Dimas
Supriyanto bersama Syamsuar
J. Husein.
ANTARA “PELARIAN” PRABOWO DAN PELARIAN SUMITRO :
Menyaksikan tragedi yang
menimpa Prabowo Subianto, Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo, selaku orang tua
menganggap, hal itu sebagai cobaan yang berat dalam kehidupan. Tapi, itu tidak
lantas membuat keluarga ini merasa terpukul. Apalagi terpuruk.
“Masalahnya bukan ia dipukul, tapi bagaimana ia bisa bertahan. Saya bangga
Prabowo tabah, “ kata Sumitro, dalam sebuah wawancara.
“Ujian buat saya dan isteri saya dalam kehidupan jauh lebih dari itu, habis
dari menteri lalu tiba-tiba jatuh jadi buronan, ” katanya dalam wawancara
dengan majalah ‘Tempo’, beberapa waktu kemudian.
Peristiwa “lari”nya Prabowo ke Jordania, akibat kasus dan tuduhan yang
menimpa dirinya: indisipliner, mengerahkan pasukan “liar”, melakukan
serangkaian penculikan aktifis, dan menekan presiden di istana negara - seperti
mengulangi sejarah yang dilakukan Sumitro di masa lalu.
Sebelum termashur sebagai ‘Begawan Ekonomi’ dan melesat selama pemerintahan
Orde Baru, Sumitro pernah jadi pelarian dan bahkan bergabung dengan pembrontak
Permesta/PRRI.
Audrey Kahin dalam buku “Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan
Politik Indonesia” 1926-1998 (2005: 304) menulis, “Pada bulan Mei (1957) Dr
Sumitro Djojohadikusumo, melarikan diri dari tuduhan penyalahgunaan keuangan di
Jakarta, juga mencari perlindungan dengan Dewan Banteng di Sumatera Barat,
sambil sering melakukan perjalanan ke luar negeri.”
Menurut Audrey Kahin pula, “beberapa orang buronan yang bersembunyi di
daerah yang membelot secara terbuka mengundang kekuatan asing, terutama Amerika
Serikat, dengan harapan memperoleh dukungan cukup untuk menentang pemerintah
Sukarno.”
“Waktu itu memang ada isu bahwa Sumitro melakukan korupsi, memberikan dana
kepada Partai Sosialis Indonesia” tulis H. Rosihan Anwar di buku “Sjahrir:
Peran Besar Bung Kecil” (2010: 114).
Sumitro adalah Menteri Keuangan dalam Kabinet Burhanuddin Harahap. Selain itu,
dia yang terkenal sebagai pakar ekonomi adalah pentolan Partai Sosialis
Indonesia (PSI), yang di mata orang-orang PKI kerap dijuluki "sosialis
kanan" atau "sosialis salon".
Jendral Abdul Haris Nasution dalam memoarnya, ‘Memenuhi Panggilan Tugas:
Masa Pancaroba Kedua’ (1984: 96-97), pada 26 Maret 1957, Sumitro memenuhi
panggilan Corps Polisi Militer (CPM) di Bandung untuk diperiksa. Kala itu,
Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dijabat Kolonel Abdul Haris Nasution dan
Kepala CPM adalah Letnan Kolonel Rushan Rusli — anak penulis roman ‘Siti
Nurbaya’, Marah Rusli, sekaligus ayah dari musisi Harry Rusli. Di masa itu
Angkatan Darat memang sedang getol mengurusi kasus-kasus korupsi.
Di mata Nasution, Sumitro punya pemikiran bahwa ditahan tanpa tahu kapan
akan bebas adalah masalah besar. “Itulah sebabnya maka ia mengambil risiko, dan
mengambil sikap untuk melakukan tugas yang dirasanya merupakan kewajiban
nuraninya,” lanjut Nasution. Menurut Nasution lagi, “dari sumber-sumber saluran
yang dipercayainya, dia mendapatkan pemberitahuan, bahwa pemanggilan terakhir
ini baginya berarti akan ditahan.”
SUMITRO NAIK KERETA API di Stasiun Tanah Abang menuju Merak. Dari Merak naik
kapal bermotor ke Lampung. Dari Lampung dia naik kereta ke Palembang, menuju ke
Padang. Priasmoro, asisten Sumitro yang belakangan pernah jadi Direktur Utama
Bapindo, pun mengikutinya. Keluarganya juga ikut ketika Sumitro lari ke luar
negeri.
Kala itu, usia Sumitro menginjak kepala empat dan punya empat anak dari Dora
Sigar. Prabowo Subianto adalah anak laki-laki sulungnya. Tak heran jika
anak-anaknya bersekolah di luar negeri. Demikian tulis Djoeir Moehamad dalam
‘Memoar Seorang Sosialis’ (1997: 258).
Kira-kira setahun setelah Sumitro kabur, di Sumatera Barat meletus
pemberontakan yang menuntut otonomi bernama Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI). Di mana Sumitro jadi menteri dalam pemerintahan tandingan
itu. Setelah pemberontakan PRRI/Permesta ditumbangkan, Sumitro bertahan di luar
negeri.
Selama 10 tahun di pelarian, Sumitro menggunakan banyak nama samaran. Para
mahasiswa di Jepang mengenalnya sebagai ‘Sungkono’. Di Jerman dipanggil
‘Sunarto’. Di luar Frankfurt pakai nama ‘Abdul Karim’. Di Hongkong orang
mengenalnya ‘Sou Ming Tau’ (bahasa Kanton) dan ‘Soo Ming Doo’ (bahasa
Mandarin). Warga Malaysia mengenalnya ‘Abu Bakar’. Ia dipanggil ‘Henry Kusumo’
atau ‘Henry Tau’ di Bangkok.
Setelah pemerintahan Soekarno jatuh, dan Soeharto berkuasa sebagai Presiden,
Sumitro pulang dengan aman. Tak ada CPM yang memeriksa atas kasus yang
melibatkannya, karena dia dijemput Ali Moertopo. Malah, sebuah kursi Menteri
Perdagangan pun disediakan untuknya pada 1968.
Dan sejak itu namanya melesat seiring degan moncernya pemerintah Orde Baru.
Bahkan dia berbesanan dengan keluarga presiden.
PRABOWO SUBIANTO mengasingkan diri ke Jordania, bulan September 1998 dan
diterima dengan tangan terbuka Raja Abdullah II, sahabatnya semasa sekolah
militer di Amerika Serikat.
Prabowo juga dibantu adiknya, Hashim Djojohadikusumo yang memiliki bisnis
perminyakan Azerbaijan, Kazakhstan. Dia tinggal di kawasan elite kota Amman, di
Jl Mesir - Distrik Abdul – menempati rumah seharga U$D 6,6 juta, dengan
fasilitas kendaraan dan sopir yang diberikan Raja.
Selain berbisnis sebagai warga sipil, Prabowo juga melatih tentara elite
Jordania dan menjadi pensehat militer Sang Raja, sesuai kemampuan dan
pengalaman profesionalnya, selama ini.
Sebagai “pelarian”, kehidupan Prabowo tak sesulit ayahnya ketika sama sama
tinggal di negeri asing, dan jauh dari tanah airnya. Ketika pertama tiba di
negeri sahabatnya itu, Prabowo mengaku dijemput di ruang VIP dan diberi
kendaraan istana.
Seorang kolonel, perwira utusan pangeran menyambutnya dengan hormat;
"Anda selalu kami terima di sini sebagai saudara. Dan bagi kami, Anda
tetap seorang jenderal." Sambutan itu membuat Prabowo terharu.
Meski demikian, pernah juga dia menghadapi masalah, karena masa berlaku
paspornya habis. Di Swiss dia tak bisa pergi kemana pun karena bertstatus
“stateless”.
Dia bisa keluar dari masalah itu, setelah dibantu almarhum Taufik Kiemas,
karena hanya dia selaku politisi senior, bisa memberikan bantuan untuk
perpanjangan paspor – selain Gus Dur dan Megawati.
Dengan mencarter pesawat khusus Taufik Kiemas menjemputnya, dan Prabowo
kembali bebas - sebagaimana diceritakan oleh wartawan senior Derek Manangka.
Versi lain yang diceritakan oleh Fadli Zon, dari masalah yang dialami mantan
Danjen Kopassus dan Pangkostrad yang menguasai 33 batalion ini, Luhut Panjaitan
adalah orang yang waktu itu membantu Prabowo untuk memperpanjang paspor – saat
mana Luhut menjadi Dubes di Singapura.
Sekitar akhir 1999, Prabowo bertemu Gus Dur dan Menlu Alwi Shihab di Istana
Raja Abdullah. Prabowo kembali ke tanah air tanggal 2 Januari 2000
SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO mengenangkan, sebelum putra sulungnya itu dicopot
dari jabatannya, sebagai Pangkostrad, 21 Februari 1998, Soedradjad Djiwandono,
menantunya, diberhentikan dari jabatan Gubernur BI - Bank Indonesia.
Alasannya, menurut Sumitro, Soedradjat tidak sepakat dengan Presiden
Soeharto soal CBS (Currency Board System). Juga sebelumnya ada beberapa soal
lain.
Prabowo dipecat, bisnis Hashim mengalami banyak kesulitan, Soedradjad
Djiwandono kehilangan jabatannya. Keluarga Djojohadikusumo saat itu seolah
mengalami keruntuhan. Tapi Sumitro tabah.
“I’ve been through the worst – saya pernah melewati masa yang lebih buruk, “
katanya. “Dan ini bukan yang pertama kali, “ jelasnya.
“Pada 1957, selama 10 tahun saya menjadi buron di luar negeri, hidup
berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain tanpa uang dan paspor, "
ungkapnya.
"Saya pernah menjadi tukang mebel dan membuat lemari es besar sewaktu
di Malaysia. Saya berkeliling dari satu negara ke negara lain dengan empat anak
yang tengah tumbuh, “ paparnya.
“What could be worse than that?..” desahnya.
Sakitkah peristiwa pelarian 10 tahun itu? Atau justru Anda bahagia karena
jadi punya banyak pengalaman?
“Bahagiakah orang yang menjadi buron? Dimaki-maki, berpindah-pindah negara,
tanpa paspor, uang, dan kewarganegaraan, tanpa bisa memastikan apa yang akan
terjadi setelah itu?” Sumitro baik bertanya. ***
Komentar
Posting Komentar