Pertaruhan Terakhir Prabowo
PERTARUHAN TERAKHIR PRABOWO
Pemilu April 2019 ini, tak pelak lagi,
merupakan pertaruhan terakhir bagi Prabowo Subianto. Dan pertaruhan terakhir
juga bagi Partai Gerindra, yang didirikannya. Bila Prabowo kalah lagi kali ini
- seperti dua kali pencapresan sebelumnya - selesailah dia. Baik sebagai
politisi maupun sebagai pemimpin partai.
Tak heran bila dia menjerit
sekuat tenaga dengan menyebut “Indonesia akan punah” jika dia kalah. Indonesia
akan bubar di tahun 2030. "Kita tidak bisa kalah. Kita tidak boleh kalah.
Kalau kita kalah negara ini bisa punah," teriak Prabowo saat menyampaikan
pidato di acara Konferensi Nasional Partai Gerindra yang digelar di Sentul
International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Senin (17/12).
Teriakan itu juga bisa dimaknai
sebagai ancaman dan peringatan. Sebab, patut diduga, dia didukung oleh tim dan
milisi yang bisa membuat kekacauan dan kerusuhan. Banyak mantan jendral dan
ahli strategi perang yang bergabung dengannya. Selain sisa sisa rezim Orba, dan
kelompok radikal intoleran.
Jika Pilpres April 2019 kacau dan
Indonesia rusuh – amit amit - Prabowo ‘nothing to lose’. Tidak kehilangan apa
pun. Dia bisa kabur lagi ke luar negeri (ya, lagi). Dia tak punya beban
keluarga – secara resmi dia tak punya isteri - dan anaknya juga tidak tinggal
di sini. Orangtuanya pun sudah tak ada.
Tak heran sebenarnya, bila dia
lebih banyak menyuarakan ancaman, keburukan dan kenegatifan ketimbang kebaikan
an pesan positif bagi bangsa.
Dan ironinya, pendukungnya
banyak.
Prabowo kini 67 tahun dan akan
berusia 71 tahun pada pemilu berikutnya. Setidaknya dua kali mengalami
‘stroke’. Maka, semua suara kenegatifan yang dikampanyekan Prabowo – Indonesia
bubar, Indonesia punah - sebenarnya ditujukan bagi dirinya sendiri.
Tak heran bila Menko Pulhukam
Wiranto, jendral seniornya, yang selama ini dikenal kalm dan santun mengajak
taruhan rumah. "Kalau sehabis pemilu Prabowo kalah dan Indonesia tetap
utuh tidak punah, maka rumah Hambalang diserahkan kepada saya. Sebaliknya,
kalau Indonesia punah, maka rumah saya di Bambu Apus diserahkan ke Prabowo.
Tapi kalau semua punah, buat apa lagi rumah," kata Wiranto, Selasa
(18/12/2018).
Prabowo belum pernah sukses dan
tidak memiliki prestasi yang membanggakan dalam mengelola masyarakat sipil –
kecuali partai Gerindra - belum pernah jadi pejabat publik. Dan kini, Prabowo
lebih banyak menebar pesimisme dan data-data palsu kepada masyarakat.
Saya enggan mengutip data data
yang diungkapkannya, karena tim Prabowo sering ngawur. Seperti ketika menyebut
90 persen rakyat Indonesia miskin dan jelas itu ngawur. Boleh jadi itu data 20
tahun lalu ketika Cendana masih berkuasa.
Jika Prabowo dalam pidato di
Sentul, mengatakan “para elite selalu mengecewakan dan gagal menjalankan amanah
masyarakat” maka yang dimaksud adalah elite Orde Baru yang pernah berkuasa
selama 32 tahun - dimana dia merupakan salahsatu bagiannya - dan kini ingin
tampil kembali.
Ketika dia menyebut “ketimpangan”
dalam pengelolaan ekonomi negara di pemerintah kini, ayahnya dan mantan
mertuanya lah yang menciptakan. Ayahnya Soemitro Djojohadikusumo yang mendesain
ekonomi Indonesia di awal Orde Baru, sehingga menjadi seperti sekarang.
Soeharto, mantan mertuanya,
mengorbitkan sejumlah pengusaha yang kemudian jadi konglomerat dan memonopoli
segala lini bisnis dan menyengsarakan rakyat kini. Memonopoli perdagangan yang
menjadikan mereka menjadi Mastodon - yang menciptakan kesenjangan sekarang ini.
Dia menyebut “elite telah
berkuasa puluhan tahun, dan terlalu lama memberi arah dan sistem yang salah” –
tak lain adalah kelompok mereka juga. Buku buku memoar para jendral dan sejarah
militer, yang saya baca, menyebut Prabowo mendapat kenaikkan pangkat
berkali-kali karena kedekatannya dengan keluarga Cendana, bukan karena
prestasinya.
Tak ada lagi kesempatan bagi
Prabowo kecuali sekarang ini. Karena generasi milenial tumbuh, pemimpin baru
dan calon pemimpin baru akan tampil, logistik sudah semakin sulit didapat oleh
kubu pelawan petahana kini, di pemilu berikutnya. Integritasnya pun semakin
merosot.
SELAMA 32 tahun elite elite Orde
Baru, di bawah kepemimpinan mantan mertua Prabowo dan ayahanda Titiek, mantan
isterinya, terbiasa dengan nikmatnya kekuasaan, hidup mewah, bergelimang harta
tak tersentuh penegak hukum.
Dan kini mereka kembali! Ingin
berkuasa lagi, menjanjikan kesejahterakan rakyat seperti zaman Pak Harto.
Memanfaatan generasi yang buta sejarah.
Titiek Suharto yang merapat mesra
ke Prabowo setiap lima tahun, menjanjikan pemerintahan mendatang kembali ke
zaman serba murah.
Harga harga murah di zaman Pak
Harto adalah politik kekuasaan dan subsidi, yang membuat rakyat manja. Mereka
jadi sangat tergantung dan lemah menghadapi persaingan dan harga yang naik.
Padahal harga itu adalah manifestasi keadaan ‘real’ yang harus dihadapi agar
kita bisa tumbuh karena waktu. Di mana pun.
Kalau saja dari dulu kita punya
mental kreatif dan daya juang tinggi yang tidak tergantung subsidi - elite
elite tidak merampok aset negara - mungkin Indonesia sudah menjadi negara
terbesar di Asia.
Tahukah siapa Titiek ? Titik
Hediyati Heriyadi Soeharto menjadi sangat kaya raya sejak mendapat kredit Bank
Pemerintah, U$D 172 juta – dia pribadi yang menjadi agunannya - tapi
mengalihkan ponjaman kepada Hashim Djojohadikusumo, iparnya, untuk membeli
saham Bank Papan Sejahtera dan Semen Cibinong.
Padahal hal itu dilarang BI :
pakai pinjaman Bank untuk beli saham Bank lain. Tapi di Bank Indonesia saat itu
ada Sudradjat Djiwandono, yang juga ipar Prabowo dan Hashim. Jadi sangat mudah
sekali mengatur kongkalikong seperti ini.
Anak anak Cendana mendapatkan
fasilitas pinjaman dengan bunga rendah. Dan para bankir takut untuk menanyakan
pembayaran kembali. “Ada sebuah situasi yang membuat sukar bagi Bank-Bank
negara untuk menolak mereka (anak anak Soeharto ) “ kata Direktor Pengelola BI
Subarjo Joyosumarto. .
Lebih ekstrim, ketika presiden
Bank Bumi Daya menolak permintaan Tutut Suharto akan pinjaman-bebas-bunga, ia
langsung dipecat. Bisnis besar pertama Tutut adalah membangun, mengoperasikan
jalan tol lingkar Semanggi - Priok. Proyek yang dimenangkannya di tahun 1987
itu mendapat pembiayaannya berasal dari dua bank pemerintah, sebuah perusahaan
semen, dan yayasan milik Suharto. Konsesi sistem jalan tol yang dipunyainya,
kini menjadi bisnis yang paling menguntungkan di Indonesia.
Tak lama setelah Laksamana Madya
TNI Soedibyo Rahardjo dilantik menjadi Kepala Staf Umum (Kasum) ABRI pada
Januari 1988, Tutut Suharto juga meminta semua pembelian senjata dipegang oleh
grup perusahaannya. Alasannya, masalah persenjataan sangat strategis dan tak
bisa dipegang oleh sembarang orang. “Itu perintah presiden,” kata Tutut.
Saat itu, Soedibyo memperkirakan
ada 350 perusahaan yang menjadi rekanan Mabes ABRI/Dephankam dalam pengadaan
senjata.
Kerajaan bisnisnya, Group Citra
Lamtoro Gung, meliputi telekomunikasi, perbankan, perkebunan, penggilingan
tepung terigu, konstruksi, kehutanan, penyulingan, perdagangan gula. Pengusaha
asing harus jadikan keluarga Suharto sebagai partner, bila hendak berbisnis,
dan Tutut ada di deretan pertama di dalam daftar.
Dari tahun 1967 sampai tahun
1998, BULOG mengimpor dan mendistribusikan bahan-bahan pokok, melalui
perusahaan yang terkait dengan Suharto, termasuk 6 milik Liem Sioe Liong.
Sesuai permintaan Bambang Tri,
Liem memberikan sebagian bisnis kepadanya.
Dari perdagangan gula saja,
Bambang Tri mendapat keuntungan sebesar $ 70 juta setahunnya, hanya untuk
menstempel dokumen. Sistem itu berjalan dengan begitu baiknya, sehingga setiap
anak yang mau masuk ke bisnis diberi sebagian-sebagian dari bisnis tersebut.
Tommy Suharto, bungsu mantan
Presiden Suharto yang memiliki 60 perusahaan dari pertambangan sampai
konstruksi. Property lapangan golf di Ascot, UK sampai kebun luas di New
Zealand.
Antara tahun 1997 sampai 1998,
Liem mendapat kontrak dari BULOG untuk mengimpor sekitar 2 juta ton beras yang
bernilai $ 657 juta. Dari kontrak itu, anak terkecil Suharto, Siti Hutami
Endang Adiningsih (Mamiek) ikut mengimpor 300.000 ton beras yang bernilai $
90,3 juta
Menjelang berakhirnya kekuasaan
Orde Baru, bukan hanya anak anak Soeharto yang memonipoli bisnis dengan fasilias
kekuasan Suharto, melainkan juga cucu cucunya. Ari Sigit, cucu kesayangan,
menerapkan skema penjualan stiker pajak minuman bir dan alkohol sebesar $ 0,25
per-botol di Indonesia . Ari juga mengadakan proyek "sepatu
nasional", di mana semua anak Indonesia diharuskan untuk membeli sepatu
sekolah dari perusahaan miliknya - sembilan bulan sebelum Suharto turun.
YAYASAN Supersemar yang kini
berkasus dan asetnya disita Kejaksaan RI merupakan salah satu yayasan Soeharto
yang digunakan untuk menghimpun kekayaan. Seluruhnya ada 80 yayasan yang
dikuasai oleh Suharto, Bu Tien, saudara-saudara istrinya, sepupunya dan saudara
tirinya, enam anaknya, keluarga dan orang tua pasangan anak-anak tersebut,
orang-orang militer yg dipercaya, dan teman-teman dekat.
Yayasan meminta
"sumbangan" kepada BUMN, swasta dan konglomerat. Diawali di tahun
1978, seluruh bank milik pemerintah diminta memberikan 2,5 persen keuntungannya
untuk Yayasan Dharmais dan Yayasan Supersemar, sebagaimana diungkap Jaksa Agung
terdahulu Soedjono Atmonegoro.
Lalu, "Yayasan-yayasan
tersebut membeli berbagai saham, mendirikan berbagai perusahaan, meminjamkan
uang kepada para pengusaha," kata Adnan Buyung Nasution, pengacara yang
pernah mencoba membentuk komisi independen terhadap kekayaan Suharto.
Berbagai yayasan yang didirikan
sejak berkuasa, lama lama menjadi usaha pribadi. Pak Harto dengan yayasan
Trikora-nya, dan Bu Tien dangan Yayasan Harapan Kita-nya. Tak ada audit
independen berapa banyak pemasukan yayasan-yayasan itu dibandingkan dengan
kegiatan-kegiatan sosial yang mereka lakukan.
Yayasan Supesemar memberikan bea
siswa kepada generasi muda, anak anak sekolah dan mahasiwa, tapi tak ada
penjelasan pemasukkannya. Antara income dan charity-nya tak jelas.
Dan mereka berlindung di balik
hukum.
Di Indonesia, mereka yang punya
yayasan adalah para pendirinya. Seperti juga arena balap mobil Sentul. Katanya,
Sentul bukan milik Tommy, tetapi milik Yayasan Tirasa. Tapi dulu ketua
yayasannya adalah Tommy.
Masa masa pemrintah Suharto
berkuasa adalah masa masa semua harga terasa murah, tapi uang juga tak ada.
Beras sangat berharga. Setengah mati buruh bekerja untuk seliter dua liter
beras.
Saya kenangkan masa ketika radio,
sepeda motor masih sebagai barang mewah, ketika celana jeans dan sepatu Kickers
sangat bergengsi bagi remaja, rumah rumah yang tersambung telepon merupakan
rumah 'gedongan'.
Kini semua rakyat kota dan desa
memilikinya. Bahkan anak anak kini punya telepon seluler. Ada 130 juta telepon
seluler dan mengakses internet sekarang ini, menurut data 2017 lalu.
Pada zaman Suharto mereka yang
disebut “gembel” benar benar gembel, lusuh dan kumal, hanya memiliki baju yang
melekat di badan. Kini para pengamen di angkot dan lampu merah memakai celana
jeans dan punya hape. Luar biasa.
Sungguh rakyat yang buta sejarah
yang tidak mensyukuri zaman ini dan ingin kembali ke Orde Baru.
Saya khawatir
Allah SWT murka kepada bangsa yang tak bersyukur ini, bila sebagiannya masih
menyandarkan harapan pada mantan jendral yang tak punya rekam jejak sejarah
kepemimpnan sipil yang didukung oleh para politisi korup, sisa sisa rezim Orba,
jendral jndral pensiuna frustasi, PNS tukang tilep, gerombolan intoleran
radikal, dan pejabat berkasus, untuk menguasai negeri ini. ***
Komentar
Posting Komentar