Santun dan Suhu Chow untuk meminta bantuan supramistik. Hasil kedua paranormal yang berbeda cara dan agama ini, aku diharuskan bertobat, meminta ampun dan mandi air sendang kahuripan untuk membuang sial. Semua baju, BH, celana dalam yang pernah aku pakai, harus dilarung ke laut dan dibuang sebagai ritual buang sial. Kesialan telah melekat dalam tubuhku dan aku harus melakukan upacara total membuang chi negatif dan aura buruk itu. Ki Santun melihat secara gaib bahwa di masa lalu aku, maaf, banyak melakukan perzinahan dan hidup penuh dosa. Apa yang ditebak Ki Santun semuanya benar karena aku doyan bergantu pasangan seks sejak aku duduk di bangku kelas satu SMA. Aku dicap sebagai anak badung yang karena kecantikanku, aku mengumbar diri kepada banyak lelaki tampan kala itu dan tidur bersama mereka secara bergantian. Dosa perzinahan inilah yang membuat aku sial sepanjang masa dan hal itu harus dibuang dengan melakukan mandi tengah malam di sendang suci dengan melarung semua pakaian yang pernah digunakan selama ini.
Ki Santun membimbing aku sebagai pengarah spiritual dan aku menyediakan dana untuk umburambe sebesar Rp 10 juta berikut transpor berangkat ke Sendang Narmada yang suci di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Ritual itu dilakukan pada tanggal 9 November 1999, jam 9 malam WIT, di mana dikatakan Ki Santun sebagai hari, jam dan tanggal terbaik bagiku di mana hari itu adalah hari lahirku, tanggal 9 November jam 9 malam di RS Setia Kasih Tugu Mulyo, Lampung Barat. Sebelum mandi di sendang dari jam 9 hingga 24.00 itu, aku bersama Ki Santun meralung semua pakaianku di Pantai Senggigih, Lombok Barat.  Walau kami hanya berdua, lelaki dan wanita, aku terkagum pada Ki Santun yang sangat profesional sebagai dukun. Dia tidak mau menyentuh diriku sedikitpun walau kesempatan itu begitu banyak. Sebagai guru spritual beliau benar-benar punya etika tinggi dan akhlak yang mulia dengan menganggap aku sebagai anak kandungnya. Ki Santun benar-benar membimbing aku menuju kebaikan dan perbaikan, dia benar-benar bertangungjawab hingga aku dapat kelar dari kesulitan ini.
Saat tengah malam di Sendang Narmada, tiba-tiba aku melihat bulan jatuh di pelukanku dan aku masuk ke alam “nirwana”  yang begitu indah. Di situ aku bertemu dengan Dewi Savitri yang cantik jelita dengan senyumnya yang teduh. Dewi menjatuhkan telapak tangannya yang halus dan merestui aku kembali ke alam dunia dan meninggalkan dia dengan anak-anak asuhnya di nirwana itu. Setelah aku keluar dari alam bulan itu, aku sudah berada  di hotel dan siap kembali ke Jakarta dengan flight pertama di bandara Selaparang.
Alhamdulillah, mulutku terus menerus memuju-muji kebesaran Allah, Tuhan seluruh mahluk semesta alam.  Lalu,  aku pun terusmenerus nyaris tanpa henti untuk berzikir, bersujud dan  beryukur kepada Allah, Tuhanku yang maha pemurah yang maha pengasih dan penyayang. Aku juga mengucapkan banyak berterima kasih kepada Ki Santun juga Suhu Chow yang membantuku meringankan semua persoalan beratku selama ini. Adab sial yang menggantung pada diriku itu telah hilang lenyap dan tubuhku terasa enteng, pikiranku menjadi terang benderang dengan keringanan berpijak, beranjak untuk merajut hari depan yang lebih baik. Kini aku memilik 100 gerai minimarket khusus berang-barang Indonesia di Belanda, dan alhamdulillah aku menjadi Raja Kecil di Amsterdam sebagai wanita pengusaha minimarket khas Nusantara Jaya.
Ayahku telah kuhadiahi 100 hektar tanah perkebunan karet di Lampung Barat. Ayahku sangat senang menerima pemberian itu dan dengan tekun papa mengurus perkebunan karet itu.  kakak serta adikku aku hadiahi sawah, tanah ladang dan rumah untuk mereka supaya dapat hidup lebih baik tanpa bergantung pada harta warisan papaku yang makin menua. Termasuk kedua kakakku yang selama ini membenciku, yang akan mengancam membunuhku, semuanya aku ambil rata, mendapat jatah tanah dan rumah dariku. Alhamdulillah semuanya menjadi baik dan semua hadir saat aku menikah dengan Mas Hermanu, suamiku yang kini telah memberiku seorang anak.****


(Kisah ini dialami oleh Nyonya Hermanu Sulistyo. Henny Nawani mencatat cerita itu buat Portal Mystery-Red

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HAJI BULGANON HASBULLAH AMIR ORANG KAYA RAYA YANG DERMAWAN..

Dunia Supramistika Tia Aweni D.Paramitha

Pengalaman Abang Bulganon Amir Mursyid Spriritual Tangguh Yang Dapat Bisikan Masuk Neraka