DOMBA YANG HILANG
Oleh: Dimas Supriyanto
OBROLAN TENTANG CAPRES DAN “DOMBA
YANG HILANG “ – Dalam sebuah obrolan panjang, baru baru ini, sahabat saya,
seorang penganut Kristen yang taat - aktif dalam kegiatan gereja - menyatakan,
bahwa dalam agamanya tidak mengenal sebutan “murtad” dan “keluar” dari agama
Kristen – seperti seorang Muslim (sembari jarinya menunjuk saya) - yang sering
menyebut “murtad” karena keluar dari Islam, setelah pindah dan menganut agama
lain.
“Kami hanya menyebut mereka sebagai
‘domba yang hilang’.., “ katanya. “Kejadian yang sudah biasa di kalangan
penggembala,” jelasnya.
Dia menjawab pertanyaan saya, seputar
acara Natal yang dihadiri seorag Capres, tempo hari. Menurutnya, Capres itu
tetap seorang Kristen, “bagi kami, dia tetap diimani sebagai Kristen, ”
tegasnya.
Kawan saya ini adalah anggota majelis
sebuah gereja dan pernah menulis buku “Pengeras Suara Gereja”.
Diungkapkannya, saat ini umat Kristen
di partainya, “mengasihi Capres luar biasa”. Partai yang didirikannya juga
punya organisasi sayap bernama KIRA (Kristen Indonesia Raya), seperti yang
tercantum dalam web resmi partai yang mencalonkan itu.
“Setahu saya tidak ada partai
nasionalis yang punya organisasi sayap yang mewadahi anggota dan simpatisannya
yang Kristen, “ katanya.
SEBAGAI orang Muslim Abangan, Jiwa
Nusantara, yang dididik oleh Pakde yang Katolik, saya pribadi tidak ada masalah
tentang itu. Islam, Kristen, Kejawen, Abangan dan agama lain, hidup rukun di
pulau Jawa khususnya dan Indonesia umumnya. Merujuk pada konstitusi kita,
mereka juga berhak menjadi pemimpin, jadi RI-1.
Saya sendiri adalah ‘Ahokers’, dan
Ahok bukan muslim dan bukan orang Jawa. Dia Kristen, dia Belitung, juga
Tionghoa. Tidak masalah. Sebagai muslim Pancasila, saya tetap mendukungnya,
karena kinerja yang ditunjukkan dalam mengelola ibukota; saya mendukungnya
dalam urusan jabatan publik.
BTP - Basuki Tjahaja Purnama adalah
“pelayan” saya, sebagai warga ibukota - sebagaimana diakuinya sendiri. Bahkan
dia menyebut dirinya “anjing penjaga” saya sebagai warga ber-KTP DKI, yang
melindunginya dari “maling maling APBD yang mengatasnamakan agama, “ katanya.
TIGA PULUH LIMA tahun lalu, Sang
Capres berikrar sebagai Muslim dan menjadi Mualaf saat akan menikah dengan
salah seorang putri Presiden RI, dan fakta itu tak bisa dibantah. Dan langkah
yang ditempuh, dengan bermualaf, demi mendapatkan putri seorang Presiden,
wajar-wajar saja.
“Bayangkan masa itu, kemana muka Pak
Presiden dan keluarganya, jika putrinya mengikuti agama yang dianut Menantu?
Lalu pernikahan mereka diberkati di gereja? Tak cuma keluarga Presiden, negeri
ini juga pasti heboh, “ katanya.
Fakta yang tidak bisa dipungkiri
latar belakang keluarga Capres itu selama ini memang Kristiani. Dan keluarga
besarnya masih penganut Kristen yang taat
Dan perlu diketahui - dan diulanginya
lagi - dalam komunitas Kristen, terutama di aliran-aliran tertentu, mereka
tidak mengenal istilah “murtad”. Andai pun benar Pak Capres telah mualaf,
“keanggotaannya sebagai warga gereja tetap tidak dicoret, “ jelasnya.
Istilah yang dipakai di gereja hanya
"anak hilang", katanya. “Suatu saat ia akan kembali”. Sebab, “dasar
iman Kristiani adalah kasih”. Dengan demikian, kehadiran sang "anak
hilang" tetap dinanti, jelasnya.
Umat Kristen meyakini sekali
seseorang yang sudah dibaptis, maka Yesus Kristus tidak akan pernah
meninggalkannya. “Meskipun orang itu terjatuh dan bergelimang dalam dosa, ”
katanya.
Diyakininya, setelah pisah ranjang
dan bercerai (?) dengan putri presiden itu, Capres mengalami “pengembaraan
sebagai anak hilang" untuk kembali kepada Allah yang dulu pernah ia sebut
sebagai "Bapa".
Ini bukan semata mata analisanya.
Sebab, dari seorang pendeta yang dia kenal, dia mendapatkan informasi bahwa
dalam kebaktian di sebuah gereja, Capres pernah didoakan oleh para pendeta.
Para pendeta berdoa sambil “tumpang tangan” dan Capres menangis.
Di kalangan gereja tertentu jika ada
orang yang melakukan "ritual" seperti itu, ia telah menjadi “manusia
baru”. Dengan begitu Capres diyakini telah “menjadi manusia baru” katanya.
“Maka saya bisa pahami jika sebagian
umat Kristen, terutama simpatisan partai pendukungnya, bersuka cita atas
pertobatan Capres dan pantang mundur mencalonkan diri sebagai presiden, “
jelasnya.
Dalam kesaksiannya, saat berstatus
sebagai Capres - dan ikut dalam kontestasi di Pilpres 2014 lalu - Capres itu
juga pernah menghadiri sebuah diskusi di sebuah gereja besar yang berlokasi di
kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Di forum itu, pendeta gereja tersebut
menggebu-gebu dalam memberikan dukungannya kepadanya.
Tanpa sungkan dan malu, sang pendeta
menyebut bahwa orang “yang paling cocok menjadi presiden adalah Capres ini”.
Alasannya, ada ketegasan dalam dirinya, berani melawan jika ada sekelompok
orang di negeri ini yang coba-coba memberontak dan mengganti ideologi bangsa.
Mereka lalu berkomitmen, "anak hilang
yang telah kembali” itu harus menjadi presiden. Dan kapan lagi orang Kristen
menjadi Presiden? Capres itu adalah representasi mereka.
Bahwa kini fakta telah membuktikan
banyak pendukungnya yang muslim radikal dan intoleran, bahkan ada juga kelompok
ProKhilafah, bagi umat Kristiani pendukung Capres yang itu, tidak menjadi soal.
Sebab, dalam ajaran Kristen, “musuh harus dirangkul, bukan dijauhi”.
Dalam rangka itu, Capres dan
kelompoknya, terutama sebagian kecil umat Kristen di partainya tidak peduli jika
ada yang menuding Capres dan partai itu dekat dengan kelompok
intoleran-radikal.
Dengan target (goal) terpilih menjadi
presiden, kata kawan saya ini - strategi semacam itu sudah dimainkan dengan
cantik oleh pendukung Capres yang Kristiani.
“Ada dogma dalam keyakinan orang
Kristen, terutama di aliran-aliran tertentu bahwa mereka harus menjadi
‘Kepala’, bukan ‘Ekor’, “ jelasnya.
Bahwa kemudian Capres mengaku bukan
Kristen, saat berada di depan publik - bahkan ia marah ketika ada kelompok yang
meragukan keIslamannya - itu hanya strategi agar umat mayoritas di negeri ini
tetap takjub dan memilihnya sebagai presiden.
Dengan pengalamannya bermanuver,
Capres lebih aman dan nyaman memanfaatkan kelompok intoleran daripada yang
lain. Tidak ada cara lain, itulah yang harus dilakukan, “merangkul musuh dalam
selimut, jauh lebih baik daripada memukulnya! ” .
Paling tidak untuk sementara ini.
Sebab, Capres tidak mungkin merangkul
mayoritas umat yang kini sudah dirangkul begitu mesra oleh Sang Petahana.
BAGAIMANA dengan kelompok internal
Kristen? Soal ini tidak perlu ditanya, sebab dipercaya sudah menyatu, begitulah
kata sahabat saya itu. Maka jangan heran, kalau kubu Capres akan lebih
kebakaran janggut jika junjungannya diisukan “anti-Kristen”. Sang adik pun, yang
Kristen taat, memberikan bantahan bahwa Capresnya itu "tidak
anti-Kristen".
Begitu takutnya dicap sebagai
“anti-Kristen”, kubu Capres pun membiarkan dan tidak membantah ketika ada
seorang netizen yang memberikan kesaksian melihat dia beribadah di sebuah gereja
di Jakarta.
Oleh sebab itu, buat apa kita
berlelah-lelah mempersoalkan Capres yang tidak mau jadi imam, tidak bisa
shalat, tidak bisa mengaji dan tidak fasih melafalkan kata-kata beraksara Arab?
Bagaimana pun dia sudah resmi
ditetapkan sebagai calon presiden dan undang undang pemilu mensahkannya.
Menggugat keislaman Capres kini juga
tidak ada gunanya. Tidak elok juga kalau kita menggugurkannya di tengah jalan.
Pengalaman Pilkada DKI Jakarta yang
sarat dengan aksi-aksi diskriminatif lantaran
BTP yang Kristen tidak boleh kita ulangi. Beri kesempatan Capres yang Kristen
untuk ikut ambil bagian dalam kontestasi Pilpres 2019.
Beri pula kesempatan kepadanya untuk
bermanuver dan berpura-pura jadi Muslim demi jabatan yang satu itu: RI-1.
Sedangkan risikonya, biarlah dia pikul bersama pendukungnya kini.
KEMBALI ke diri saya sendiri, saya
tidak mempermasalahkan agama agama para Capres kita, apakah dia seorang Muslim,
Kristen, taat atau tidak taat. Bahkan aliran Kebatinan dan Kepercayaan sekali
pun. Yang selama ini menjadi pergunjingan dan keprihatinan saya adalah dia
dipilih oleh apa yang disebut sebagai “ijtima ulama”, yang merupakan
representasi kaum muslim taat. Calon pemimpin yang menyuarakan umat Islam.
“Sebagai pendukung Petahana, dalam
Pilpres 2019 nanti saya akan tetap memiilih Petahana, sebab Petahana telah
mengukir prestasi, “ sergah sahabat saya ini. “Lebih dari itu saya tetap
memilihnya sebab Petahana orang baik dan yang dirangkul olehnya juga
orang-orang baik,” jelasnya.
Demikian pendapat sahabat saya,
Kristen yang taat itu – dan demikian juga pendapat saya, muslim yang tidak taat
(abangan) ini. ***
Komentar
Posting Komentar