FILM G
30 S DISARANKAN SANDING
DENGAN FILM THE ACT OF KILLING
FILM Pemberontakan G 30 S diminta putar ulang
30/9/2018. Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo tantang Jenderal Hadi, panglima
TNI kini, berani kah Hadi memutara ulang film itu di jajaran TNI? Gatot menduga Hadi takut karena ada tekanan
dari atas. Tapi apa iya sih? Siapa yang menekan?
Gara-gara Jenderal (Pur) Gatot
Nurmantyo tantang panglima TNI putar film G 30 S jadi heboh. Masalahnya
panglima tidak bergeming pada tantangan itu. Lalu bayangan orang Joko Widodo
sebagai presiden, yang selama ini dituduh PKI, melarang pemutaran ulang film
yang menggambarkan kekejaman PKI itu. Padahal tidak begitu. Jokowi juga bukan
PKI. “Pada tahun 65 saya berumur empat tahun, masak ada balita PKI?” kata
Jokowi, membantah.
Ulama,
mubaliq dan da’i Ustad Budi Schwarkrone,
70, mantan sutradara, programer acara TVRI dan pemain film, berharap. Katanya,
bolehlah putar terus menerus tiap tanggal 30 September film Pemberontakan G 30
S itu, asal adil. Maksudnya film yang ditolak pemerintah RI judul Jagal: The
Act of Killing yang banyak dapat penghargaan di festival film Toronto dan
Telluride itu diputar berbarengan.
Saya
tersentak kok ada film buatan tahun 2012 bisa disandingkan dengan Film G 30 S.
Seperti apa film itu? Saya pun tertarik lalu mencari tau tentang film tersebut.
Saya pun menemukan film ini di youtube. Sutradara Jagal adalah sineas dari
Amerika Serikat bernama Joshua Oppenheimer, yang juga berperan sebagai produser
sekaligus.
Film
ini dalah film dokumenter. Berkisah tentang tokoh mantan preman Medan yang
paling ditakuti yaitu Anwar Congo. Kini Anwar sudah berumur 78 tahun. Nama
tokoh Pemuda Pancasila Medan ini Anwar. Karena pernah mau diberangkatkan ke
Congo ikut missi perdamaian PBB, maka Congo itu dipakai ke namanya. Jadi Anwar
Congo.
Anwar
Congo pada tahun 65-66 mengaku membunuh ribuan antek antek PKI, seperti
organisasi Pemuda Rakyat dan lain lain. Anwar bercerita bagaimana cara dia
membunuh dan siapa saja pembantai PKI yang bersama dengannya. “Saya tidak suka
darah berceceran karena bau, maka membunuh mereka dengan mencekik dengan
kawat,” kata Anwar Congo.
Di film
ini Joshua ajak pelaku pembantaian merekonstruksi adegan pembunuhan itu. Anwar
bersama teman temannya, di antaranya Adi Zulkardi, dimake up lalu merekonstruksi adegan
pembantaian sesungguhnya tahun 65-66.
Anwar
Congo adalah preman bioskop Central Medan yang miskin. Dia cari makan dari
karcis bioskop catutan. Pembantai antek PKI tahun 65-66 itu bukan hanya Anwar
Congo dan bukan hanya di Medan. Di Palembang juga ribuan antek PKI dibantai,
apalagi di tanah Jawa. Di Pulau Kemaro, tengah tengah Sungai Musi, di situ ada
kuburan massa PKI. Bahkan tahun tahun 65-66 itu banyak penangkap ikan patin dan
toman yang di dalam perut ikan itu jari-jari manusia.
Anwar
Congo, Herman Koto dan teman teman Pemuda Pancasila Medan semua bermain realis
di sini. Akting mereka semua natural dan wajar. Persis asli yang mereka
perankan. Seperti pemerasan terhadap pedagang Cina di pasar-pasar Medan, mereka
bermain begitu baik dan real. Tidak ada pemain film nasional sebaik itu
bermain. Jika itu diperankan oleh aktor kita, tak akan dapat ruh permainan
seperti itu. Ini tidak terlepas dari terampilnya Johua menyutradarai. “Semua
menggunakan kamera terbuka, tidak ada kamera yang tersembunyi,” ujar Joshua
saat diprotes oleh Anwar Congo yang merasa tertipu oleh sutradara Amerika itu.
“Anwar
Congo protes judul film ini. Saat syuting di Medan, judulnya Arsan dan Aminah,
tau tau dirubah menjadi Jagal: The Act of Killing,” kata Diano Nimkan, pengamat
film dari koran Pos Film. Pengakuan Anwar soal bunuh 1000 antek PKI itu jadi
kontroversial dan ketua DPP Pemuda Pancasila, Yapto Soerjosoemarno tidak senang
hati. “Itu urusan pribadi Anwar Congo, PP Medan, bukan urusan DPP Pemuda
Pancasila,” kata Yapto.
Jika Budi
Schwarkrone usul menyandingan film G 30 S dan film The Act of Kiliing ini
sangat wajar. Agar film dokumen sejarah ini adil. Yang G 30 S gambarkan
kekejaman antek PKI kepada 7 Jenderal TNI, film The Act of Killing
menggambarkan kekejaman Pemuda Pancasila tahun 65-66 kepada antek-antek PKI.
Bahkan orang yang tidak tau apa apa pun diculik dan dibunuh.
Kita
punya masa lalu kelam sejarah bangsa ini. Kita yang dibangga-banggakan selama
ini sebagai bangsa yang beradab, yang berbudaya, ramah, santun, ternyata semua
itu palsu. Bangsa kita ini maaf, melihat kasus itu, sebagai bangsa yang sadis.
Baik fihak PKI dan antek-anteknya maupun pihak yang mengatasnamakan Pancasila
dan organisasi keagamaan.
Bila
Gus Dur dulu menyarankan islah, itu betul sekali. Kita harus melupakan secara
kelam itu dan berdamai. Saat ini masih ada anak-anak dan cucu cicit PKI yang
dendam. Dendam itu dihapuskan dan dari fihak pro-TNI pun, menghapus luka itu.
Jika ada kecurigaan PKI akan bangkit, rasanya terlalu berlebihan. Lebai tuduhan
itu. Terutama Letjen (Pur) Kivlan Zein yang selalu menyebut PKI akan tumbuh.
Intelejen sudah mengendus ada tanah sekian hektar di Jawa dikuasai cucu-cucu
PKI. PKI sudah diharamkan tumbuh dan hidup di RI ini. Yaitu dengan diatur oleh
Tap MPR tahun 66.
Jika Gatot
kompori Hadi, panglima TNI memutar G 30 S, sebaiknya putar aja. Kenapa repot
repot menolak? Kasihan Jokowi, nanti dikira Jokowi yang larang pemutaran itu.
Lalu terjadi pembenaran hoax menyangkut siapa Jokowi yang sebenarnya tidak
begitu. Bahkan tanggal 1 Oktober, hari Senin, di Surabaya ada deklarasi Anti
Komunis, Anti PKI. Yang mengsisi acara itu adalah orang-orang yang aktif pada
acara Tagar Ganti Presiden. Yaitu Fadli Zon, Ahmad Dhani, Ratna Sarumpaet, Neno
Warisman, Ustad Khaekal Hasan dan lain-lain. Pemerintah tidak larang dan tak
perlu dilarang. Kita lihat saja apa yang dibicarakan di panggung deklarasi itu.
Tentang siapa yang biayai dan menukangi deklarasinya, tidak usah dicari-cari.
Namun jika deklarasi itu menolak pemunculan Komunis dan PKI lagi, itu sesuatu
yang lebai. Karena PKI dan Komunis jelas dilarang negara melalui TAP MPRS tahun
66. ***
Tia Aweni
D.Paramitha
Komentar
Posting Komentar