MENGENANG PERISTIWA 15 JANUARI 1974
 Ketika di Jakarta terjadi peristiwa malapetaka lima belas Januari - yang kemudian dikenal sebagai 'Malari' - saya masih di kampung halaman, di Jawa Tengah. Saya masih ABG, yang samar samar, sepintas lalu, mendengar pergunjingan orang orang dewasa, di kampung kami : “Jakarta lagi panas” – “mahasiswa pada ngamuk” – “ada bakar bakaran” – “mobil motor dirusak dan dibakar” - “banyak yang mati” - begitulah potongan potongan berita yang saya dengar.
Setelah hijrah ke ibukota dan menjadi wartawan, saya mendapat tugas dari Redaktur Pelaksana (Syukri Burhan alm.) untuk mewawancarai langsung Hariman Siregar dan Jendral Sumitro - nama nama besar yang dikaitkan dengan peristiwa itu.
Hariman Siregar adalah Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonsia (DM-UI) sedangkan Jendral Sumitro adalah Pangkopkamtib pada masa itu. Saya wawancarai Hariman Siregar di tempat tongkrongannya bersama sama aktifis, di Jl. Lautze, Sawah Besar, Jakarta Pusat, disaksikan Rahman Toleng dkk, aktifis kondang juga.
Sedangkan Jendral Sumitro, yang sudah pensiunan, saya wawancarai di rumah dan kantornya di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
Isi wawancara itu, yang berlangsung 35 tahun lalu, sudah lupa rinciannya. Tapi kira kira sama dengan yang terdokmentasikan dalam buku buku dan media, yang terbit kemudian. Yang masih terkenang adalah wawancara dengan Hariman diakhiri dengan makan bebek goreng, sedangkan dengan Pak Mitro, saya disodori tape recorder oleh sekretarisnya (laki laki). Percakapan di antara kami direkam. Padahal saya sendiri hanya mencatat di buku ‘notes’.
MALARI adalah aksi mahasiswa besar dan huru hara pertama yang meletus pada pemerintahan rezim Orde Baru dan pertarungan elite militer pertama di kepemimpinan Soeharto – 45 tahun yang lalu. Mulanya aksi mahasiswa ke jalan dalam rangka menentang kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka, akibat merajalelanya produk produk Jepang di Indonesia. Masa itu mahasiswa menolak dominasi modal asing, utamanya Jepang. Namun protes itu berubah jadi petaka dan huru hara, karena ditunggangi oleh kelompok tertentu, yang kemudian jadi pergunjingan bertahun tahun kemudian.
Massa yang liar – entah dari mana - terdiri dari tukang-tukang becak, preman-preman Kramat, mendadak membakar Pasar Senen, lalu berkerak ke pabrik Coca Cola di Cempaka Putih, kemudian ke Salemba, berlanjut ke Jl. Sudirman, Jakarta Pusat. “Kami akan membakar semua produk Jepang,” kata seorang demonstran, seperti dilaporkan jurnalis ‘New York Times’ Richard Halloranjan dalam artikel “Violent Crowds in Jakarta Protest the Visit by Tanaka”
Selain pembakaran, massa beringas melakukan aksi penjarahan di sejumlah titik di Ibukota, bahkan menimbulkan kematian. Korban jiwa dan harta pun berjatuhan.
Pemerintah menyebut 11 orang tewas dan 17 lainnya luka berat dalam kejadian 15-16 Januari. Kendaraan yang dibakar atau dirusak: 807 mobil dan 187 motor. Bangunan yang hangus atau dihancurkan 145, termasuk 1 gedung Coca Cola - 160 Kg emas raib digarong. Yang paling dramatis tentulah, diseretnya mobil mobil di show room Astra di Jl. Sudirman, Jakarta Pusat, dan dibakar di jalanan.
Gubernur DKI Ali Sadikin waktu itu terjun ke tengah massa untuk meredakan suasana namun ia tak bisa berbuat banyak. Lalu dia mengajak Hariman ke TVRI. Lewat siaran TVRI, Hariman Siregar mengumumkan persoalan yang dihadapi mahasiswa sudah selesai. Imbauan Hariman di TVRI itu mampu meredam huru hara. Namun, malapetaka sudah terjadi. Jakarta wis kobong...
Beberapa nama yang dituduh sebagai aktor intelektual ditangkap. Mereka adalah Prof. Sarbini Sumawinata (ekonom terkemuka yang juga mertua Hariman Siregar), Subadio Sastrosatomo, Dorodjatun Kuncorodjakti, Princen, Adnan Buyung Nasution, Gurmilang, Marsilam Simanjuntak, Bambang Sulistomo, Imam Walujo, Salim Hutajulu, Theo Sambuaga, Fahmi Idris, Sugeng Sarijadi, Purnama, Jusuf AR, Jessy Moningka, dan Mardijanto. Dan tentu saja Hariman Siregar juga.
Tak cuma aktifis dan perusuh, sejumlah media massa ibukota juga kena bredel. Karena dianggap memberikan proporsi berita berlebihan dan memanaskan suasana, diantaranya harian 'Abadi' (milik Masyumi), 'Pedoman' (H. Rosihan Anwar), 'Indonesia Raya' (Mochtar Lubis), Harian 'KAMI' (Christianto Wibisono), dan 'The Jakarta Times' diberedel pemerintah.
Harian 'Indonesia Raya' tak hanya dilarang terbit lagi - sampai sekarang. Pemimpin Redaksinya, Mochtar Lubis, yang sudah lama diincar rezim Orba - akibat gigihnya membongkar korupsi di Pertamina - kemudian mendekam sebulan di penjara Nirbaya, Pondok Gede, Jakarta.
DI BALIK AKSI MAHASISWA, berbagai spekulasi muncul. Bahwa peristiwa itu tak semata mata aksi mahasiswa murni, melainkan ditunggangi elite. Yang paling ramai digunjingkan adalah perseteruan dua tokoh militer terkemuka, yakni Jendral Soemitro dan Mayjen Ali Moertopo.
Jendral Sumitro selaku Pangkopkamtib sangat populer di kalangan mahasiswa. Beberapa kali dalam pernyataannya kepada mahasiswa menyinggung "perlunya pola kepemimpinan yang baru" - dan pernyataan itu dengan mudah ditafsirkan dia sedang berambisi untuk menjadi pemimpin yang dimaksud. Dia dianggap ingin menggantikan presiden.
Dia berseberangan dengan Ali Moertopo yang meski berpangkat Mayjen (bintang dua) namun sebagai bos Opsus (Operasi Khusus) dan Asistern Pribadi (Aspri) Presiden, yang sangat dekat dengan Soeharto. Dua jabatan strategis yang dipegangnya membuat Ali sangat leluasa dalam bertindak. Ia bisa masuk ke mana pun tanpa lewat prosesur semestinya, karena menjalankan misi khusus dan bisa akses langsung ke RI-1.
Jendral Sumitro yang saya konfirmasi, membantah tuduhan bahwa dia ada di belakang aksi mahasiswa serta berambisi untuk merebut kedudukan dan mendapat kekuasaan lebih. Itu fitnah besar, katanya. Soemitro juga mengaku pernah menanyai langsung Ali Moertopo soal isu rivalitas itu - jauh sebelum Malari meletus.
"Li, suara di luar mengatakan kamu rival saya. Itu tidak bisa, saya ini masih militer, tak punya tujuan politik. Kamu bintang dua, saya bintang empat! Kamu Deputi Bakin, saya Pangkopkamtib dan Wapangab. Jarak kita terlalu jauh untuk jadi rival. Tapi, kalau kamu mau jadi presiden, itu hakmu!"
Saat itu Ali Moertopo langsung membantah. "O, tidak! Tidak ada pikiran seperti itu," kata Soemitro mengutip jawaban Ali.
Bagaimana pun kerusuhan Malari membuat keduanya kehilangan jabatan. Soemitro dicopot dari kursi Panglima Kopkamtib/Wapangab. Jendral bertubuh subur itu menolak di-dubes-kan, dan kehilangan posisi untuk selamanya di lingkungan TNI. Namun Soeharto juga membubarkan lembaga Aspri, dimana Ali Moertopo duduk di sana. Walau demikian, dimasa berikutnya Soeharto masih memakai Ali Moertopo untuk berbagai jabatan di birokrasi.
MESKI telah 45 tahun lampau Peristiwa Malari masih tetap bersaputkan misteri. Belum begitu jelas mengapa unjuk rasa mahasiswa menentang modal Jepang dan pembantu presiden (asisten pribadi — Aspri) berubah menjadi amuk yang memporak-porandakan beberapa tempat di Jakarta.
Menurut Rektor UI waktu itu, Prof. Dr. Mahar Mahardjono, hanya Jenderal Ali Moertopo dan Jenderal Soemitro-lah yang paling tahu "Malari itu apa".
Sebelum Malari pecah, memang beredar isu tentang adanya 'Dokumen Ramadi'. Sebuah dokumen yang belum pernah didapat bukti konkretnya hingga hari ini, kecuali berpegang pada pernyataan Soemitro yang mengatakan bahwa dokumen tersebut menganggap Soemitro akan mengambil alih kepemimpinan Soeharto. Dengan kata lain, Soemitro akan mengudeta Soeharto. Soemitro sendiri mengaku tak pernah melihat teks dokumen tersebut. Pihak yang menyampaikan adanya dokumen tersebut adalah Kepala Bakin Sutopo Juwono.
DALAM wawancara dengan saya, Hariman Siregar menegaskan bahwa aksi kerusuhan dan bakar-bakaran itu tidak ada hubungannya dengan gerakan mahasiswa. Mahasiswa berbagai universitas saat itu melakukan kritik dan protes kepada pemerintah secara intelektual dan konseptual. Di hari kejadian, dia dan kawan kawan mahasiswanya, sedang berkumpul membahas rancana-rencana aksi anti-modal asing di kampus Trisakti untuk selanjutnya, ketika aksi bakar bakaran meletus di Senen.
Menurut para mahasiswa, modal asing yang beredar di Indonesia (hingga 1974 itu) sudah berlebihan. Menurut mereka pula, kehadiran Tanaka berikut investasi, korporasi, dan produk-produk asal Jepang adalah "bentuk imperialisme gaya baru". Tentang adanya aksi kerusuhan, penjarahn dan bakar bakaran itu, Hariman merasa gerakan mahasiswa yang dipimpinya dibokong, ditunggangi dan ditelikung dari samping.
Akibat peristiwa Malari, Hariman bersama beberapa tokoh mahasiswa lainnya itu ditahan dan diadili. Dalam catatan sejarawan LIPI Asvi Warman Adam, ada sekitar 775 orang yang ditangkap aparat keamanan, sebagian adalah tokoh-tokoh mahasiswa. Tetapi dari jumlah itu, hanya tiga orang yang diadili sebagai terdakwa di pengadilan, yaitu Hariman Siregar (UI), Syahrir (UI), dan Aini Chalid (UGM).
"Bayangkan, tanggal 11 Januari masih dipeluk-peluk Soeharto, tanggal 17 gue ditangkap," Hariman mengenang. Pada 11 Januari, Soeharto memang menerima Hariman bersama tokoh mahasiswa lain di Bina Graha. Soeharto bermaksud meredam aksi mahasiswa.
Hakim PN Jakarta Pusat B.H. Siburian menjatuhkan hukuman 6,5 tahun penjara kepada Hariman pada 21 Desember 1974. Hariman hanya menjalani hukuman bui kurang dari tiga tahun, sedangkan Syahrir empat tahun. Pada mulanya Hariman menghuni Rumah Tahanan Militer (RTM) Budi Utomo, tapi setelah divonis dipindahkan ke Penjara Nirbaya.
Di penjara Nirbaya (Pondok Gede), ia banyak bergaul saksi-saksi dan pelaku sejarah yang hidup, yang kebanyakan mantan petinggi Orde Lama. Di antaranya Wakil Perdana Menteri (Waperdam) I, Soebandrio, KSAU Laksamana Udara Omar Dhani, Menteri Keuangan Oei Tjoe Tat, Menteri Kehakiman Astrawinata, Menteri Pendidikan Soemardjo dan Jenderal Pranoto.
“Dua tahun sembilan bulan di penjara memberi banyak waktu untuk membaca ketimbang 23 tahun ketika di luar penjara,” kenangnya, kemudian.
"Perjuangan, " kata Hariman, "tidak boleh berhenti di tembok penjara. Penjara tak boleh membuat orang jera untuk berjuang".
Dari kasus Malari, Hariman kehilangan orang orang yang sangat dicintainya. Anak kembar dalam kandungan isterinya meninggal, saat dia masih mendekam di RTM Budi Utomo. Isterinya, Sriyanti, kemudian mengalami koma, dan ketika pulih, hilang ingatan. Ayahnya, Kalisati Siregar, meninggal tak lama kemudian (29 September 1974). Sedangkan mertuanya, Prof Dr Sarbini Soemawinata, dipenjara.
"...... gue nggak boleh lengah apalagi kalah oleh kesedihan. Gue harus mampu membuat diri gue sendiri menjadi kuat. Gue sedang melawan kekuasaan Soeharto, sampai mati gue nggak boleh kalah. Kita mesti kuat, meskipun dia (Soeharto) terus menginjak-nginjak kita,” begitulah tekad Hariman seperti yang dituliskan dalam buku "Hariman dan Malari" (2011).
Kepada merdeka.com, ketika mengenangkan kembali peristiwa Malari, pada wawancara 2014 lalu, Hariman Siregar mengatakan, "yang gue bangga gue pernah memberi kritik terbesar terhadap Orde Baru." ***






Komentar

Postingan populer dari blog ini

HAJI BULGANON HASBULLAH AMIR ORANG KAYA RAYA YANG DERMAWAN..

Dunia Supramistika Tia Aweni D.Paramitha

Pengalaman Abang Bulganon Amir Mursyid Spriritual Tangguh Yang Dapat Bisikan Masuk Neraka