Mantra Sakti Datang Via Mimpi
MANTRA SAKTI KANJENG NABI
YANG DATANG MELALUI MIMPI
Mimpi itu terus berulang.
Setiap malam, kakek tua berbaju lusuh bertopi caping datang kepadaku. Celana
dan bajunya rombeng dan kotor sekali. Dia tidak memakai alas kaki dan berjalan
di terik matahari. Siapa dia?
“Aku adalah Yunus, temui
aku di Bukit Karang laut selatan, Baron, Gunung Kidul, Daerah Istimewa
Yogyakarta,” katanya. Mimpi ini setiap malam berulang dan bentuknya sama
persis. Meminta aku menemuinya di Bukit Karang, Pantai Baron, sendirian dan tidak
boleh membawa teman.
“Yunus, siapa dia?”
tanyaku kepada Ustad Salim Muhaman, 63 tahun, paranormal yang juga ulama di
dekat rumahku. “Yunus di dalam mimpimu itu,
adalah Kanjeng Nabi Yunus AS, temuilah di Gunung Kidul, selatan agak tenggara
dari kota Yogyakarta,” desis Ustad Salim Muhamad setelah melakukan tafakur,
meditasi kepada Sang Gaib.
Ustad Salim Muhamad
tawaddu, merendahkan dirinya kepada Allah dan meminta petunjuk tentang apa
maksud dari mimpiku. Mimpi yang sudah sebulan ini datang dan berlangsung setiap
malam aku tidur.
Aku seorang wanita muda,
lemah, dan penuh kekurangan. Karena aku menderita penyakit maag berat, penyakit
asma dan alergi sinar matahari. Karena banyak penyakit yang menggantung di
tubuhku ini, mungkinkah aku pergi sendirian ke Yogyakarta. Meninggalkan ibu,
ayah dan adik-adikku di Banten, lalu sendirian melanglang ke daerah laut sepi
di Gudung Kidul? Ah, aku pasrah kepada Tuhan. Aku meminta petunjuk dan
keyakinan agar aku siap mental jika memang aku harus berangkat. Memenuhi tuntutan
mimpi yang mungkin hanya sekadar kembang tidur itu?
Setiap malam aku
melakukan sholat sunnah, tahajut meminta petunjuk Allah Azza Wajalla. Setelah
tahujut, aku tertidur hingga subuh. Dan, setiap tidur, mimpi itu berulang lagi.
Kakek tua berpakaian lusuh bertopi caping datang lagi, meminta aku datang ke
istananya di Baron, Laut Selatan Yogyakarta.
“Berangkatlah Nak, mana
tahu, mimpi itu sebagai petunjuk bagi kita untuk merubah nasib,” imbuh ayahku,
Haji Sarkam Hamid dan ibuku, Maryana Amira, di rumah kami yang kecil di
Sudimara Pinang, Kota Tangerang, Banten.
Dorongan ayah, ibu dan
ustadku, membuat aku kuat. Aku segera menjual emas yang ada di lemariku,
berbentuk gelang, ke toko emas Haji Murdani di Cileduk. Uang penjualan emas itu sebagai ongkos pesawat pulang balik
dan biayaku selama tinggal di Yogyakarta. Uang penjulan emas itu berjumlah Rp 3
juta. Pikirku, jika ada rejeki, aku bisa beli lagi emas yang menjadi tabunganku
kerja selama lima tahun itu.
Tadinya, aku bekerja di
pabrik sepatu merek Kolhen, sepatu olahraga dari Jerman Barat. Perusahaan Eropa
Barat itu berdiri di Banten dan aku bekerja di situ di antara ribuan pekerja
lain. Gajiku selama lima tahun kerja, aku tabung sebagian dan di antara gaji
itu, aku belikan emas walau hanya sedikit. Beberapa gram saja berbentuk gelang
dan cincin.
Belakangan, ibuku sakit
kanker ganas stadium lima. Badannya kurus dan rambut ibuku botak karena
kemotrapi. Satu dari payudaranya telah diamputasi, tinggal yang satu lagi juga
terancam amputasi. Ayahku, menderita penyakit dibates militus. Darah tinggi dan
ginjal. Adikku yang bungsu, menderita penyakit hepatitis B dan dirawat di rumah
sakit beberapa waktu.
Karena banyak utang di
kantor dan sering libur mengurusi keluarga sakit, maka aku dipecat oleh
perusahaan. Aku dikeluarkan dari pabrik sepatu Jermana itu dan dagang di Pasar
Bengkok. Numpang jualan di depan kios tetanggaku dan aku berjualan ayam potong.
Hasil jualan ayam potong itu, tidak
begitu besar. tapi lumayan untuk menyambung hidup. Sementara untuk biaya berobat
orangtua dan adikku, tersendat. Bahkan belakangan menjadi terhenti. Untunglah,
pemerintah Kota Tangerang, memberikan
tunjangan kesehatan, jamkesda. Dengan modal kartu keluarga dan KTP,
serta rekomendasi dari Puskesmas
kecamatan, kami bisa berobat gratis ke Rumah Sakit Umum Tangerang. Semua biaya
ooperasi dan obat-obatan dijamin pemerintah dan ayah dan ibuku berangsur
sembuh. Begitu juga dengan adik bungsuku, Hermina yang juga berangsur pulih.
Setiap hari aku berjualan
daging ayam negeri dari pagi-pagi buta jam 05.30 waktu Indonesia Barat hingga
siang menjelang zuhur. Setiap hari aku hany bisa menjual lima belas ekor ayam. Per ekor ayam, aku hanya
mendaopatkan keuntungan sekitar Rp 3000,-. Maka itu, seharian, aku mendapatkan
keuntungan sekitar Rp 50 ribu. Uang senilai itu sudah bersih setelah membayar
retribusi dan uang sewa tempat kepada tetanggaku setiap kali aku berjualan di
depan kiosnya. Kios parfum dan busana muslim.
“Kalau aku berangkat ke
Yogyakarta untuk menemui sosok dalam mimpiku itu, lalu siapa yang meneruskan
berjualan ayam selama aku di Jawa?” tanyaku, kepada ayahku. Dengan semangat
juang angkatan 45, ayahku bertekad, bahwa dialah yang akan menggantikanku
sementara. Dia menghaku sudah bisa berjualan setelah melihat aku beberapa kali
berdagang ayam di Pasar Bengkok.
“Papa bisa, Nak, Papa
tahu dan faham caranya. Membeli ayam di mana dan memotong ayam serta menimbang
ayam yang akan dijual per-kiloan,” desis ayahku. Aku senang mendengar tekad
ayahku ini. Aku jadi siapa betul akan berangkat ke Yogyakarta dan meninggalakn
uang modal utnuk ayahku berjualan menggantikan aku. Tapi, aku belum langsung
melapskan ayahku. Aku test dulu ayahku berjualan, sementara aku mengawasi dari
kejauhan. Benar saja, ayah ku mampu melakukan hal itu dan aku akhirnya
memutuskan bahwa ayahku yang pensiunan pegawai kantor pos ini, sudah bisa aku
lepas.
Dengan uang Rp 3 juta
hasil menjual emas, aku pergi ke bandara Soekarno Hatta dengan naik ojek.
Sesampainya di terminal keberangkatan di terminal C, aku langsung menacri tiket
dan dapat pesawat Lion Air ke Yogyakarta. Setelah terbang selama satu jam,
pesawat yang kutumpangi Boeing 747 mendarat di bandara Adi Sucipto, Jalan Solo,
Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dari Jalan Solo, aku naik
taksi ke Jalan Malioboro, jalan-jalan sebentar di Pasar Bringharjo dan masuk
museum Vreideburg. Aku menemui seorang teman lamaku yang bekerja di sana. Nama
temanku ini Etik Suwarno, anak Ponorogo yang sama sama aku ketika bersekolah di
SMA negeri 3 Cileduk, Kota Tangerang. Etik kala itu tinggal dengan tantenya di
perumahan Pinang Griya. Setelah tamat SMA dia bekerja di Yogyakarta, berkantor
di gedung peninggalan sejarah di depan Istana Presiden di Jalan Malioboro
tersebut.
Etik membantu aku
menunjukkan jalan menuju Baron. bahkan dia menyarankan agar aku mencarter motor
ojek. Kebetulan, Tukang Ojeknya. Mas Sigit Heruarto, tetangganya di Ngampilan
NG V, dekat jembatan Serangan, Yogya Barat. Maa Sigit dapat dipercaya dan
tarifnya terjangkau, tidak mau menekan penumpang. Pokoknya ongkos ke Baron,
cukup murah, hanya Rp 140 ribu. Karena tanggung, aku memberikan Rp 150 ribu
untuk Mas Sigit. “Jarangnya cukup jauh dari Yogyakarta ke Baron itu, kurang
lebih 50 kilometer,” kata Etik, kepadaku, yang diangguki kepala oleh Mas Sigit.
Karena rekomendasi Etik,
maka aku memakai motor ojek Mas Sigit Heruarto. Kami berangkat dari kantor Etik di Maliobor melewati Jalan
Senopati, lalu masuk ke Jalan Brigjen Katamso, lewat THR lalu menuju Koda Gede.
Dari Kota Gede lanjut naik bukit aseman lau melintasi jalan bekelok menuju Kota
Wonosari. Dari kota Wonosari, motor ojek mengarah ke selatan sedikit ke
tenggara lalu memasuki Pantai Baron. Jam tanganku sudah menunjukkan pukul 14.45
WIB dan kami istirahat makan siang di warung Mbok Drami di Pantai Kukup, sebelah
pantai baron. Di sana ada nasi liwet dan lauk gudek yang cukup lumayan enak,
walau tidak seenak gudek di Malioboro.
“Apakah aku hanya
mengantarkan ke sini, atau aku bisa menunggu urusan Mbak selesai di sini?”
tanya Mas Sigit. Sebenarnya, aku ingin hanya diantarkan. Mas Sigit boleh pulang
dan dua hari kemudian, jemput aku lagi di Baron. Tapi entah kenapa, perasaanku
tiba-tiba gamang. Hatiku tiba-tiba menjadi gunda gulana, sunyi dan cemas. Ada
rasa takut menggantung di balik batinku. Takut akan laut yang ganas, takut akan
malam yang gelap. Dan takut akan kesunyian yang begitu senyap.
Tapi, pikirku, mungkinkah
aku menahan Mas Sigit untuk menjagaku, menungguku selama aku melakukan ritual
di Baron itu? Sebab Mas Sigit itu punya istri, meninggalkan anaknya di rumah.
Lagi pula, sesuai janji sejak awal, dia hanya mendrop aku, mengantarkan,
setelah itu dia tinggal aku di Baron dan pulang ke Yogyakarta lagi. Dengan
handphone ku, aku menelpon ke Etik, kukatakan bahwa perasaanku tiba-tiba gamang
dan takut. Bagaimana kalau aku ditunggui Mas Sigit dari kejauhan. Etik setuju
dan hal itulah yang sebanarnya dia maui. Dia ingin aku dijaga oleh Sigit karena
daerah Baron itu berbahaya. Bukan hantu atau rampok yang jadi sumber bahaya,
tapi ombak besar Laut Selatan Baron yang ganas. Hingga sekarang, sudah 123
orang mati terbawa ombak di Pantai Baron.
“Aku setuju banget kamu
ditunggui Mas Sigit. Nanti aku menelpon istrinya, pamit soal itu. Istrinya
pasti mengijinkan karena aku yang meyakinkannya,” desis Etik, masih di kantornya
di gedung Vreideburg. “Nanti, aku yang bayar Sigit, aku akan tambah jadi Rp 300
ribu,” kata Etik. “Tidak Etik, aku yang bayar Sigit, aku akan beri dia Rp 500
ribu, tapi tunggu ritualku sampai selesai, paling dua atau tiga hari,” kataku
pula. Etik setuju dan dia akan memberitahukan istrinya tentang hal ini. Mas
Sigit pun, setuju usul ini dan dia bersedia menemaniku sampai ritualku selesai
di Pantai Baron itu.
Dengan alas jaket
kulitku, aku duduk di Bukit Karang Hitam, selatan pantai Baron. Aku masuk ke bukit
itu melewti air deras dan ditemani oleh Mas Sigit dengan merintis jalan di atas
bukit sekalian mengusir ular laut yang sering kelayapan di situ. Ular laut itu
sangat berbisa dan mematikan bila kulit kita digigit olehnya. Maka itu, dengan
ilmu nya, Mas Sigit mengusir ular-ular itu agar tidak mendekat kepadaku.
Diam-diam, Mas Sigit ternyata ahli menangkap ular dan penakluk ular berbisa.
Dia punya ilmu menangkal bisa ular dengan stadium sepuluh. Ular king cobra yang
paling berbisa pun, tidak akan mempan menggigit Mas Sigit. Dan, hal itu telah
dibuktikannya di bukit karang hitam itu, di mana lima ular dia tangkap begitu
saja lalu dimasukkan ke dalam tasnya dan dipindahkannya ke bukit yang lain.
Setelah merasa aman dan
nyaman, aku memperbolehkan Mas Sigit meninggalakan aku di Bukit Karang Hitam.
Mas Sigit pamit dan kembali ke air yang sudah makin meninggi. Mas Sigit
menyeberang ke bukit yang lain sambil melihat ke arahku, di mana dia khawatir,
takut akan keselamatanku di butik tengah laut Samudera Hindia yang ganas
tersebut.
Setelah sembahyang magrib
dengan cara tayamun, aku melakukan zikrullah, wiridan dan mengucapkan doa
khusus untuk Kanjeng Nabi Muhamad dan Kanjeng Nabi Yunus AS. Aku juga telah
mengirim Al Fatihah unuk Kanjeng Nabi Yunus dan Kanjeng Nabi Muhamad, Nabi
Sulaiman dan Nabi Ayub Alaihissalam.
Setelah sembahyang Isya,
aku membacakan mantra-mantra sakti mandraguna pemberian ustad Muhamad Salim
untuk menemui sosok di dalam mimpiku itu. Sosok Nabi Yunus AS atau sosok
apapun, yang jelas, aku berada dalam kendali dan kawalan ustad Muhamad Salim
dari Banten. Hingga pukul 23.00, aku tidak menemukan apa-apa malam itu. Namun,
menjelang tengah malam, pukul 24,00, aku dikejutkan oleh suara gemuruh air yang
naik ke bukit karang hitam. Ada deburan ombak besar dari laut selatan masuk ke
tempatku duduk. Air bah itu nyaris melemparkan aku ke laut. Namun untunglah,
aku dapat berpeganagan dengan akar kayu beringin janggut dan aku selamat, tidak
terlempar ke air. Sementara itu, aku tidak tahu lagi tentang Mas Sigit. Di mana
dia dan bagaimana keadaannya di bukit sebelah.
Setelah ombak di bukti
reda, aku merasakan ada seseorang berada di belakangku. Aku memalingkan tubuh
dalam kegelapan dan berusaha melihat dalam pekat. Benar, ada sosok pria tua
bertopi caping di sana.Aku mengambil senter kecil dari tas ranselku dan aku
melihat, sosok Nabi Yunus yang datang di dalam mimpiku. Aku mencium tangannya
dan dia mememegang kepalanya sebagaimana orangtua kepada anaknya. Aku sangat
terharu karena apa yang terjadi di dalam mimpiku, benar benar menjadi
kenyataan. Kanjeng nabi Yunus yang selamat doi perut ikan paus itu, ternyata
maujud dan menemui aku yang fakir, yang lemah dan hinadina. “Duduklah Nak, aku
hanya akan memberikan lembaran mantra yang kau gunakan untuk kehidupanmu, kesehatan
keluarga besarmu dan kesehatan dirimu sendiri. Kalau bisa, bila ada orang yangh
minta bantuanmu, bantulah,” desis Kanjeng Yunus kepadaku.
Setelah memberikan
secarik kertas, Kanjeng Yunus menghilang ke laut. Aku mengikuti arahnya dan dia
dijemput oleg seorang ikan raksasa. Ikan paus besar di laut Baron, lalu ikan
itu membawa Kanjeng Yunujs ke Samudera Hindia, ke tengah laut, dan aku tak tahu
lagi pergi ke mana. Beberapa saat setelah Kanjeng Yunus pergi dengan ikan paus,
aku tertidur. Aku terbangun subuh hari dan sembahyang subuh. Ketika matahari
mencorong di timur dan sinarnya menjilat laut, aku berteriak memanggil Mas
Sigit di bukit sebelah. Mas Sigit mengucek-ngucek mata lalu merangsek
menjemputku melalui air berombak dangkal.
Kami segera pulang pagi itu
ke Yogyakarta. Sesampainya di Yogya, hari masih lumayan pagi. Tapi Etik sudah
ada di kantor dan aku menemuinya di Vreideburg. Aku menangis di pelukan Etik,
karena semua yang aku ceritakan kepadanya tentang mimpi itu, menjadi kenyataan.
Etik memberi selamat kepadaku dan mengucapkan teriam kasih banyak kepada Mas
Sigit. Aku memberikan hadiah kepada Mas Sigit dengan uang khusus di luar
ongkos. Karena berkat bantuannya, maka urusanku beres dan aku dapat langusng
pulang ke Banten hari itu juga. Aku diantar oleh Etik dengan motornya ke
bandara Adi Sucipto dan kami berpisah di Jalan Solo, Yogyakarta Timur.
Alhamdulillah, ayahku
yang sakit parah, kini pulih total. Ibunya yang sakit arah, sehat walafiat.
Akupun, yang menderita ragam penyakit, kini bersih dan sehat walafiat. Namun,
karena sehat, tubuhku kini jadi tambun dan gemuk. Tapi tidak apalah, yang
penting aku bisa sehat, ayahku, ibuku, adik-adikku yang berpenyakitan, kini
sehata semua berkat mantra sakti Kanjeng Nabi Yunus Alaihissalam. Bahkan, aku
bisa menolong tetangga, warga dan banyak orang yang memungkinkan aku bisa
membantu. Terima kasih Tuhanku Allah Azza Wajalla, terima kasih Kanjeng Nabi
Yunus AS, yang telah hadir dalam mimpiku dan memberikan mantra kesehatan yang
sakti mandraguna. *****
(Kisah yang dialami Siti Fatimah, Henny Nawani menulis
untuk majalah online MysterY -Red)
Komentar
Posting Komentar